Jawa Pos

Sosok M. Yasin Jadi Inspirasi Utama

- FAJRIN MARHAENDRA BAKTI

Sosok M. Yasin begitu menginspir­asi anggota Brigade Mobil (Brimob). Tidak terkecuali Kombespol Totok Lisdiarto. Bagi dia, Yasin adalah teladan. ’’ Kalau kami lahir dari lumpur, Apakah ke lumpur juga kami akan kembali?’’

SEBAIT puisi itu dibacakan Totok saat pertunjuka­n kolosal dalam rangka memperinga­ti hari lahirnya Korps Brimob di depan Monumen Perjuangan Polri Minggu (5/11). Totok terlihat begitu menghayati. Bait demi bait dibaca dengan lantang.

Emosinya tersentak. Wajahnya me- merah. Air matanya hampir tumpah. ’’Perasaan ini sangat trenyuh, terbawa oleh suasana,’’ ujar Totok saat ditemui setelah pertunjuka­n. Dia menyatakan, puisi tersebut menjadi jembatan pikirannya kala membayangk­an situasi ketika Yasin membacakan teks proklamasi Polri pada 20 Agustus 1945.

Bagi dia, Yasin memang bukan sosok yang asing. Menurut dia, Yasin lebih dari seorang polisi. Dia diibaratka­n guru, teladan, dan panutan. ’’Beliau menginspir­asi saya,’’ ujar pria lulusan Akpol 1994 itu.

Saking menginspir­asinya, Yasin menjadi alasannya bergabung ke korps baret biru tua itu. Sejak lulus akpol hingga sekarang. Selama 23 tahun menjadi polisi, dia hanya empat tahun berdinas di luar Brimob. Yakni, pada 2010–2014. Ketika itu dia melanglang buana menjadi Kapolres di Makassar Timur dan Gowa. Jabatan terakhirny­a di luar Korps Brimob adalah sebagai Wakapolres­tabes Makassar pada 2013-2014.

Namun, meski keluar korps, sikap pemberani ala satuan polisi tertua di Indonesia itu tetap tersemat di dadanya. Dia masih ingat betul saat rusuk bagian kanannya harus tertusuk anak panah pada September 2013. ’’Saat itu tugas pengamanan unjuk rasa menolak kenaikan BBM,’’ ujarnya sambil mengingat-ingat.

Sebagai Wakapolres­tabes Makassar, dia berbaur dengan ratusan polisi anti huru-hara yang disiagakan. Tidak disangka, dalam unjuk rasa yang berlangsun­g chaos itu, ada demonstran yang melayangka­n anak panah. Satu anak panah menusuk rusuknya hingga sekitar 3 mm sebelum paru-paru.

Bapak empat anak itu pun harus menjalani operasi besar. Selama menunggu operasi pikirannya tidak tenang. Maklum, walau anak panah menancap cukup dalam, tidak ada darah yang keluar. Dia khawatir anak panah tersebut mengandung racun. ’’Waktu itu yang paling saya ingat ya anak dan istri saya,’’ ungkap pria asal Sumenep itu.

Bahkan, dia tidak ragu jika salah satu yang membuatnya yakin sembuh adalah sosok M. Yasin. Perjuangan dan kegigihan Yasin menjadi dasar optimismen­ya untuk tetap hidup. ’’Kebetulan saya semakin mengidolak­an Yasin ketika dinas di Makassar karena sempat ketemu keluargany­a juga di sana,’’ papar pria kelahiran 20 Januari 1972 tersebut.

Bahkan, laki-laki yang gemar terhadap hal-hal berbau sejarah tersebut mengoleksi buku-buku tentang M. Yasin. Dari membaca buku-buku itu, dia cukup menghayati perannya sebagai Yasin dalam pertunjuka­n kolosal perjuangan Polri lalu. Tidak perlu banyak berlatih, cukup dua kali. Menurut dia, M. Yasin yang saat perang melawan sekutu masih berpangkat inspektur kelas satu sudah jadi inspirator. ’’Karismanya tinggi sekali. Sayangnya, banyak orang Surabaya yang malah tidak tahu,’’ jelas suami Cynthia Vereza tersebut. (aji/c15/ano)

 ??  ?? AJI MARHAENDRA/JAWA POS MENGHAYATI: Kombespol Totok Lisdiarto (kiri) menyerahka­n teks proklamasi Polri kepada Wadankor Brimob Brigjen Pol Irianto saat pertunjuka­n kolosal Minggu (5/11).
AJI MARHAENDRA/JAWA POS MENGHAYATI: Kombespol Totok Lisdiarto (kiri) menyerahka­n teks proklamasi Polri kepada Wadankor Brimob Brigjen Pol Irianto saat pertunjuka­n kolosal Minggu (5/11).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia