HARAPAN BAGI PENDERITA EPILEPSI KEBAL OBAT
Banyak masyarakat beranggapan keliru tentang penyakit epilepsi. Di antaranya, epilepsi menular melalui air liur penderita, merupakan penyakit akibat kutukan gaib atau sawan, serta epilepsi merupakan penyakit turunan.
BERDASARKAN data yang dirilis The International League Against Epilepsy (ILAE), jumlah penderita epilepsi di dunia mencapai 60 juta orang. Pravelensi epilepsi di negara berkembang 10:1000 orang per tahun dengan insiden rata-rata 24-53 kasus pada tiap 100.000 orang. Saat ini, diperkirakan ada dua juta penduduk Indonesia menderita epilepsi.
Pakar Epilepsy and Functional Neurosurgeon dari Department of Neurosurgery dr Heri Subianto SpBS menjelaskan bahwa epilepsi menyebabkan seseorang mengalami kejang berulang. Tiap sel saraf berkomunikasi dengan impuls listrik.
’’Kejang pada penderita epilepsi terjadi ketika impuls listrik tersebut dihasilkan secara berlebihan. Maka, muncul perilaku atau gerakan tubuh yang tidak terkendali,” ungkap dokter sekaligus peneliti di Surabaya Neuroscience Institute tersebut.
Pasien epilepsi bisa mengalami kejang sewaktu-waktu tanpa diduga sehingga cenderung mengalami depresi dan kualitas hidupnya menurun. Bahkan, penderita epilepsi juga punya risiko Sudden Unexpected Death in Epilepsy (SUDEP) yaitu kematian tiba-tiba akibat epilepsi.
Dokter Heri sebagai pakar bedah epilepsi dengan teknik bedah mikro maupun endoscopic (tanpa buka tempurung) meyakinkan bahwa epilepsi bisa disembuhkan dan dikendalikan. Alumnus FK Unair tersebut menjelaskan, penanganan epilepsi bertujuan untuk mengontrol kejang dengan baik sehingga kualitas hidup penderita membaik dan tidak perlu khawatir kejang datang tiba-tiba. Hal itu bisa dicapai dengan pemberian obat antikejang yang sesuai dan teratur.
Hingga kini, sebanyak 70 persen penderita epilepsi dapat dikontrol dengan berobat secara teratur dengan obat antikejang. Namun 30 persen sisanya membutuhkan pemeriksaan lebih
lanjut karena tidak merespons pemberian obat anti-kejang. Kondisi tersebut dikenal dengan drug resistant epilepsy.
Penderita drug resistant epilepsy tersebut menurut dr Heri tak bisa menghentikan kejangnya meski mengonsumsi obat antikejang. Pemberian obat yang berbeda atau penambahan dosis hanya mengantarkan mereka ke
honeymoon period. Yakni, kondisi pasien yang bebas kejang namun dalam waktu pendek.
”Pasien hanya akan bebas kejang setidaknya selama beberapa minggu. Setelah itu akan kejang lagi seperti semula,” ungkap staf pengajar di Departemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ini.
National Hospital lewat tim multidisiplin mulai dokter spesialis saraf, radiologi, hingga bedah saraf, mematahkan ketakutan masyarakat mengenai epilepsi yang tidak dapat disembuhkan. Dokter Heri bersama dr Neimy Novitasari SpS yang merupakan ahli saraf sekaligus Fellow Epilepsi & Long-term video EEG (electroencephalography) di AIIMS India memastikan pasien epilepsi ditangani secara benar dengan tindakan efisien sehingga dapat disembuhkan.
”Kami memeriksa lewat long-term ictal video EEG untuk mengetahui area otak yang menjadi pemicu kejang. Sedangkan MRI digunakan untuk mendiagnosis kelainan di otak dengan tepat,” tutur dokter yang mengambil fellow epilepsy &
epilepsy surgery di All India Institute of Medical Sciences (AIIMS), New Delhi India.
Operasi epilepsi di National Hospital dilakukan dengan prinsip minimal invasif, yakni, irisan kulit dan pembukaan tulang yang lebih kecil. Dengan demikian, lebih bagus dari sisi estetik tanpa mengurangi tujuan utama dari operasi epilepsi.
Kesuksesan tindakan operasi yang dilakukan tim dari National Hospital tersebut terbukti dari kesembuhan Nur Priati (40 tahun) asal Surabaya. Harapan kesembuhan itu muncul ketika dr Heri dan dr Neimy menganjurkannya untuk melakukan tindakan operasi.
Nur terkesan dengan metode bedah yang dilakukan tim National Hospital. Sebab, di kepala bagian sebelah kirinya tak menyisakan bekas jahitan meski telah dilakukan pembedahan. BERI EDUKASI KEPADA MASYARAKAT
Dokter Heri Subianto bersama dokter bedah saraf lainnya yang tergabung dalam Surabaya Neuroscience Institute (Snei) meluangkan waktu untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terkait penanganan epilepsi. November dicanangkan sebagai Bulan Peduli Epilepsi Internasional. Surabaya Neuroscience Institute menyiapkan berbagai rangkaian acara. Yakni, talk
show di radio, launching video edukasi epilepsi, serta gathering dengan komunitas epilepsi.
”Tema yang kami angkat adalah penderita epilepsi dapat hidup dengan normal. Ini sebagai bentuk motivasi kepada penderita dan keluarganya bahwa harapan itu masih ada,” ujar dr Heri. (ree/xav)