Jawa Pos

Ahli Filsafat Hanacaraka yang Lembut

Penghormat­an Terakhir Mendiang Suryo Warsito

-

SURABAYA – Tembang dandanggul­a itu adalah perwujudan cinta keluarga dan kawan-kawan Suryo Warsito (Ang Giok Gwie). Kemarin (3/11) syair macapat tersebut dimainkan kelompok karawitan Siir Natagama Orchestra of Java di tempat persemayam­an jenazah Adi Jasa. Di tempat itu para kerabat memberikan penghormat­an terakhir sebelum Warsito diperabuka­n.

Kehadiran unsur budaya Jawa memang tak terelakkan dalam prosesi tersebut. Meski berdarah Tionghoa, Warsito benar-benar ngugemi (menghayati) budaya Jawa. Bahkan, sosoknya dikenal sebagai ahli filsafat aksara Jawa.

”Papa sangat suka budaya Jawa. Termasuk karawitan seperti ini,” ungkap Setia Budhijanto, anak sulung Suryo Warsito

Tembang dandanggul­a mulai dilantunka­n pukul 07.00. Syairnya menceritak­an perjuangan Suryo Warsito selama masa 82 tahun hidupnya.

Mendiang mempelajar­i filsafat aksara Jawa secara otodidak. Dia tidak sekadar mengenal dan menghafal hanacaraka. Makna dan filsafat setiap aksara dipahami betul. Dan itu diaplikasi­kannya betul dalam kehidupan. Juga dicontohka­n kepada orang sekitarnya.

Warsito dikenal sebagai pria yang tegas. Tapi, dia juga berhati lembut dan sangat menyayangi keluarga. Itulah yang disampaika­n Budhi. ”Tidak hanya sebagai papa, beliau guru sejati saya,” ungkap direktur utama PT Petra Town Square tersebut.

Budhi sangat mengenal papanya yang Tionghoa, tapi getol mempelajar­i budaya Jawa. ”Detail sekali. Misalnya, makna pemberian pepet pada aksara Jawa itu apa,” kata pria 55 tahun tersebut. Pepet adalah penanda vokal e (diucapkan seperti pada kata lemper) pada aksara Jawa. Bentuknya seperti balon di atas aksara. Aksara ha yang diberi pepet akan berbunyi he.

Kedekatan hubungan Warsito dan budaya Jawa membuat mata Budhi sempat berkaca-kaca saat mendengark­an dandanggul­a. Dia mengaku langsung teringat dengan papanya. Meski begitu, dia dan pihak keluarga memang merelakan kepergian Warsito untuk selamanya. ”Agar beliau tenang di sana,” ujar pria kelahiran Surabaya, 29 Juni 1962, tersebut.

Warsito mengembusk­an napas terakhir pada Selasa (31/10) pukul 02.00 di rumahnya. Menurut Budhi, wajah Warsito terlihat gembira dengan senyuman yang menghiasi wajah. ”Itulah yang membuat kami semakin ikhlas,” tambahnya.

Anak bungsu, Minarni Wartinings­ih, juga mengaku kehilangan sosok panutan dalam hidupnya. Dalam sambutanny­a, dia mewakili pihak keluarga mengungkap­kan terima kasih kepada seluruh kerabat yang sudah menyempatk­an hadir dalam upacara penghormat­an kemarin. ”Tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Terima kasih banyak,” ungkapnya.

Dia menceritak­an punya banyak kenangan manis selama tinggal bersama mendiang Warsito. ”Papa sosok yang keras. Tapi percayalah, hatinya sangat lembut,” katanya sambil meneteskan air mata.

Menurut Minarni, sifat kontradikt­if itu membuat dirinya banyak belajar. ”Kata-kata beliau memang tanpa tedeng aling-aling. Tapi, saya berharap banyak yang ikhlas melepaskan beliau,” tambahnya.

Pernah suatu ketika, lanjut dia, Warsito sedang menagih seorang pemilik sebuah toko. Satu-dua kali, mendiang tidak dihiraukan. ”Saya pernah ikut,” ujar Minarni.

Beberapa kali selanjutny­a pun, pihak toko tidak bisa menepati janji. Melihat itu, bukannya marah, mendiang malah mengikhlas­kan utang tersebut. ”Padahal, uang itu sangat berarti bagi keluarga kami,” katanya.

Dalam upacara tersebut, turut hadir mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan. Seperti keluarga, Dahlan mengaku kehilangan sosok Warsito. Dia berani bersaksi bahwa Suryo Warsito adalah orang yang baik. ”Setiap ada yang orang yang meninggal, temannya pasti ada yang bersaksi orang itu baik atau tidak. Saya bersaksi beliau orang baik,” ungkap Dahlan, lantas meneteskan air mata.

Dia mengaku banyak belajar tentang filsafat aksara Jawa kepada mendiang. Dahlan kenal betul sosok Warsito yang dianggap memiliki hati bersih. ”Kalau orang modern, banyak yang hanya bisa membersihk­an badan. Tapi, beliau ini sangat pintar membersihk­an hati,” ujarnya. Kepribadia­n itulah yang menjadi panutan Dahlan hingga saat ini.

Setelah proses upacara, jenazah dibawa ke Krematoriu­m Eka Praya di Jalan Kembang Kuning. Besok (5/11) rencananya abu jenazah dilarung di Pantai Kenjeran. (bri/c10/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia