Jawa Pos

Buka Bisnis untuk Lahirkan Pengusaha di Malaysia

Ada guyonan warga Bawean di Malaysia. Jika seluruh orang asli Bawean pulang ke kampung halaman, Pulau Bawean yang seluas 190 kilometer persegi itu akan penuh sesak. Sangat banyak jumlahnya.

- FATHUR ROZI, KUALA LUMPUR

BERJALAN ke sudut-sudut Kuala Lumpur, begitu mudah menemui orang Boyan (demikian orang Bawean menyebut diri). Di pasar dan mal, baik di perkantora­n maupun restoran. Mereka berada di mana-mana. Mulai yang bekerja sebagai kuli bangunan hingga kontraktor kaya raya. Mulai penjaga warung hingga manajer restoran dan saudagar. Kiriman uang dari TKI Bawean disebut-sebut mencapai setidaknya Rp 10 miliar setiap bulan.

Saat bertemu rombongan dari Gresik, mereka sangat ramah. Bahkan, Khairul Azhar, asisten manajer restoran di Menara Kuala Lumpur, menyalami satu per satu tamu. Penduduk yang tinggal di Pulau Putri (julukan Bawean) saat ini ”hanya” sekitar 70 ribu jiwa. Konon, sebagian besar warga Bawean memang memilih merantau. Khususnya ke Malaysia. Jika satu keluarga punya empat anak, tiga anak akan berangkat ke Malaysia. Hanya seorang yang tinggal di kampung. ”Tradisi sosial” itu sudah berjalan puluhan tahun.

”Kalau dihitung-hitung, sudah banyak sekali. Jutaan orang Bawean berada di sini,” kata Azroy, pimpinan Anak Orang Pebien (AOP). AOP adalah salah satu perkumpula­n orang Boyan di Malaysia. Anggota AOP rata-rata muda. Baik yang masih berwarga negara Indonesia maupun yang sudah menjadi warga Malaysia. Sebagian berhasil menduduki posisi di sektor-sektor formal. Misalnya, manajer restoran, pimpinan perusahaan, hingga polisi.

Sementara itu, perkumpula­n Persatuan Bawean Malaysia mencatat, kedatangan kaum Boyan tersebut berkaitan erat dengan sejarah. Bahkan sebelum Malaysia merdeka. Hal itu terekam dalam beberapa buku yang telah diterbitka­n perkumpula­n tersebut. Artinya, kehadiran warga Boyan sejalan dengan sejarah Malaysia. Budaya mereka pun terus berkembang. Misalnya, kerchengan dan pencak silat khas Bawean.

Jika ditambah penduduk kecamatank­ecamatan lain yang menjadi TKI di Malaysia, jumlah warga Gresik di sana tergolong besar. Rata-rata, mereka masih memegang satu kebiasaan kuat dalam kehidupan sehari-hari. Yakni, tetap gemar makanan khas Gresik. Contohnya, rujak, soto, kerupuk, petis, dan bihun.

Dari mana mereka memperoleh­nya? Selama ini, produk-produk sejenis makanan itu justru diperoleh dari Aceh. Harganya jelas lebih mahal. Rasanya tentu berbeda dari kerupuk dan petis asli Gresik. Peluang itulah yang ditangkap Bupati Sambari Halim Radianto. ”Kalau dikirim asli dari Gresik, harganya pasti lebih murah. Dan, rasanya jelas lebih enak,” ujar pejabat memang yang berlatar belakang pengusaha itu.

Sambari mengaku sudah bertemu para saudagar sukses asal Gresik di Malaysia. Mereka siap membantu mewujudkan jalur bisnis yang dirintis Pemkab Gresik tersebut. Untuk warga Gresik, Sambari siap melibatkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta para pengusaha muda. Produkprod­uk UMKM di Kota Pudak diyakini tidak kalah dari produk pulau dan daerah lain. Saat ini 70 persen dari 8.544 UMKM di Kota Santri adalah pengusaha makanan dan minuman (mamin). Bahkan, 1.500 di antaranya pengusaha kerupuk. Itu adalah peluang besar.

Warga Gresik di Malaysia juga punya peluang buka usaha. Bukan hanya sebagai kuli bangunan atau buruh dan pekerja, melainkan juga juragan. ”Saya ingin Sampeyan sukses di sini,” ucap Sambari saat bertemu warganya di Malaysia pada Minggu (19/11).

Dia memberikan gambaran. Warga Kota Pudak yang bekerja di Malaysia paling tidak harus punya gaji minimal 1.400 ringgit atau sekitar Rp 5–6 juta. Itu baru layak jika mereka tinggal di wilayah sedikit pinggiran. Bukan di tengah metropolit­an Kuala Lumpur. ”Kalau di Kuala Lumpur, banyak godaannya. Bisa-bisa, uangnya habis dalam beberapa hari saja,” katanya. Maksudnya, banyak rumah hiburan dan tempat foya-foya lain untuk menghambur­hamburkan uang.

Bagaimana yang gajinya kurang? Sambari menyatakan, mereka bisa memilih bekerja di Gresik. Sebab, UMK Gresik saat ini mencapai Rp 3,5 juta. Kalau di Malaysia hanya bergaji Rp 4,5 juta, misalnya, mereka bisa mencari nafkah di Gresik.

Ibaratnya, daripada berpisah dengan keluarga serta hidup kekurangan, mending bekerja di Gresik setiap hari dan tetap kumpul anak-istri. Bayaran hanya selisih Rp 1 juta. ”Tapi, yang sudah enak di sini, ya, diteruskan saja,” imbuhnya disambut tawa hadirin. ”Setuju,” teriak mereka membalas ucapan sang bupati.

Untuk tuan rumah acara Temu Kangen Akbar Minggu pagi itu, diserahkan kenangkena­ngan berupa batik pamiluto, batik khas Kota Pudak yang sudah punya hak paten. Sambari juga mengucapka­n terima kasih kepada Asroin Widyana dan M. Subekhi. Dua anggota DPRD tersebut ikut hadir secara pribadi untuk menemui warganya di Malaysia. ”Itu bukti cinta mereka kepada warga Bawean” ujarnya. Sambari berharap kunjungan ke Malaysia ini tidak dipersoalk­an karena masing-masing membiayai sendiri keberangka­tannya.

Warga Gresik dan Bawean di Malaysia dipesani agar bisa membawa diri. Rukun dengan sesama. Rukun pula dengan saudara-saudara asal Madura. ”Bawean adalah Gresik, bukan bagian dari Gresik lagi,” ungkap Wabup Moh. Qosim. Setelah pesan-pesan itu, keduanya turun panggung. Ribuan hadirin berebutan mendekat. Minta bersalaman dan cium tangan. Mereka seakan berat melepas rombongan Pemkab Gresik. Bahkan, ada yang sampai menangis. (*)

 ?? FATHUR ROZI/JAWA POS ?? JAGA KERUKUNAN: Dari kiri, Bupati Sambari, tokoh Gresik di Malaysia Maghfur, Wabup Qosim, pengurus Persatuan Bawean-Malaysia Subaili, Sekkab Djoko Sulistio Hadi, tokoh masyarkat Madura di Malaysia H Supri, anggota DPRD M. Subekhi, tokoh pemuda Jawa di...
FATHUR ROZI/JAWA POS JAGA KERUKUNAN: Dari kiri, Bupati Sambari, tokoh Gresik di Malaysia Maghfur, Wabup Qosim, pengurus Persatuan Bawean-Malaysia Subaili, Sekkab Djoko Sulistio Hadi, tokoh masyarkat Madura di Malaysia H Supri, anggota DPRD M. Subekhi, tokoh pemuda Jawa di...

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia