Jawa Pos

Tak Boleh Sakit Parah

Defisit Membengkak, BPJS Wacanakan Tak Biayai Sejumlah Penyakit

-

JAKARTA – Badan Penyelengg­ara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan ingin ’’lempar handuk’’. Defisit yang terus menggunung membuat penyelengg­ara jaminan kesehatan nasional (JKN) itu berencana mengurangi manfaat. Biaya pengobatan beberapa penyakit berbiaya tinggi tidak akan mereka tanggung lagi.

Rencana tersebut dikritik Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DKI Jakarta dr Slamet Budiarto. Bahwa BPJS Kesehatan berencana mengurangi manfaat, salah satunya dengan cost-sharing biaya pengobatan, itu sah-sah saja. Namun, cost-sharing tidak boleh diberlakuk­an untuk biaya pengobatan penyakit katastropi­k yang mengancam nyawa

”Filosofi JKN adalah jangan sampai orang sakit bisa meninggal karena gak punya uang,” kata Slamet.

” Cost-sharing seharusnya untuk nonkatastr­opik. Ibaratnya, flu saja sudah dibawa ke rumah sakit,” lanjutnya.

Dia menyebutka­n, ada beberapa hal yang bisa dilakukan BPJS Kesehatan untuk mengurangi klaim biaya pengobatan. Salah satunya aturan pelaksanaa­n prosedur Caesar. Tidak sedikit pasien yang seharusnya bisa melahirkan secara normal, tetapi malah meminta prosedur Caesar dengan berbagai tujuan. Salah satunya, mereka ingin anaknya lahir pada tanggal cantik.

Padahal, prosedur Caesar menghabisk­an banyak obat dan tindakan medis. Otomatis tindakan itu menelan biaya lebih banyak. ”Pasien bebas memilih Caesar karena tidak ada cost-sharing di situ,” ungkapnya.

Pengobatan penyakit ringan yang tidak seharusnya dilakukan di rumah sakit, menurut Slamet, juga menyedot biaya yang cukup besar. Hal itulah yang harus ditekan BPJS Kesehatan.

Defisit BPJS Kesehatan memang sudah sangat mengkhawat­irkan. Tahun ini adalah tahun keempat JKN pengganti Askes itu mengalami defisit hingga Rp 9 triliun. Kondisi itulah yang mendorong mereka melontarka­n wacana cost-sharing beberapa penyakit kronis saat rapat dengar pendapat dengan DPR pada Kamis (23/11).

Rencananya, cost-sharing diberlakuk­an untuk delapan penyakit. Yaitu, jantung, kanker, gagal ginjal, stroke, talasemia, sirosis, leukemia, dan hemofilia. Delapan penyakit tersebut, menurut BPJS Kesehatan, menjadi penyebab begitu besarnya defisit karena pengobatan berlangsun­g lama. Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek sempat menuturkan bahwa pembiayaan untuk pasien gagal ginjal selama ini su- dah mencapai Rp 2,3 triliun.

Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat menyatakan, cost-sharing delapan penyakit tersebut masih sebatas wacana. ”Ini hanya gambaran dan referensi akademik untuk diketahui perbanding­an dengan kondisi negara lain,” jelasnya saat dihubungi kemarin.

Di beberapa negara yang memberlaku­kan JKN, cost-sharing dilakukan untuk membiayai pengobatan penyakit yang memerlukan perawatan medis lama dan berbiaya tinggi. Cost-sharing itu rencananya berlaku bagi peserta dari golongan mandiri.

”Pada rapat dengar pendapat di Komisi IX DPR Kamis lalu, BPJS Kesehatan diminta memaparkan bagaimana negara lain membiayai penyakit katastropi­k,” ungkapnya.

Wakil Ketua Komisi IX Saleh Partaonan Daulay menuturkan, dalam rapat dengar pendapat antara komisinya dan BPJS serta Kementeria­n Kesehatan, muncul beberapa opsi untuk menyelesai- kan masalah defisit yang dialami BPJS Kesehatan. Menurut dia, ada empat opsi yang diusulkan.

Pertama, mengurangi manfaat. Jadi, tidak semua pelayanan dicover BPJS Kesehatan. ”Ada yang tidak dibiayai,” ucapnya.

Kedua, menaikkan iuran. Misalnya, dari Rp 25 ribu menjadi Rp 35 ribu. Ketiga, mencari pembiayaan lain. Muncul wacana, pembiayaan kesehatan akan diambilkan dari cukai rokok. Sebanyak 5 persen dari pendapatan cukai rokok akan dimanfaatk­an untuk membiayai kesehatan. Namun, usul itu masih menjadi perdebatan. Sebab, tidak etis jika biaya kesehatan ditutup dari sumber yang dinilai tidak baik. ”Rokok kan tidak baik,” ucapnya.

Keempat, lanjut Saleh, adalah cost-sharing. Yaitu, tidak semua biaya kesehatan ditanggung BPJS. Ada sebagian yang harus ditanggung masyarakat. Costsharin­g itu sebenarnya hampir sama dengan mengurangi manfaat. (tau/lyn/lum/c5/ang)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia