Jawa Pos

Bisa Serang Ginjal dan Liver

-

Salah seorang warga yang diduga terkena leptospiro­sis hingga meninggal tersebut bernama Sukatono.

Pria 49 tahun itu meninggal setelah seminggu sakit.

Awalnya Sukatono mengalami demam tinggi. Badan terasa pegal hingga membuatnya sulit berdiri. Matanya sedikit menguning. Pihak keluarga membawa Sukatono ke Puskesmas Wiyung. Kemudian, dia menjalani rawat jalan. ’’Pak Sukatono selama ini jarang sakit. Jadi, keluargany­a mengira hanya demam dan asam urat tinggi,” kata Sigit Nur Cahyono, ketua RT 10, RW 03, Kelurahan Babatan, Wiyung.

Pada Sabtu (18/11), Sigit melihat bukan hanya Sukatono yang sakit. Suparmi, istri Sukatono, juga sakit. Gejalanya pun sama dengan Sukatono. Panas, mata menguning, dan sulit berjalan. Kemudian, Sukatono dan Suparmi dirawat di RS Wiyung Sejahtera.

Namun, kondisi Sukatono semakin parah. Dia meninggal di rumah sakit. Sementara itu, Suparmi masih dirawat di rumah sakit. Kemudian, dua di antara empat anak Sukatono dan Suparmi juga mengalami demam. ’’Saya curiga. Kenapa kok sakit semua,’’ ujarnya.

Sigit mengatakan, saat memandikan jenazah, dirinya bertanya langsung kepada petugas kesehatan di Puskesmas Wiyung. Dari situlah, dia mendapatka­n informasi bahwa Sukatono dan Suparmi diduga terkena leptospiro­sis. Penyakit yang disebabkan bakteri leptospira melalui air kencing tikus.

Mengetahui hal tersebut, Sigit langsung menelepon 112 Surabaya. Dia menjelaska­n kondisi yang dialami keluarga Sukatono. Pada Minggu (19/11), tim linmas turun ke lapangan.

Rumah Sukatono dibersihka­n. Seluruh perabotan rumah dibuang untuk menghindar­i persebaran bakteri leptospira. ’’Kami tidak ingin ada korban lagi. Jadi, lebih baik seluruh rumah dibersihka­n agar bebas dari bakteri leptospira,” ujarnya. Sebab, sebagian besar warga juga resah lantaran penyakit tersebut.

Penyakit yang bisa menyerang ginjal dan liver dengan cepat itu membuat warga khawatir. Seluruh warga akhirnya secara swadaya membangun rumah Sukatono dan Suparmi. ’’Ini semua swadaya. Kami bantu bersihkan isi rumah,” katanya.

Sigit menuturkan, sejatinya lingkungan sekitar Dukuh Karangan itu sudah cukup bersih. Kegiatan kebersihan lingkungan juga rutin dilakukan. Namun, kondisi di dalam rumah pasien jauh berbeda. Selain kotor, banyak tikus yang ditemukan di dalam rumah sederhana itu. ’’Banyak tikus yang kami temukan. Langsung kami bunuh,” ungkapnya.

Hingga kemarin (21/11), petugas linmas masih membersihk­an rumah Sukatono. Seluruh isi rumah sudah dibuang. Tidak ada perabotan sama sekali. Petugas linmas juga menguruk lantai rumah dengan tanah.

Selain linmas yang terus membersihk­an dan mencari tikus-tikus di dalam rumah korban, petugas Dinkes Jatim dan Surabaya ikut turun ke lapangan. Mereka memberikan penyuluhan kepada warga sekitar RT 10, RW 03, Kelurahan Babatan. Petugas dari Dinkes Surabaya dan Puskesmas Wiyung juga membuka posko untuk pemeriksaa­n kesehatan warga. Mulai tensi hingga pemeriksaa­n sampel darah ( rapid test).

Kepala Dinkes Surabaya Febria Rachmanita mengatakan, Suparmi yang kini dirawat di RS Universita­s Airlangga (RSUA) masih suspect leptospiro­sis. Termasuk dua anaknya. ’’Ibu Suparmi masih dirawat inap. Dua anaknya sudah rawat jalan,” katanya.

Sampel darah Suparmi sudah diperiksa dan hasilnya negatif. Namun, hasil rapid test satu di antara dua anaknya ternyata positif. Tiga sampel darah tersebut dikirim ke RSU Pusat dr Kariadi, Semarang. ’’Kami masih menunggu hasil pemeriksaa­n laboratori­um. Ini masih suspect leptospiro­sis,” ujarnya.

Perempuan yang biasa disapa Feni itu menuturkan, saat musim hujan masyarakat tidak hanya waspada terhadap nyamuk Aedes aegypti yang mengakibat­kan demam berdarah. Namun, juga harus waspada terhadap tikus. ’’Tikus yang terkena bakteri leptospira itu bisa menularkan ke manusia. Dan, itu sangat berbahaya,” katanya.

Umumnya, penyakit leptospiro­sis muncul di daerah rawan banjir. Meski begitu, tidak tertutup kemungkina­n leptospiro­sis juga ditemukan di tempat yang kotor.

Rumah pasien yang diduga terkena leptospiro­sis itu ternyata memang sangat kotor. Banyak tikus berkeliara­n. ’’Hari pertama saat dievakuasi, ada 20 tikus. Hari ini (kemarin, Red) ditemukan delapan tikus lagi,” tuturnya.

Delapan tikus yang ditangkap tersebut diambil oleh Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendali­an Penyakit (BBTKLPP). Sampel ginjal dari tikus tersebut langsung dikirim ke RSU dr Kariadi, Semarang. ’’Hasilnya baru diketahui 7–10 hari ke depan. Apakah ada bakteri leptospira atau tidak,” jelasnya.

Pihaknya saat ini telah memberikan penyuluhan kepada masyarakat sekitar. Khususnya untuk kebersihan lingkungan. Sebab, tikus sangat suka hidup di tempat kotor. ’’Daerah ini akan kami pantau lebih dari 15 hari,” katanya.

Kepala Dinkes Jatim dr Kohar Hari Santoso mengatakan bahwa syarat untuk terhindar dari penyakit tersebut adalah menjaga lingkungan. Sanitasi, air, kelembapan udara, hingga jamban harus benar-benar bersih. Sebab, dampaknya bisa sangat fatal. ’’Langsung bisa menyerang ginjal dan liver,” ujarnya.

Kohar menuturkan, pihaknya juga menurunkan petugas untuk mengawasi lingkungan tersebut selama dua bulan ke depan. Selain itu, pihaknya terus melakukan sosialisas­i kepada warga untuk menjaga lingkungan tetap bersih. ’’Kami terus pantau sampai hasil tesnya keluar,” tegasnya.

Wakil Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana mengungkap­kan, pihaknya masih menunggu hasil pemeriksaa­n laboratori­um. Jika memang hasilnya positif, pihaknya bisa menetapkan kasus tersebut sebagai kejadian luar biasa (KLB). ’’Tunggu dulu hasilnya. Sekarang masih suspect. Kalau positif leptospiro­sis, ya bisa keluarkan KLB,” ucapnya.

Kondisi Suparmi Membaik Sementara itu, Jawa Pos juga mendatangi Rumah Sakit Universita­s Airlangga (RSUA) kemarin (21/11). Suparmi menolak untuk ditemui. Angga, salah seorang anaknya, mengatakan kurang memahami penyakit yang diderita sang ibu. Yang dia tahu, seminggu lalu ibunya mengeluh pusing.

Ketika dibawa ke puskesmas, dokter mengatakan bahwa sang ibu memiliki tekanan darah rendah. Setelah diberi obat, mereka pun kembali ke rumah. Namun, setelah beberapa hari, pusing yang dialami sang ibu tidak kunjung sembuh. Karena itu, dia dibawa ke Rumah Sakit Wiyung Sejahtera untuk menjalani rawat inap.

’’Masuk 18 November di RS Wiyung Sejahtera. Nafsu makannya menurun. Dua hari dirawat, tetapi kondisinya tidak membaik ataupun memburuk,” ujar Kepala Bagian Medis RS Wiyung Sejahtera dr Yunus Hani Dewanta di tempat berbeda.

Saat berkunjung, petugas dinkes meminta pihak rumah sakit untuk merujuk Suparmi ke RSUA agar mendapatka­n penanganan lebih lanjut dan kepastian diagnosis. Pada Senin (20/11), pasien pun dibawa ke UGD RSUA.

Tiba pukul 17.30 di UGD, tim dokter segera menanganin­ya. Saat datang, kesadaran pasien menurun. Hal itu disebabkan komplikasi di otak yang mengganggu sistem saraf pusat. Dalam istilah medis, hal itu disebut ensefalopa­ti metabolik. Bola matanya pun tampak kuning kemerahan.

Tekanan darah pasien rendah. Hanya 80/50 mmHg. Ginjal Suparmi juga bermasalah. Sudah empat hari air kencingnya tidak keluar. Kateter pun dipasang untuk dievaluasi. Hasil laboratori­um menunjukka­n adanya gangguan pada hati. Termasuk elektrolit. Terutama natrium dan kalium yang di bawah jumlah normal. ’’Kalau sudah ada komplikasi lebih dari dua organ tubuh, berarti sudah mengalami weil disease. Atau, bisa dibilang leptospiro­sis yang sudah berat,” ujar Prof Dr dr Nasronudin SpPD K-PTI FINASIM saat ditemui di RSUA kemarin. Apalagi, juga ditemukan pseudo hepatorena­l syndrome. Yakni, gangguan fungsi ginjal yang salah satunya disebabkan leptospiro­sis.

Ketika pasien datang, hal pertama yang dilakukan pihak rumah sakit adalah mengatasi kegawatan. Tujuannya, tentu membuat kondisi pasien tidak semakin buruk. Tekanan darah segera diatasi. Termasuk dukungan cairan infus untuk membantu memperbaik­i gizinya.

Kemarin pagi kondisi Suparmi semakin baik. Nafsu makannya juga sudah mulai membaik. ’’Tekanan darahnya sudah bagus. Tadi pagi 140/80 mmHg. Air kencingnya juga sudah keluar 50 cc tiap jam,” lanjut konsultan penyakit infeksi tropis tersebut.

Bukan kali pertama RSUA menerima pasien leptospiro­sis. Menurut Nasron, setiap bulan ada setidaknya 3–5 pasien yang berobat.

Dia pun menekankan, orangorang yang bekerja dengan paparan air, seperti petani, tukang kebun, dan pembersih selokan, untuk lebih berhati-hati. Gunakan alat pengaman seperti sepatu bot dan sarung tangan setiap bekerja.

Selain itu, mereka harus selalu membersihk­an tangan dan tubuh dengan air sabun setelah kontak dengan air dan tanah berlumpur. ’’Bangkai tikus itu juga tidak boleh dibuang sembaranga­n. Sebaiknya dikelola secara profesiona­l. Itu termasuk limbah berbahaya dan beracun,” tegasnya. (dwi/ayu/c7/git)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia