Penggantian Ketua Umum Golkar
PARTAI Golkar tengah diterpa badai. Sang ketua umum, Setya Novanto (Setnov), tidak lain adalah pemicunya. Sejak namanya kerap dikaitkan dengan kasus korupsi eKTP, sorotan terhadap dirinya tak pernah terhenti. Apalagi ketika dia telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Memang kemudian Setnov lolos karena memenangi gugatan praperadilan sehingga isunya kembali sunyi.
Tetapi, ternyata situasi tersebut tidak berlangsung lama. Untuk kali kedua, KPK menetapkan Setnov sebagai tersangka kasus yang sama. Kali ini justru keadaannya semakin dramatis. Setnov tiba-tiba menghilang saat akan dijemput paksa oleh KPK. Keesokan harinya publik dikagetkan oleh berita kecelakaan tunggal yang melibatkan Setnov sehingga Setnov akhirnya masuk rumah sakit, dan dengan sendirinya tidak langsung dibawa ke tahanan. Setnov baru ditahan setelah dokter di lokasi perawatannya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menyatakan bahwa Setnov tak perlu menjalani rawat inap.
Tanggapan warganet dan publik secara umum terhadap drama penangkapan Setnov yang cenderung negatif tentu membuat Golkar galau. Ada semacam keresahan di kalangan internal pengurus partai beringin dalam menyikapi situasi yang kian menyudutkannya. Golkar sebagai kapal politik Setnov jelas mendapatkan imbas turbulensi yang besar karena kasus yang ternyata tidak hanya menjadi sorotan di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Penyelamatan Partai Tidak dapat dimungkiri bahwa para elite Golkar juga sebenarnya khawatir partainya tenggelam jika tidak segera ada respons cepat dari mereka. Karena itulah, belakangan ini muncul suara-suara yang menghendaki langkah penyelamatan Golkar. Ungkapan penyelamatan Golkar itu tidak lain adalah penggantian Setnov.
Suara yang menghendaki penggantian Setnov sebagai bentuk penyelamatan partai agaknya terus menguat, tidak hanya berasal dari kalangan muda di tubuh partai beringin. Bahkan, seniorsenior partai itu juga sudah mengungkapkan hal serupa. Sebut saja Jusuf Kalla ( JK) dan Akbar Tandjung (AT). Keduanya adalah mantan ketua umum Golkar.
Memang elite-elite Golkar di sekitar Setnov yang notabene pengurus-pengurus DPP tampaknya berupaya tetap mempertahankan Setnov di posisi ketua umum. Dengan berbagai macam cara dan dalih, mereka berusaha agar Setnov tidak dilengserkan. Bahkan, mereka tidak segan-segan untuk memecat pengurus DPP yang memperlihatkan ketidakloyalan kepada Setnov. Dalam perspektif teori pemikiran kelompok ( groupthink theory) Irvin L. Janis (1972) dalam karyanya, Victims of Group- think: A Psychological of Study of Foreign Decisions and Fiascoes, kondisi itu biasa dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam sebuah kelompok dengan dalih soliditas dan kohesivitas kelompok.
Namun, menurut penulis, situasi tersebut tidak dapat dipertahankan secara terus-menerus. Sekeras apa pun orang-orang yang berada di lingkaran dekat mempertahankan Setnov, sebenarnya hal tersebut justru akan semakin membuat Golkar terpuruk. Bahkan lebih jauh daripada itu, karam di Pemilu 2019.
Ada sejumlah alasan kenapa Golkar harus segera mengganti ketua umumnya. Pertama, dari sisi citra, Golkar tak terhindarkan akan terkena dampak langsung dari kasus korupsi e-KTP yang menyeret Setnov. Hal itu diperparah dengan sikap Setnov yang tidak kooperatif dengan KPK, tetapi justru melakukan perlawanan. Menolak hadir di KPK berkali-kali sampai-sampai harus dijemput paksa, misalnya, adalah sikap yang semakin membuat citranya negatif.
Respons warganet dengan memunculkan sejumlah meme yang sangat menyudutkan Setnov di berbagai media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain merupakan bukti betapa mereka tidak apresiatif terhadap sikap Setnov. Dengan posisinya sebagai ketua umum Golkar, tentu saja partai itu akan menanggung getahnya. Padahal, semestinya setiap partai politik saat ini harus melakukan banyak pembenahan demi menghadapi pemilu.
Kedua, dalih elite-elite di lingkaran terdekat Setnov bahwa Golkar sebagai organisasi tetap berjalan meski Setnov tersangka atau ditahan sesungguhnya merupakan argumen yang sangat lemah. Sebuah partai politik atau organisasi apa pun sangat ditentukan oleh tingkat kepercayaan publik sebagai salah satu pemangku kepentingannya.
Memang secara roda organisasi, Golkar dapat berjalan meski tanpa ketua umum. Apalagi, partai itu bila dibandingkan dengan partai-partai politik lain di Indonesia sudah mampu membangun sistem kepartaian yang jauh lebih baik. Demikian pula mesin-mesin partainya di berbagai daerah. Tetapi, kondisi itu akan kurang berarti ketika citra partainya di mata publik anjlok di titik nadir.
Ketiga, kesan yang muncul dari sikap elite-elite Golkar itu kian negatif di mata publik. Mereka seolah-olah menjadikan partainya sebagai alat untuk menyelamatkan seseorang atau dengan kata lain rela mengorbankan partai demi menyelamatkan ketua umumnya. Persepsi seperti itu tidak dapat dielakkan jika mereka tidak segera mengganti Setnov dengan tokoh lain.
Keempat, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang selama ini terkesan sebagai ”tempat berlindung” Setnov agaknya mulai menjaga jarak. Pernyataan Jokowi yang meminta Setnov mematuhi hukum merupakan sinyal bahwa Setnov sudah tidak dapat diandalkan lagi.
Karena itu, akan sangat berisiko jika Golkar tetap mempertahankan Setnov di posisi ketua umum. Tidak hanya akan menurunkan citranya di mata publik, tetapi bisa-bisa malah menenggelamkannya di perhelatan politik nasional. (*) *) Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta