Jawa Pos

Polisi Tetapkan Dua Tersangka

Kasubsi Imigrasi Tanjung Perak dan Biro Jasa Paspor

-

SURABAYA – Setelah melakukan gelar perkara terkait operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar tim saber pungli pada Kamis malam (2/11), Satreskrim Polrestabe­s Surabaya akhirnya menetapkan dua orang sebagai tersangka.

Sumber di internal polisi menyebutka­n bahwa dua orang tersebut berasal dari biro jasa dan Kantor Imigrasi Perak. ”Pegawai Imigrasi Perak yang ditetapkan sebagai tersangka memiliki jabatan Kasubsi,” katanya tanpa memerinci jabatan lengkap Kasubsi tersebut.

Menurut sumber itu, modusnya sederhana. Yakni, menangkap biro jasa yang menguruska­n paspor kepada petugas secara simultan. Biasanya untuk kepentinga­n TKI. ”Pemberian uang tujuannya mempercepa­t dan mempermuda­h, biasanya menggunaka­n uang pelicin. Inilah yang kami tangkap,” terangnya.

Sebelumnya Satreskrim Polrestabe­s Surabaya juga memeriksa empat orang terkait kasus itu. Dua orang merupakan biro jasa pengurusan paspor, sisanya pegawai Imigrasi Tanjung Perak. Hasil gelar perkara kemarin akhirnya memutuskan status dua orang ditingkatk­an menjadi tersangka

Kan sudah punya dua anak,’’ katanya.

Pria 35 tahun itu mengatakan, hidupnyaki­nihanyamen­gandalkan gaji dari pabrik tempatnya bekerja. Besarnya setara UMK. Dari tahun ke tahun beban kebutuhan terus bertambah. Kini Kustiawan harus menghidupi istri dan dua anaknya yangmasihk­ecil. Anaksayaya­ngsatu sudah masuk kelas I SD dan satunya masih dua tahun,’’ ucapnya.

Sudah 10 tahun ini dia tinggal indekos di Tandes. Jarak tempat kos menuju pabrik tempatnya bekerja sangat jauh. Dia sengaja tidak indekos di dekat tempat kerjanya lantaran sewanya mahal. Untuk ke tempat kerjanya, dia membeli sepeda motor. Saban bulan dia harus menyisihka­n upah untuk membayar angsuran. Nilainya Rp 830 ribu sebulan. Dia juga harus menyisihka­n uang kos Rp 400 ribu.

Sisa upahnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan lainnya. Mulai belanja istri, susu anak keduanya, hingga rekening listrik dan air. Belum juga popoknya,’’ katanya.

Menghitung seluruh kebutuhan sehari-hari keluargany­a membuat Kustiawan semakin pusing. Apalagi, kenaikan UMK di Surabaya sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dengan Kenaikan sekitar 8,71 persen. Kalau disesuaika­n dengan kebutuhan hidup layak (KHL), insya Allah cukup. Tetapi, kalau sesuai PP, ya dicukupcuk­upkan,’’ ungkapnya.

Sebagai buruh, Kustiawan tentu ingin memiliki kehidupan yang layak. Setidaknya bisa memiliki rumah sendiri meski kecil. Namun, keinginan tersebut langsung ditepis begitu saja. Sebab, dia menyadari bahwa hal itu tidak mungkin. Jangankan beli rumah, untuk makan dan hidup sehari-hari saja masih harus cari sana-sini,’’ katanya.

Meski begitu, bukan berarti Kustiawan tidak pernah menjajal untuk membeli rumah. Dia beberapa kali mendatangi pameran properti di Surabaya maupun Sidoarjo. Rata-rata harga rumah di atas Rp 400 juta. Uang mukanya mencapai Rp 30 jutaan. Cicilannya yang paling kecil Rp 3 juta per bulan selama 15 tahun. Buat mengumpulk­an uang mukanya saja saya sulit,’’ paparnya.

Terlebih, sekarang usianya sudah menginjak 35 tahun. Sementara itu, syarat untuk mengajukan KPR maksimal berusia 38 tahun. Karena itu, Kustiawan terus indekos. Entah sampai kapan. Seumur hidup kalau hanya mengandalk­an UMK pasti enggak bisa,’’ ungkapnya.

Saat ini Kustiawan dan istrinya, Kenita, tinggal indekos di Tandes bersama kedua anaknya. Ukurannya hanya 2,5 x 6 meter. Satu kamar tersebut dihuni empat orang. Kedua anaknya tentu akan terus tumbuh besar. Kamar itu pun akan semakin sempit. Meski begitu, mereka tetap bersyukur. Mungkin tetap indekos di Tandes. Anak saya sudah telanjur sekolah di sana. Pindah-pindah malah biaya mahal,’’ paparnya.

Untuk menutupi kebutuhan keluarga, Kustiawan berusaha menambah pundi-pundi keuangan. Dia membiayai istrinya untuk mengikuti kursus menjahit. Dengan keahlian tersebut, setidaknya ada tambahan penghasila­n yang bisa membantu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lumayan, sehari Rp 20 ribu–Rp 30 ribu, bisa buat jajan anak,’’ katanya.

Hal serupa dirasakan Darini dan suaminya, Sahdiharmi­n. Keduanya bekerja sebagai buruh pabrik. Darini yang kini berumur 38 tahun menjadi buruh pabrik sejak 1997. Sebagai buruh pabrik, dia mengalami pemberian gaji di bawah UMK lantaran bekerja dengan sistem borongan.

Dalam satu jam, Darini mendapat upah Rp 15 ribu. Gaji itu juga disesuaika­n dengan banyaknya hasil yang telah dikerjakan. Beruntung, suaminya yang juga buruh pabrik digaji sesuai UMK.

Meski sudah disatukan, gaji mereka tetap masih kurang untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebab, mereka harus menghidupi dua anaknya yang masih sekolah.

Anak pertama duduk di bangku kelas III SD di kawasan Tropodo. Adapun anak keduanya masih berumur dua tahun. Darini bersama suaminya merasa tidak berkeberat­an menyekolah­kan anak pertamanya. Sebab, SPP-nya gratis. Hanya, seragam, peralatan sekolah, dan buku tiap semester tetap harus beli sendiri.

Belum lagi kebutuhan untuk membeli susu bubuk buat anak keduanya. Susu yang dibeli seharga Rp 103 ribu hanya untuk empat sampai lima hari. Anaknya makanya gendut. Dia paling cepet kalau minum susu,’’ kata Darini yang berasal dari Nganjuk.

Selain itu, biaya listrik begitu memberatka­n karena terus melonjak sejak enam bulan terakhir. Sebelumnya, biaya listrik rata-rata hanya Rp 80 ribu per bulan. Namun, tagihannya sekarang bisa sampai Rp 200 ribu per bulan. (ayu/roh/c15/git)

 ?? HANUNG HAMBARA/JAWA POS ??
HANUNG HAMBARA/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia