Adit Tidak Jalani Tes Alergi
Pakar Farmakologi: Belum Masuk SOP Wajib Rumah Sakit
SIDOARJO – Pihak keluarga almarhum Ahmad Ahza Zaadit Taqwa mengancam akan melaporkan Rumah Sakit Aisyiyah (RSA) Siti Fatimah Tulangan ke polisi hari ini (4/11). Mereka menuding terjadi kesalahan penanganan yang berujung pada meninggalnya anak berusia 1 tahun 9 bulan tersebut. Salah satunya, proses pemberian antibiotik Taxegram melalui injeksi.
Direktur Utama RSA Siti Fatimah dr Tjatur Prijambodo mengakui, pihaknya memang tidak melakukan tes alergi dengan dasar literatur kesehatan. Sebagai antisipasi, pihaknya sudah menyiapkan obat antialergi.
”Saat dilaporkan pada 18.05, kami menyuntikkan antialergi pukul 18.10. Jadi, sama sekali tidak ada keterlambatan dalam penanganan,” katanya kemarin (3/11).
Sebagaimana diberitakan, penanganan dengan antibiotik Taxegram itu merupakan saran dari dokter penanggung jawab pasien (DPJP) yang sedang bertugas. Yakni, dr Medi Pryambodo. Dasarnya adalah pasien datang dengan keluhan demam, muntah, dan batuk.
Menurut Tjatur, dosis yang diberikan sudah sesuai dengan perhitungan medis. Termasuk obat antialergi. Yaitu, adrenalin. Pemberian adrenalin tersebut sudah dihitung atau disesuaikan dengan berat badan Adit, panggilan Ahmad Ahza Zaadit Taqwa.
”Injeksi adrenalin 0,01 cc per kilogram berat badan. Karena berat pasien 10 kilogram, yang diinjeksikan sebesar 0,1 cc,” ujarnya.
Sebelumnya, Tetty Rihardini, ibunda Adit, juga menyebutkan bahwa putra semata wayangnya itu diberi antibiotik tanpa melakukan pemeriksaan alergi. Tetty tahu pasti karena latar belakangnya adalah dosen kebidanan di Universitas PGRI Adi Buana Surabaya.
Pakar farmakologi Universitas Airlangga Liza Pristiyanti menjelaskan bahwa antibiotik yang diberikan kepada Adit merupakan obat dengan kandungan cefotaxim sodium. Obat itu memang diberikan kepada pasien yang mengalami infeksi saluran bawah. Namun, risikonya tidak enteng.
”Antibiotik memang banyak yang menimbulkan alergi. Alergi itu tidak hanya menyerang wajah dan kulit, tapi juga bisa membengkakkan jantung atau saluran pernapasan,” jelasnya.
Menurut dia, penggunaan obat dengan risiko tinggi seperti itu harus disertai dengan tes alergi. Biasanya, tim medis bakal menggunakan metode tes kulit alias skin test. Jika terjadi iritasi, dokter harus mencari alternatif obat dengan kandungan zat yang lain.
Liza menyebutkan, banyak dokter atau rumah sakit yang melewatkan tahap penting tersebut. ”Beberapa rumah sakit hanya mengandalkan informasi dari keluarga soal riwayat alergi,” katanya.
Padahal, tidak ada pengecualian dalam tes tersebut. Semua obat antibiotik, apalagi yang jenis injeksi, perlu didahului dengan tes alergi. Hal itu berlaku bagi pasien semua umur. ”Setelah disuntik, tetap harus diawasi. Karena reaksi bisa datang kapan saja. Bahkan, 3–4 jam setelah disuntik, masih rawan timbul alergi,” jelas ketua Ikatan Apoteker Indonesia Cabang Surabaya itu.
Meski begitu, dia tak bisa mengambil kesimpulan bahwa terjadi malapraktik dalam kasus tersebut. Pasalnya, tes dan pencatatan alergi belum menjadi standard operating procedure (SOP) wajib di tingkat rumah sakit. Yang wajib adalah penyediaan obat antialergi sesaat setelah gejala muncul.
”Kalau dari infonya, setelah pasien dilaporkan memiliki gejala alergi, langsung disuntik antialergi. Artinya, mereka memang sudah sesuai prosedur,” katanya. ”Kondisi anak juga bisa jadi faktor gagalnya upaya penanggulangan alergi,” imbuh Liza. (bil/c6/pri)
Saat dilaporkan pada 18.05, kami menyuntikkan antialergi pukul 18.10. Jadi, sama sekali tidak ada keterlambatan dalam penanganan.” Dokter Tjatur Prijambodo Direktur Utama RSA Siti Fatimah