Setnov dan Jemput Paksa
INILAH ”indahnya” proses hukum. Kita harus terus menahan geram melihat manuver Setya Novanto ( Setnov). Kemarin orang itu kembali mangkir dari panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Berbagai kritik, kecaman, dan argumen logis tak bisa memaksa ketua DPR tersebut untuk datang ke lembaga pemberantas korupsi itu. Sikap yang bagi banyak orang menjengkelkan tersebut dibantu pengacaranya. ”Bertengkar” dengan wakil presiden pun dilakoni.
KPK tak boleh terpancing. Tetap layangkan surat panggilan. Kalau tak bisa, jemput paksa. Ya, ringkus! Memang begitu aturan mainnya. Jangan tumpul menghadapi sosok yang dikenal lihai itu. Bungkam lewat bukti-bukti telak, yang sebagian sudah terkuak ke publik. Meski muak, jangan sampai kehilangan ketajaman dalam mengurus perkara Setnov.
Setnov sebenarnya bisa menunjukkan bahwa dirinya berguna bagi bangsa kali ini. Yakni dengan mematuhi proses kasus e-KTP yang mengerat uang negara Rp 2,3 triliun. Bagaimanapun, kredibilitas KPK jauh lebih tinggi. Jadi, kalau Setnov terus-menerus membuat langkah, yang bagi sebagian orang mengada-ada, tentu kredibilitasnya sebagai manusia makin merosot. Ah, masih pedulikah dia dengan kredibilitas?
Kemarin sejawatnya di DPR, Miryam S. Haryani, sudah divonis lima tahun penjara karena dinilai terbukti memberikan keterangan palsu alias berbohong di persidangan sebagai rangkaian kasus e-KTP. Bagaimana Setnov? Saat bersaksi, dia juga banyak bilang lupa dan tidak tahu. Tidakkah Setnov bisa dijerat pasal serupa dengan Miryam? KPK tinggal perlu membuktikan sebaliknya dari apa yang dibilang Setnov itu.
KPK perlu setegas kepada Miryam terhadap siapa pun yang diyakini menghalangi penegakan hukum kasus korupsi. Jangan sampai terombang-ambing oleh manuver yang tak peduli pada spirit keadilan, inti keras dari hukum. (*)