Tidak Semua Penyakit Diobati dengan Antibiotik
Masyarakat Harus Cerdas dan Jeli
SURABAYA – Permasalahan terkait dengan bakteri resistan tengah menjadi perhatian dunia. Sebab, jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun.
’’Salah satu penyebab terjadinya resistansi bakteri adalah penggunaan antibiotik yang tidak benar,’’ jelas dokter Lynda Hariani SpBPRE dalam Seminar Semipopuler Hidup Sehat tanpa Bakteri Resistan pada Sabtu (18/11). Antibiotik seharusnya merupakan obat yang hanya diminum ketika ada petunjuk dari dokter. Artinya, untuk dosis dan lama penggunaan, semua bergantung resep dokter.
Dia menuturkan, antibiotik hanya akan berguna jika infeksi yang terjadi berasal dari serangan bakteri. Artinya, saat tubuh sakit disebabkan virus, jamur, maupun patogen lain, antibiotik tidak bakal berguna. Bakteri jahat di dalam tubuh justru kebal. ’’Contoh gampangnya ya flu. Flu disebabkan virus. Jadi, tidak perlu antibiotik,’’ katanya.
Tidak semua luka yang rentan infeksi butuh antibiotik. Misalnya, pada luka bakar. Sebab, selama dirawat dengan baik, infeksi bisa dicegah tanpa harus mengonsumsi antibiotik.
Sementara itu, Ketua Komite Pengendalian Resistansi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan dr Hari Paraton SpOG menyatakan bahwa masalah resistansi antibiotik bukan hanya milik tenaga kesehatan. Masyarakat juga memiliki peran yang sama besar. Sebab, ketika masyarakat cerdas, penggunaan antibiotik secara sembarangan bisa dikurangi. ’’Bakteri resistan ini juga bisa berpindah dari satu orang ke orang lain. Jadi, penggunaan antibiotik secara tidak tepat juga bisa membahayakan orang lain,’’ ujarnya. Karena itu, pasien dengan resistansi antibiotik akan di- isolasi ketika berada di rumah sakit.
Tetapi, rupanya tidak semua bakteri resistan disebabkan penggunaan antibiotik oleh manusia. Penggunaan obat berlebihan pada hewan juga bisa mengakibatkan terjadinya bakteri resistan. ’’Dari penelitian yang pernah saya lakukan, ayam potong dan ikan di tambak menjadi hewan yang memiliki banyak bakteri resistan,’’ ungkap Dr drh Mustofa Helmi Effendi DTAPH.
Dosen fakultas kedokteran hewan itu mengungkapkan, ada sisa antibiotik yang ditemukan pada hewan-hewan tersebut. Sayangnya, hal tersebut tidak bisa dilihat secara kasatmata. Harus dilakukan tes laboratorium untuk mengetahuinya. Dia menyarankan, jika memang ingin makan ikan maupun daging ayam, sebaiknya benar-benar dalam keadaan matang. (dwi/c14/jan)