Mangkir Lagi, Setnov Malah Gugat UU KPK
KPK dituntut putar otak menghadapi Ketua DPR Setya Novanto (Setnov). Sebab, hingga kemarin (13/11), ketua umum DPP Partai Golkar itu tak kunjung memenuhi panggilan pemeriksaan kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang diusut lembaga tersebut.
Setnov kemarin diagendakan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Anang Sugiana Sudihardjo
Namun, lagi-lagi dia memilih absen. Dia meminta KPK menyertakan izin tertulis dari presiden sebelum melakukan pemanggilan. Alasan itu sebelumnya juga menjadi dasar Setnov tidak memenuhi panggilan KPK.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, pihaknya masih mempelajari surat ketidakhadiran yang dikirim Setnov. Menurut dia, selain meminta KPK untuk lebih dulu mengajukan izin ke presiden, Setnov beralasan tengah menghadiri HUT Ke-53 Golkar tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur.
”Surat disampaikan pagi tadi (kemarin, Red),” jelasnya. Disinggung soal opsi jemput paksa untuk menghadirkan Setnov di pemeriksaan KPK, Febri belum mau berkomentar. Menurut dia, pemanggilan secara patut bakal kembali dilakukan.
Sementara itu, perlawanan kembali dilancarkan Setnov. Kali ini lewat jalur Mahkamah Konstitusi (MK). Kemarin Fredrich Yunadi, kuasa hukum Setnov, mengajukan judical review ( JR) alias uji materiil terhadap dua pasal dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Yakni, pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 12 ayat (1) huruf b. ” Ya, itu tadi kan daftar,” ungkapnya di gedung MK kemarin.
Dua pasal dalam UU KPK tersebut diuji dengan UUD 1945. Kemarin pengajuan uji materiil oleh Setnov diterima MK dengan tanda terima bernomor 1734/ PAN.MK/XI/2017 (untuk pasal 46) dan 1735/PAN.MK/XI/2017 (untuk pasal 12).
Menurut Fredrich, keputusan mengajukan permohonan uji materiil diambil lantaran pihaknya menilai KPK sudah melampaui ketentuan. Misalnya, soal pemanggilan Setnov sebagai ketua DPR. ”Saya selalu mengatakan wajib meminta izin presiden.”
Fredrich menyatakan, dirinya berani menyampaikan hal itu lantaran UUD 1945 mengatur hak imunitas anggota DPR. Aturan tersebut tertuang dalam pasal 20A ayat (3) UUD 1945. Aturan serupa tertulis dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.
Bahkan, lanjut dia, putusan MK tahun 2014 menyatakan, pemanggilan legislator oleh KPK harus seizin presiden. ”Menurut norma hukum, UU apa pun tidak boleh bersentuhan atau melampaui UUD 1945,” terangnya.
Fredrich menegaskan, Setnov tidak akan memenuhi panggilan KPK sebelum ada putusan MK soal uji materiil yang diajukannya. Menurut dia, hal seperti itu juga dilakukan KPK yang menolak panggilan Pansus Hak Angket KPK di DPR dengan alasan menunggu hasil uji materiil soal kewenangan pansus tersebut.
”Mereka (KPK) kan selalu mengabaikan panggilan pansus dengan alasan menunggu putusan MK,” beber Fredrich. Hal serupa bakal dilakukan Setnov. ”Bahwa klien kami akan menunggu putusan MK untuk menentukan sikap,” imbuhnya.
Keterangan tersebut sekaligus menegaskan bahwa Setnov tidak akan memenuhi panggilan KPK sebelum ada putusan MK dari uji materiil yang diajukannya. ”Saya harap semua orang menghormati hukum,” ucapnya.
Dia menegaskan, pihaknya sudah taat hukum. Juga sudah meminta MK segera menyidangkan permohonan uji materiil yang mereka ajukan. Tujuannya, kasus itu tidak menggantung serta tidak lagi membuat masyarakat bingung.
Soal kemungkinan Setnov dipanggil paksa oleh KPK, Fredrich pun menyampaikan kembali bahwa hal serupa bisa dilakukan DPR. ”Berarti sama dong, pansus juga boleh panggil paksa dia (KPK) dong,” imbuhnya.
Sikap Setnov tersebut ditanggapi serius oleh kader muda Golkar. ”Apabila Setnov masih terus di luar, dia pasti akan melakukan manuver apa saja untuk ’menghabisi’ KPK,” ungkap Koordinator Generasi Muda Partai Golkar (GMPG) Ahmad Doli Kurnia kemarin.
Menurut dia, upaya Setnov dan Fredrich Yunadi selama ini merupakan manuver untuk menyerang KPK atau pihak lain yang berseberangan dengan KPK. ”Tak hanya pimpinan KPK, wakil presiden pun diserang. Seenaknya pula mau menarik-narik TNI, Polri, bahkan presiden untuk melindungi Setnov,” tegasnya.
Doli menilai, yang ditampilkan pihak Setnov melalui kuasa hukumnya itu menggambarkan tiga situasi. Pertama, Setnov akan habis-habisan melawan KPK. Selaku pimpinan lembaga tinggi negara, tampaknya, dia tidak menghormati Indonesia sebagai negara hukum serta tidak peduli lagi tentang etika berbangsa dan bernegara.
”Dia sudah menganggap dirinya kuat, bisa mengatur institusi penegak hukum lainnya untuk bersama dia berhadapan dengan KPK. Bahkan, pernyataan presiden yang menolak secara tegas upaya kriminalisasi pimpinan KPK pun tak dihiraukannya,” jelas mantan wakil Sekjen Partai Golkar itu.
Kedua, keberanian melakukan kegaduhan seperti itu didasari kemampuan dan keyakinan bahwa posisi Setnov masih kuat dan mendapat dukungan dari kekuasaan. Dalam hal ini, bisa jadi Fredrich mendapat perintah langsung dari oknum pro-Setnov. ”Oknum ini, tampaknya, beririsan dengan kepentingan Setnov dan berada di lingkaran kekuasaan atau istana,” ujar Doli.
Terakhir, pernyataan-pernyataan Fredrich tampak seperti parodi yang membolak-balikkan logika. Hal itu justru mengajari masyarakat ke arah sesat pikir dalam memahami hukum. ”Suka mengarang, mengutip informasi yang keliru, analisis yang ngawur, dan kesimpulannya pun jadi tak kontekstual, tapi tetap merasa paling pintar,” ujarnya.
Di sisi lain, KPK terus menguatkan bukti dan keterangan kasus e-KTP dari para saksi dalam sidang Andi Agustinus alias Andi Narogong. Jaksa menghadirkan pemilik Delta Energy Investment Company Made Oka Masagung, Komisaris PT Softorb Technology Muji Rakhmat Kurniawan, mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kemendagri Sugiharto, pengusaha asal Singapura Muda Ikhsan Harahap, dan Anang Sugiana Sudihardjo.
Jaksa KPK mengonfrontasi keterangan Oka Masagung yang merupakan teman Setnov dengan Anang, Muji Rakhmat, dan Muda Ikhsan soal aliran uang yang ditengarai berhubungan dengan proyek e-KTP. Dalam sidang sebelumnya, Oka mengakui pernah menerima USD 1,8 juta dari Direktur Biomorf Lone LLC Johannes Marliem yang meninggal di Amerika beberapa waktu lalu.
Meski dikonfrontasi dengan saksi lain mengenai indikasi uang yang mengalir ke Andi Narogong dan Irvanto Hendra Pambudi Cahyo (keponakan Setnov), Oka tetap mengaku tidak tahu. Distribusi duit tersebut diduga keluar masuk di rekening Oka pada medio Desember 2012. ”Saya betul-betul belum ingat,” katanya. (bay/tyo/syn/c5/nw)