Desentralisasi Perlindungan Buruh Migran
PENANTIAN dan perjuangan panjang buruh migran akan hadirnya kebijakan baru tata kelola migrasi yang berbasis pada penghormatan hak asasi manusia (HAM) tampak di ujung mata. Dengan pengesahan UU tentang Perlindungan Pekerja Migran pada 25 Oktober lalu yang merevisi UU No 39/2004 yang tidak berpihak kepada buruh migran, era baru perlindungan yang lebih tulus dan komprehensif menjadi harapan kita semua.
Desentralisasi perlindungan buruh migran menjadi salah satu isu utama yang diregulasi ulang. Harapannya, negara bisa hadir hingga ke rumah buruh migran. Pejabat daerah semestinya menyambut sungguh-sungguh UU Perlindungan Buruh Migran yang baru tersebut.
Selama ini eksploitasi terhadap buruh migran yang jamak terjadi sesungguhnya akibat dari adanya monopoli peran para pengambil keuntungan secara brutal dan sewenang-wenang dalam penempatan buruh migran. Sehingga buruh migran tak lebih dari sekadar komoditas yang tidak memiliki sisi manusiawi. Itu semua terjadi karena UU yang lama terkesan memberi ruang secara legal untuk terjadinya monopoli dan eksploitasi. Ruang tersebut melalui UU Perlindungan yang baru telah dipersempit dengan menghadirkan layanan terpadu satu atap di tingkat provinsi dan kabupaten, bahkan desa. Membangunkan Pemda Dalam UU Perlindungan yang baru, pemda dituntut berperan secara aktif untuk melindungi buruh migran. Dalam ketentuan pasal 40 secara eksplisit diatur tentang tanggung jawab pemprov yang meliputi; a) Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja; b) Mengurus kepulangan pekerja migran Indonesia dalam hal terjadi peperangan, bencana alam, wabah penyakit, deportasi, dan ketika pekerja migran Indonesia menghadapi masalah; c) Menerbitkan izin perusahaan penempatan dan melaporkan hasil evaluasi terhadap kinerja perusahaan secara berjenjang dan periodik kepada menteri; d) Menyediakan pos bantuan, pelayanan pemulangan, dan pemberangkatan; e) Menyediakan dan memfasilitasi pelatihan vokasi calon pekerja migran yang anggarannya dari fungsi pendidikan; f) Mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan pekerja migran; serta g) Membentuk layanan terpadu satu atap penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia.
Sementara itu, kewenangan pemkab/pemkot sebagaimana diatur dalam pasal 41 meliputi; a) Menyosialisasikan informasi migrasi kepada masyarakat; b) Membuat basis data pekerja migran Indonesia; c) Melaporkan hasil evaluasi terhadap perusahaan penempa- tan pekerja migran secara periodik kepada pemerintah daerah provinsi; d) Mengurus kepulangan pekerja migran Indonesia dalam hal terjadi peperangan, bencana alam, wabah penyakit, deportasi, dan ketika pekerja migran Indonesia menghadapi masalah sesuai kewenangannya; e) Memberikan perlindungan pekerja migran sebelum berangkat dan setelah bekerja; f) Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi calon pekerja migran; g) Melakukan reintegrasi sosial dan ekonomi bagi pekerja migran dan keluarganya; h) Menyediakan dan memfasilitasi pelatihan vokasi calon pekerja migran yang anggarannya dari fungsi pendidikan; i) Mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan pekerja migran; serta j) Membentuk layanan terpadu satu atap penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia.
Di wilayah pertama di mana pekerja migran berasal, yakni desa, juga ada kewenangan baru sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 42, yaitu; a) Menerima dan memberikan informasi migrasi kepada masyarakat; b) Melakukan verifikasi data dan pencatatan calon pekerja migran; c) Memfasilitasi pemenuhan persyaratan administrasi kependudukan calon pekerja migran; d) Melakukan pemantauan keberangkatan dan kepulangan pekerja migran Indonesia; dan e) Melakukan pemberdayaan kepada calon pekerja migran, pekerja migrant, dan anggota keluarganya.
Di beberapa provinsi dan kabupaten/kota, telah terbentuk layanan terpadu satu atap. Di NTB, layanan terpadu itu bahkan terbentuk sejak 2012. Namun, layanan tersebut belum berfungsi secara efektif. Sebab, seluruh peran yang ada di bawah payung hukum UU lama menjadi kewenangan swasta atau perusahaan penempatan pekerja migran dan sangat sentralistis. Akibatnya, banyak di antara buruh migran selama ini, ketika menjalani proses keberangkatan ke luar negeri, layaknya orang hilang. Direkrut langsung dari rumahnya, dibawa ke kota besar seperti Jakarta, kemudian ditampung dan diberangkatkan ke luar negeri tanpa ada jejak catatan sejak dari desa.
Yang perlu segera saat ini dilakukan adalah identifikasi provinsi dan kabupaten/kota yang telah memiliki layanan terpadu satu atap untuk diperkuat sesuai dengan tanggung jawab barunya, termasuk menyediakan pelatihan dan pendidikan. Bagi yang belum memiliki, perlu segera layanan terpadu itu diwujudkan.
Pun demikian dengan desa, lima kewenangan sebagaimana diatur dalam pasal 42 harus disinergikan dengan tata kelola pemerintah desa, termasuk penganggarannya. Sudah saatnya dana desa dimanfaatkan untuk kemaslahatan buruh migran. Sebanyak 53 desa peduli buruh migran (Desbumi) yang terbentuk sejak 2015 di enam provinsi bisa dijadikan referensi bagaimana mereka telah memecah kesunyian dengan memulai inisiatif perlindungan buruh migran yang dibangun secara partisipatif.
Pemerintah memiliki waktu maksimal dua tahun ke depan setelah UU ini disahkan untuk memastikan seluruh pemangku kepentingan daerah dapat menjalankan tanggung jawabnya. Pun peraturan turunannya harus dipastikan selaras dan harmonis dengan UU Perlindungan Pekerja Migran yang baru yang telah mengadopsi sebagian besar konvensi internasional tentang perlindungan terhadap hakhak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya. (*)