Jawa Pos

Ali Sebulan Tiga Kali FM, Ancha Konsisten Nyeker

Banyak cerita menarik di antara 5.000 peserta Jawa Pos Fit East Java Marathon 2017 Minggu lalu (12/11). Ada pelari tertua, 60 tahun, yang memperbaik­i catatan waktu FM-nya. Ada juga pelari-pelari barefoot alias nyeker yang menaklukka­n panasnya aspal Jembat

- AGAS PUTRA HARTANTO -NURIS ANDI P., Surabaya

SESAAT setelah melewati garis finis, Ali Hasmi Ngasim masih mengatur ritme napas

Mengenakan peci kupluk dan jersey peserta, Ali terlihat semringah. Senyum tampak jelas di wajah tuanya. Dia begitu bersyukur di usianya yang sudah 60 tahun bisa menyelesai­kan full-marathon (FM/42,195 km) di tempat yang ikonik, Jembatan Suramadu.

Sebagai pelari tertua di kategori FM Jawa Pos Fit East Java Marathon 2017, catatan waktunya juga tidak mengecewak­an. Di antara 350 peserta kategori FM, Ali finis di urutan ke-77. Dalam official result tercatat finish time 5 jam 27 menit 33 detik dan chip time 5 jam 27 menit 8 detik. ”Ini FM kedua saya. Yang pertama dua minggu lalu di Jakarta Marathon,” kata Ali

Meski banyak yang mengatakan race FM di Suramadu termasuk yang paling berat, Ali justru bisa memperbaik­i catatan waktunya. Saat pecah FM di Jakarta Marathon, 29 Oktober lalu, catatan waktunya adalah 6 jam 21 menit 47 detik. Di Suramadu dia sudah mulai bisa mengatur strategi agar tidak kedodoran hingga garis finis.

Minggu depan, 19 November, dia ancanganca­ng untuk FM ketiga di Borobudur Marathon. Itu akan menjadi FM penutup bagi dia tahun ini. Untuk seusia Ali, tiga kali FM dalam sebulan terbilang ekstrem. Pelari profesiona­l saja biasanya mengambil jeda minimal dua bulan sebelum tampil di FM berikutnya.

Khusus lari di Suramadu, race kemarin adalah kali kedua. Tahun lalu, di ajang Jawa Pos Fit East Java Half-Marathon 2016, dia juga ikut dalam kategori half-marathon (HM/21,1 km). Catatan waktunya kala itu 2 jam 45 menit 41 detik.

Menurut dia, trek FM Jawa Pos Fit East Java Marathon 2017 tidak terlalu berat. ”Mungkin juga karena cuacanya sempat agak mendung,” lanjutnya. Tanda-tanda kram pada betis kaki yang biasanya terasa saat berlari kali ini tidak dirasakann­ya sama sekali. Jalur yang naik turun malah menguntung­kan bagi Ali. Memang memasuki Madura berlari mendaki tanjakan. ” Yang penting terus berlari, meski pelan. Nanti dibalas saat turunan. Lari lepas saja kecepatan akan bertambah,” jelas Ali.

Ali terkesan saat berlari melintasi perkam- pungan di Bangkalan. Sepanjang jalan banyak anak-anak dan ibu-ibu yang menyambutn­ya. Sorak-sorai anak-anak itu memberinya semangat. Ali lantas membalasny­a dengan mengulurka­n tangan sambil berlari mengajak toas. Hal itu mengingatk­annya waktu kecil yang gemar melihat atlet berlari di televisi.

Sempat juga Ali mendengar ibu-ibu yang menyindirn­ya. ” Wis tuwo kok ndadak melu ta mbah-mbah. Ayo semangat mbah kakung,” selorohnya.

Sebelum terjun di FM, Ali sudah melahap banyak race. Tercatat 5 kali HM dan 7 kali 10K. Dia juga pernah mengikuti dua kali trail run, yakni 100th Merapi Ultra Marathon 2016 dan Sleman Temple Run 2017. ”Itu belum yang 5K. Saya lupa sudah berapa kali,” paparnya.

Berlari memang menjadi hobi masa kecil Ali. Masih lekat di ingatannya, untuk bersekolah, Ali harus menempuh jarak 1,5 kilometer dari rumahnya. Kala itu tidak ada motor atau kendaraan antar jemput seperti anak zaman sekarang.

”Waktu SD dulu berangkat ke sekolah jalan kaki, pulangnya lari. Biar cepat sampai di rumah, terus istirahat,” kenang alumnus Jurusan Matematika, Universita­s Gadjah Mada, Jogjakarta, tersebut. Kebiasaan produktif itu pun terbawa hingga dia duduk di bangku kuliah. Dan akhirnya menjadi gaya hidup hingga saat ini.

Ali merasakan race pertama saat tampil di Sriwedari Marathon pada 1979. Kala itu Ali masih berstatus mahasiswa. Race tersebut memang hanya melombakan satu nomor, yakni HM. Saat itu dia menempuh jalur dari Candi Prambanan menuju Hotel Sriwedari di Jogjakarta.

Yang menarik adalah race tersebut start pukul 11.00. Berlari saat siang dengan cuaca terik membuat dia kewalahan. Bahkan, Ali hampir menyerah di kilometer ke-10. ”Melihat ada truk lewat, saya hadang. Terus numpang sampai kilometer 20. Lalu, saya turun terus lanjut lari lagi sampai finis,” ujarnya, lantas tertawa.

Ali sempat merasa kapok untuk mengikuti event lari. Meski sempat vakum mengikuti event, dia tetap menjalani hobi berlari setiap pagi. Ali tinggal di Desa Suruh, Kecamatan Suruh, Kabupaten Salatiga. Lingkungan desa yang asri dengan lahan persawahan yang masih banyak membuat pagi hari terasa sejuk dan pas untuk berolahrag­a.

Dia kembali ikut race pada 2014 dengan mengikuti Borobudur 10K di Magelang. Kala itu, saat 100 meter menjelang garis finis, Ali disalip seorang anak SD. ”Batin saya bilang, kurang ajar, masak saya kalah sama anakanak,” kenangnya. Mulai saat itu, dia bertekad terus berlatih dan mengikuti berbagai race.

Peserta lain yang menarik perhatian kemarin adalah Hamzah Haruna. Di kalangan pelari, dia sangat terkenal. Julukannya pelari nyeker asal Makassar. Fotonya pernah viral saat finis Blackmores Sydney Running Festival 2016. Selain tanpa mengenakan alas kaki, dia mengenakan baju adat bugis, passapu (ikat kepala khas Bugis), dan bendera Merah Putih. ”Maaf untuk sekarang ( Jawa Pos Fit East Java Marathon 2017, Red) tidak pakai baju adat dulu. Mungkin tahun depan,” ujarnya setelah finis.

Menurut pria yang akrab disapa Ancha itu, berlari di Jembatan Suramadu adalah salah satu tantangan terberatny­a. Lantaran panasnya cuaca di Suramadu, Ancha memilih ikut HM, bukan FM. Catatan waktunya adalah 2 jam 8 menit 27 detik. ”Bukan personal best saya sih, easy run saja, tapi memang menyenangk­an,” ujarnya.

Ancha nyeker sejak awal 2015. Dia merasa cukup nyaman berlari tanpa alas kaki. Pengalaman buruk berlari dengan menggunaka­n sepatu membuatnya memilih untuk nyeker dalam berlatih maupun mengikuti race.

Akhir tahun ini Ancha mengikuti Nusantarun dengan chapter kelima melintas Purwokerto menuju Dataran Tinggi Dieng. Jalur sejauh 127,9 km sudah siap dilibasnya. Tahun lalu Ancha juga untuk kali pertama ambil bagian pada chapter keempat sejauh 145 km.

Kebiasaan berlari tanpa alas kaki memang sudah menular. Di race Jawa Pos Fit East Java Marathon 2017 saja ada lebih dari 15 pelari yang barefoot. Terutama di kategori 10K dan 5K.

Untuk kategori FM, ada juga yang barefoot. Dia adalah Muhammad Hafiidh. Pria 32 tahun asal Surabaya itu berlari nyeker selama 5 jam 7 menit 44 detik. Padahal, suhu udara di Suramadu Minggu lalu mencapai 36 derajat Celsius. (*/c10/tom)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia