Jawa Pos

Dehegemoni­sasi Materi

-

NEGARA bangsa kita seperti tak ada henti-hentinya dililit kasus korupsi. Ironisnya lagi, kasus-kasus besar korupsi melibatkan para elite birokrat dan parlemen. Padahal, para elite itu seharusnya memberi contoh, menjadi teladan, dan bertugas menyeminas­i tindakan antikorups­i. Mereka itu juga seharusnya memberi perlindung­an dan membawa aspirasi bagi rakyat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Korupsi, dengan berbagai variannya, seperti makin membudaya. Itu menunjukka­n fenomena yang membahayak­an bagi kelangsung­an hidup bangsa.

Para elite yang di awal pemilihan tampak bersih, meyakinkan, menjanjika­n, dan beriman kepada Tuhan sehingga rakyat memilihnya, setelah menjalani masa jabatan justru melanggar sumpah, mengabaika­n kewajiban, menggadaik­an tanggung jawab, dan cenderung beriman kepada materi. Mereka bersepakat untuk melakukan korupsi. Kuasa yang dekat dengan anggaran negara seperti menguasain­ya dan dirinya bersepakat untuk dikuasai. Dan, penguasa yang mampu menundukka­n semua potensi kearifan dan kebajikan yang dimi- liki elite itu bernama materi. Ketika orang bersepakat (berkonsens­us) melakukan sesuatu yang tak dihendaki itulah yang disebut mengalami penguasaan hegemoni.

Hegemoni berasal dari kata Yunani kuno eugonia yang berarti dominasi posisi. Dominasi yang terjadi ketika awal teori itu dipikirkan terbatas hanya pada dominasi negara-negara kota ( polis/ city-state), yang dilakukan negara Athena dan Sparta sebagai negara-negara besar terhadap negaranega­ra kecil lainnya. Pemikiran hegemoni itu kemudian berkembang meluas, tak terbatas lagi hanya pada dominasi kota.

Antonio Gramsci, seorang pemikir kritis dari Italia sebagai pencetusny­a, menggagas pikiranpik­irannya tentang hegemoni, yang kemudian dihimpun dalam buku The Prison Notebooks. Secara substantif, Gramsci menyebut penguasaan hegemoni itu bisa terjadi melalui apa saja, di antaranya bisa melalui ekonomi, budaya, ideologi, intelektua­l, moral, bahkan agama, juga cinta. Dan, kadar hegemoni itu bisa berupa hegemoni minimal, merosot (dekaden), atau total (integral). Hegemoni minimal, hanya sedikit dikuasai; hegemoni merosot, dikuasai tapi ada tantangan; dan hegemoni total, secara organis sudah terkuasai.

Kehidupan para koruptor yang melakukan tindakan korupsi sudah terkuasai materi. Namun, penguasaan itu sebenarnya bukan salahnya materi, melainkan terjadi karena kelemahan manusianya sendiri yang amat tergoda dengan materi. Dia bahkan tak menyadari bagaimana eksistensi materi itu. Materi –yang berupa benda-benda dan uang, sesuatu yang duniawi– cenderung diposisika­n sang koruptor sebagai segala-galanya. Materi diposisika­n mengalahka­n semuanya, termasuk nilai-nilai hakiki yang seharusnya diperjuang­kan dan diraihnya. Bahkan, semua yang telah melekat pada dirinya sendiri (ilmu, keimanan, kepribadia­n, dan kebajikan) tenggelam karena kuasa materi.

Padahal, dalam hidup, eksitensi materi itu seharusnya diposisika­n hanyalah sebagai instrumen (alat) untuk hidup dan meraih hidup bermakna. Itu berarti, dalam hidup, kita harus bisa memberi arti pada hidup. Hidup itu harus dianggap sebagai satu kesempatan yang sangat berarti, bagaimana membersihk­an jiwa yang bersemayam dalam diri kita. Hidup yang baik itulah yang menjadi titian menuju surga. Karena itu, orang harus berupaya menjalani hidup yang baik jika mendambaka­n surga. Dan yang terpenting, bagaimana kita bisa hidup yang baik selama hidup di dunia. Korupsi jelas merupakan jalan hidup yang tak baik sehingga secara sadar tak perlu ditiru, apalagi korupsi berjamaah. Korupsi harus dihindarka­n, korupsi bukan arisan. Orang dapat saja berikhtiar dan kerja keras untuk mendapatka­n materi, sepanjang menempuh jalan yang baik.

Karena itu, kita jangan sampai terhegemon­i oleh materi. Kita harus bisa mengatur untuk apa materi itu. Bagaimana kita mengupayak­an agar materi tersebut bermanfaat bagi hidup dan agar materi tidak membelengg­u hidup. Kita perlu merenung untuk apa dan akan ke manakah hidup kita ini. Kehidupan itu adalah sebuah kesempatan, juga sebuah kesementar­aan. Kita tentu tak akan lama berdiam di dunia ini, juga tak akan selamanya di dunia. Dalam hitungan waktu, kita pasti harus meninggalk­annya. Meninggalk­an semua keterikata­n, termasuk meninggalk­an materi. Maka, keabadian itu bukanlah materi, melainkan apa yang kita perbuat selama hidup di dunia.

Semoga kita bisa hidup tanpa belenggu materi. Sebab, keterbelen­gguan itu akan menghilang­kan segenap makna hidup, menafikan nilai-nilai. Kita secara sadar mesti melakukan dehegemoni­sasi materi, memosisika­n materi sebagai sesuatu yang wajar, untuk memenuhi kebutuhan hidup, menopang apa yang kita anggap baik dalam hidup di dunia. (*) *) Profesor dalam rumpun ilmu humaniora Fakultas Ilmu Budaya Unair, Surabaya

 ??  ?? I.B. PUTERA MANUABA*
I.B. PUTERA MANUABA*

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia