Nasib Anak-Anak Rohingya yang Mengungsi
COX’S BAZAR – Ketika menerima tawaran sebagai pekerja konstruksi, Muhammad Zubair membayangkan bisa menghasilkan banyak uang. Sebab, pengungsi Rohingya yang masih berusia 14 tahun itu ditawari gaji 250 taka (mata uang Bangladesh) per hari atau sekitar Rp 40 ribu. Namun, setelah bekerja keras selama 38 hari membangun jalan, dia hanya digaji 500 taka alias Rp 80 ribu. Zubair dilecehkan secara verbal saat meminta gajinya dibayar penuh. Lantas, dia diusir.
Akhirnya, remaja yang tinggal di kamp pengungsian Kutupalong, Bangladesh, itu pindah kerja sebagai pelayan di kedai teh selama sebulan. Dia mengambil dua sif dan bekerja sejak pukul 6 pagi sampai lewat tengah malam. Zubair tidak diizinkan keluar dari kedai dan hanya boleh berbicara dengan orang tuanya sekali via telepon. ”Ketika saya tidak dibayar, saya melarikan diri,” ucapnya.
Nasib seperti Zubair itulah yang dialami sebagian besar anak-anak pengungsi Rohingya di Bangladesh. Mereka dieksploitasi secara fisik maupun mental. Banyak pula yang dilecehkan secara seksual. Kehidupan mereka di Bangladesh tidak lebih baik daripada saat mereka di Myanmar.
Penderitaan anak-anak Rohingya tersebut terperinci dalam laporan penyelidikan International Organization for Migration (IOM) yang diungkap kantor berita Reuters kemarin (13/11). IOM telah mewawancarai para pengungsi, baik yang lama maupun baru. Reuters juga mewawancarai tujuh keluarga yang mengirim anaknya bekerja. Semuanya mengaku mendapat perlakuan buruk, gaji rendah, dan pelecehan.
”Eksploitasi kini menjadi sesuatu yang normal di kamp,” kata spesialis anti perdagangan manusia IOM Kateryna Ardanyan. Anakanak pengungsi Rohingya memang menjadi sasaran empuk sindikat perdagangan manusia dan calo pekerja. Jumlah mereka banyak dan bisa ditipu dengan mudah.
Sebanyak 55 persen pengungsi atau setara dengan 450 ribu orang merupakan anak-anak.
Sebagian anak lainnya tidak memerlukan izin dari siapa pun karena mereka datang ke pengungsian sendirian. Orang tua mereka biasanya tewas terbunuh saat terjadi konflik di Rakhine, Myanmar. Jumlah pengungsi anak tanpa pendamping itu mencapai 2.462 orang.
Usia paling muda anak-anak yang bekerja tersebut adalah 7 tahun. Biasanya anak laki-laki menarik becak atau bekerja di ladang, tempat-tempat konstruksi, perahu nelayan, dan warung. Anak perempuan bekerja menjadi pembantu dan penjaga bayi di Cox’s Bazar maupun Chittagong. Bahkan, nasib anak perempuan lebih mengenaskan. Mereka kerap menjadi korban pemerkosaan.
Salah satu orang tua pernah mengirim putrinya yang berusia 14 tahun untuk bekerja sebagai pembantu di Chittagong. Namun, hanya berselang beberapa pekan, si anak melarikan diri dan kembali ke kamp. Dia sulit berjalan karena begitu seringnya diperkosa dan dipukuli majikannya.
Si majikan memperkosanya enam atau tujuh kali. ”Mereka tidak memberi kami uang. Tidak sepeser pun,” ujar sang ibu yang tidak mau namanya disebutkan saat diwawancarai Reuters.
Jika tak disuruh bekerja, anakanak perempuan Rohingya diminta menikah dini dengan penduduk setempat. Bahkan, sebagian masih berusia 11 tahun. Harapannya lagi-lagi untuk memperbaiki nasib, perlindungan, dan masalah finansial. Namun, sebagian besar anak-anak itu tentu hanya menjadi istri kedua yang bisa diceraikan kapan saja.
Inspektur Polisi Cox’s Bazar Afjurul Hoque Tutul mengungkapkan bahwa mereka sudah membuat sebelas pos pemeriksaan untuk mencegah pengungsi anak-anak keluar dari kamp dan bekerja. ”Jika ada anak Rohingya yang ketahuan bekerja, majikannya akan dihukum,” ungkapnya. (Reuters/sha/c16/any)