Importer Sulit Tekan Biaya Logistik
SURABAYA – Importer masih menghadapi tingginya biaya logistik yang diperkirakan berkontribusi 30–36 persen terhadap total biaya operasional. Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (Ginsi) Anton Sihombing menyatakan, tingginya biaya logistik membuat daya saing Indonesia di negaranegara ASEAN berada di posisi keempat untuk parameter logistic performance index (LPI). Indonesia tertinggal dari Singapura, Malaysia, dan Thailand.
’’Meski dwelling time (waktu tunggu di pelabuhan) sudah tercapai seperti waktu yang diinginkan, cost bukannya turun, malah naik,’’ katanya kemarin (13/11).
Karena itu, pihaknya meminta seluruh pengurus Ginsi bekerja sama dengan instansi maupun asosiasi terkait. ’’Misalnya, kami minta tiap ada kenaikan tarif di pelabuhan harus diikutsertakan,’’ imbuh Anton.
Ketua Ginsi DKI Jakarta Subandi menuturkan, kontribusi biaya logistik di Malaysia dan Singapura kurang dari 20 persen. Jika dibandingkan dengan Indonesia, selisihnya signifikan.
Dampak tingginya biaya itu tidak hanya dirasakan konsumen, tetapi juga importer. Importer terbebani dengan harga jual barang yang tinggi dan besarnya biaya yang ditanggung, tapi margin yang diperoleh rendah.
’’Kondisi tersebut memburuk jika mengacu pada upaya pemerintah yang sedang mendorong daya beli masyarakat,’’ tuturnya. Potensi barang tidak laku menjadi besar. Pengaruhnya terhadap keberlang- sungan usaha cukup signifikan. ’’Sangat mungkin importer gulung tikar,’’ lanjut Subandi.
Komponen yang berpengaruh terhadap tingginya biaya logistik, antara lain, biaya bongkar muat di pelabuhan, uang jaminan untuk pelayaran asing, dan biaya perbaikan kontainer. ’’Ginsi sedang berupaya menghilangkan kom ponen uang jaminan,’’ paparnya. Uang jaminan itu diberikan importer kepada perusahaan pelayaran. Tujuannya, mengantisipasi klaim kerusakan kontainer.
Sekjen Ginsi Erwin Taufan menambahkan, pengaruh tingginya biaya logistik terhadap kegiatan operasional importer cukup besar. Terutama importer yang mengantongi angka pengenal importerprodusen (API-P). (res/c18/sof)
Wilayah Kerja (WK) Blok Tuban direncanakan segera dipecah menjadi dua. Hal tersebut dilakukan setelah kontrak Joint Operating Body Pertamina Petrochina East Java (JOB PPEJ) sebagai operator Blok Tuban berakhir pada Februari 2018.
Meski begitu, pihak Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) belum memastikannya. Siapa yang akan mengelola Blok Tuban akan ditetapkan saat kontrak habis.
Kepala Perwakilan SKK Migas Jabanusa Ali Masyhar menyatakan, WK akan dikembalikan ke pemerintah dan selanjutnya dikelola perusahaan baru. ”Kabarnya akan cenderung dipecah menjadi dua. Lapangan Sukowati akan diambil alih Pertamina EP Asset 4 dan lapangan Mudi mungkin diambil anak perusahaan Pertamina, yaitu Pertamina Hulu Energi (PHE),” jelasnya.
Namun, dia menegaskan bahwa skema tersebut masih bersifat kemungkinan. Pertimbangannya adalah kedekatan wilayah. Keputusannya akan ditetapkan setelah masa kontrak berakhir. ”Kurang lebih akan seperti itu. Tapi, memang belum bisa pasti karena belum