Ledakan Industri Cybersecurity
’’ THE Australian cybersecurity industry is predicted to triple in size over the next 10 years.’’ Itulah pernyataan Menteri Keamanan Siber Australia Dan Tehan yang dirilis pada Juni 2017. Pernyataan tersebut menggugah publik bahwa industri keamanan siber ini diprediksi meningkat tiga kali lipat dalam sepuluh tahun mendatang. Konsekuensinya, kebutuhan tenaga-tenaga profesional alias cyberwarrior terlatih yang dibutuhkan pun akan meningkat.
Di tingkat global, estimasi yang beredar, dunia akan menghadapi kekurangan tenaga profesional keamanan siber hingga lebih dari 1,5 juta pekerja pada 2020 ( The West Australian, 14 Juni 2017). Menurut data di Australia, contohnya, 20 persen pekerjaan di sektor keamanan siber tidak terisi karena kekurangan pekerja profesional yang terlatih.
Saat ini Australia telah menganggarkan dana ratusan juta dolar untuk kebutuhan pembuatan strategi keamanan siber.
Serangan virus Ransomeware WannaCry, yang tergolong high profile cyber attack alias penyerang siber ganas, awal Mei 2017 telah menghebohkan dunia. Itulah bukti rentannya sistem keamanan digital dan jaringan siber di dunia. Industri Cybersecurity Global Keamanan siber alias cybersecurity atau computer/ IT security dikenal sebagai suatu proteksi sistem komputer dari pencurian serta kerusakan hardware dan software sekaligus informasinya serta gangguan atau kesalahan sistem ( misdirection) dari pelayanan yang dilakukan.
Microsoft, Google, dan Facebook sangat berkepentingan dengan keamanan siber mereka. Begitu pula, negara-negara besar seperti AS, Inggris, Rusia, Jerman, dan Australia harus melindungi sistem keamanan siber dan informasi yang dimiliki dari serangan siber.
Pergerakan industri cybersecurity di pasar global mulai bisa dilihat dan dilirik sejak 2012. Steve Morgan, kontributor majalah The Forbes 2015, memperkirakan bahwa industri cybersecurity mengalami lonjakan pada 2015 dan bakal booming pada 2020.
Morgan kala itu memperkirakan bahwa pengeluaran dunia untuk keamanan informasi mencapai USD 75 miliar pada 2015, naik sekitar 4,7 persen dari 2014. Bahkan, pada 2017–2021 pengeluaran atau spending terhadap keamanan siber dunia akan melebihi USD 1 triliun. Angka yang dramatis dalam industri yang tidak diperkirakan publik yang terlibat dengan infor- masi, mengonsumsi informasi, dan menggunakan informasi dalam kehidupannya setiap detik. Bahkan, pada 2021, diperkirakan dibutuhkan dana sekitar USD 6 triliun setiap tahun untuk menangkal cyber attack atau serangan kriminal siber dan pengamanan sistem informasi Big Data di dunia.
Keberadaan industri itu sekaligus menjadi indikator bagi keberadaan sistem Big Data yang terus dibangun dan dibutuhkan ke depan. Jika pada 2015–2016 dikhawatirkan melanggar hak-hak asasi dan privasi individu, kini Big Data telah menjadi kebutuhan berbagai lembaga bisnis dan pemerintahan.
Pemerintah Indonesia telah memiliki sistem Big Data Cybersecurity (BDCS) yang diperlukan bagi sistem ketahanan nasional. Kebutuhan untuk menyelamatkan infor- masi dan data-data dalam sistem tersebut sungguh sangat urgen. Industri cybersecurity di Indonesia otomatis sudah sangat urgen dibutuhkan pula pada saat ini. Kebutuhan Cyberwarriors Jika dunia akan menghadapi kekurangan tenaga ahli di bidang cybersecurity hingga 1,5 juta ke depan, kebutuhan untuk menghasilkan profesional ahli di bidang cybersecurity menjadi urgen. Keahlian di bidang itu menjadi high demand dengan tawaran gaji yang menggiurkan. Meski ada di antara mereka yang baru menempuh tahun kedua kuliahnya.
Di Australia, misalnya, pemerintah telah menunjuk dua universitas ternama, University of Melbourne di Victoria dan Edith Cowan University (ECU) di Perth, sebagai dua institusi pendidikan tinggi yang didelegasikan untuk menghasilkan lulusan-lulusan ahli yang akan menjadi cyberwarriors bagi keamanan siber dan untuk menyediakan suplai tenaga profesional yang telah menjadi urgensi industri cybersecurity di dunia. Dua universitas itu dibangun menjadi ’’ academic centres of cybersecurity excellence’’ atau pusat pelatihan akademik utama bagi kebutuhan penyiapan tenaga dan riset-riset terkait cybersecurity.
Ironisnya, di Indonesia, kebutuhan tenaga ahli profesional di bidang cybersecurity belum dipikirkan dengan serius. Sebab, industri cybersecurity belum dianggap sebagai pasar bisnis serius. Misalnya, pemerintah Australia saja menganggarkan dana lebih dari USD 200 juta untuk keperluan penyiaran industri cybersecurity. Universitas yang dipilih pun menyiapkan anggaran lebih dari USD 1,9 juta untuk menyelenggarakan pendidikan dan centre excellence di bidang cybersecurity.
Ketika dunia sibuk menghitung prediksi bisnis dan pasar industri cybersecurity yang melonjak pesat, di negara kita, pemerintah menjaring sukarelawan cybersecurity melalui ’’ajang pencarian bakat’’, layaknya Indonesian Idol dan semacamnya.
Direktorat Keamanan Informasi Kemenkominfo menggandeng PT Xynesis untuk membuat program ’’ Born to Control’’. Sepuluh ribu orang yang direkrut akan dijadikan tentara cybersecurity Indonesia dengan hadiah beasiswa serta pelatihan pendek. Mudahnya menjaring dan murahnya harga sumber daya manusia yang akan menjadi gladiator cybersecurity di Indonesia. (*) *) Dosen Komunikasi FISIP Unair