Kedudukan Sementara: Lebanon 1, Arab Saudi 0
Popularitasnya yang meroket sejak ditahan Arab Saudi membuat Saad Al Hariri sulit dicari gantinya. Memaksanya mundur akan mengancam stabilitas Lebanon.
SAAD Al Hariri memang telah menginjakkan kaki kembali di Beirut. Tapi, bukan berarti tekateki itu menjadi tidak relevan lagi: apa yang sebenarnya terjadi dalam diri perdana menteri (PM) Lebanon itu pada periode 3–15 November lalu di Riyadh?
Hariri dan Arab Saudi memang membantah telah terjadi penyekapan atau penahanan. Tapi, bantahan itu berbenturan dengan fakta bahwa pada 6 November lalu Hariri dijadwalkan bertemu dengan perwakilan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia di Beirut.
Perbenturan itu memperlihatkan dengan jelas bahwa Hariri adalah perpanjangan tangan Saudi di Lebanon. Negara tempat Hizbullah, kelompok yang didukung Iran, musuh abadi Saudi, berada. Bahkan kini menjadi bagian dari koalisi yang mendukung pemerintahan Hariri.
Jadi, kendati Hariri telah pulang kampung dan menyatakan menunda pengunduran diri yang diumumkan di Riyadh pada 4 November lalu, tak berarti gejolak di Lebanon selesai. Justru tengah memasuki babak baru.
”Riyadh memperlakukan PM Lebanon sebagai penduduk Saudi yang kerajaan bisnisnya sudah lama di bawah pengawasan ketat Putra Mahkota Pangeran Mohammad bin Salman,” ujar analis politik untuk kebijakan AS dan Timur Tengah Joe Macaron. Bapak beranak tiga itu memang tak bisa berbuat banyak. Sebab, dia juga memiliki kewarganegaraan Saudi. Keluarganya tinggal di Saudi dan hampir seluruh bisnisnya di negeri itu pula.
Riyadh bisa dengan mudah menyandera keluarganya dan menghancurkan bisnisnya jika dia tak patuh kepada Riyadh. Di pihak lain, Hariri membutuhkan uang untuk bisa berkampanye dan ikut dalam pemilu berikutnya.
Tapi, di sisi lain, memaksa Hariri mundur ternyata juga tidak memuluskan keinginan Saudi untuk menekan Hizbullah. Sebab, penahanan Hariri justru semakin membuat pamor putra Rafic Hariri itu melejit. Seluruh faksi di Lebanon ingin dia pulang dan tetap memerintah, termasuk Hizbullah.
”Penduduk Lebanon sudah memiliki cukup pengalaman dan pengetahuan untuk mengatasi masalah dengan dialog. Kami tidak mau didikte pihak luar,” kata Walid Jumblatt, politikus Lebanon dari faksi Druze, kemarin (25/11).
Di negara yang kerap diguncang konflik itu, mundurnya Hariri bakal meretakkan stabilitas. Juga mengganggu komitmen yang dibangun setelah perang saudara. Yakni, semua faksi harus memiliki peran di pemerintahan.
Di Lebanon, posisi PM harus diisi kelompok Sunni dan disetujui presiden maupun parlemen. Pergantian untuk memilih sosok yang tepat membutuhkan waktu berbulan-bulan. Bahkan mungkin bertahun-tahun.
Ketika PM mundur, kabinet otomatis dibubarkan. PM harus terpilih dulu sebelum membentuk kabinet baru. Dengan metode pemilihan PM seperti di atas, bakal ada kekosongan kekuasaan dan pemerintahan dalam jangka panjang di Lebanon jika Hariri mundur.
Melucuti Hizbullah seperti keinginan Saudi juga lebih sulit. Persenjataan mereka yang dibiayai Iran jauh lebih canggih daripada milik militer Lebanon.
Yang pasti, dengan popularitasnya yang justru meroket setelah ditahan Saudi, bakal kian sulit mencari pengganti Hariri. Saudi pasti sudah menyadari perkembangan itu. Untuk saat ini, opsi terbaik masih Hariri. ”Usaha Saudi untuk menyerahkan kekuasaan kepada kakaknya, Bahaa Hariri, telah gagal. Pemerintah Lebanon masih bertahan dan reputasi Saudi menurun gara-gara masalah Lebanon itu,” ujar Macaron.
Dengan kata lain, ibarat sepak bola, untuk sementara Lebanon unggul 1-0 atas Saudi saat ini. Bahkan, kabarnya, mereka telah mencopot jabatan Menteri Urusan Teluk Thamer Al Sabhan gara-gara dianggap tidak pecus menangani masalah Lebanon itu.
Tapi, ya perlu diingat, sepak bola berlangsung 90 menit. Banyak kemungkinan yang masih bisa terjadi. (Al Jazeera/Independent/ Stratfor/Reuters/sha/c19/ttg)