Kami Sudah di Surga
YUICHIRO Sato tahan duduk berjam-jam di atas tatami menghadapi kanvas lukisnya, seperti orang bermeditasi, atau lebih tepat seperti cara duduk pendekar Jepang yang hendak melakukan seppuku. Ia bahkan tidak menyadari ketika saya mengintipnya bekerja di studio dari jendela samping. Saya tepat di sampingnya, dari balik jendela, lurus dengan telinga kirinya dalam jarak kira-kira satu setengah meter dan ia tidak menyadari saya sedang memperhatikannya dalam waktu lama, mungkin sekitar satu jam. Saya tidak berani masuk ke studionya, takut mengganggu konsentrasinya.
Saya mendengar dari Ulla bahwa ia berencana mengajukan izin tinggal permanen di Finlandia dan Yuichi membenarkannya ketika kami bertemu. Ia mengatakan senang sekali tinggal di art center. Ia melukis pohon-pohon birch yang merontokkan daun-daun pada musim gugur, tinggal batang dan reranting yang menjulur, dan memindahkannya ke kanvas dalam lukisan hitam putih.
’’Apa yang membuatmu memutuskan tinggal selamanya di sini?’’ tanya saya. ’’Seperti tinggal di surga,’’ katanya. Saya menceritakan kepada Iker Laskibar, pematung dari Spanyol yang studionya bersebelahan dengan studio Yuichi, bagaimana si Kamikaze itu bekerja seperti orang sedang bertapa. ’’Sedang stres dia,’’ kata Iker. ’’Akhir bulan ini akan berpameran.’’
Iker datang kali pertama ke Finlandia untuk membuat penelitian tentang alzheimer ketika mahasiswa, beristri perempuan Finlandia, dan sekarang memilih menetap di Finlandia. Kami bertemu ketika ia sedang mengangkut-angkut apa saja di art center. Ia selalu terlihat bersemangat mengerjakan apa saja. Dan ia membaca banyak buku.
’’Saya ingin melihat studiomu, Iker,’’ kata saya. Sebelum ia memperkenalkan namanya, saya selalu mengira bahwa nama Iker diucapkan dengan ’’e’’ seperti pada kata senam atau senang, ternyata ’’e’’ di dalam namanya harus diucapkan seperti bunyi ’’e’’ dalam bebek atau engsel.
Ia sedang mengerjakan beberapa proyek patung; di studionya ia membuat miniatur patung-patung tersebut. Saya mengatakan kepadanya bahwa ada beberapa karya sastra Spanyol yang saya suka dan ia menanyakan apa saja yang saya sukai. Saya menyebut Don Quixote, Keluarga Pascual Duarte karya Camillo Jose Cela, dan beberapa penulis Amerika Latin yang menulis dalam bahasa Spanyol. Ia membuat gerakan menyembah ketika saya menyebut nama Juan Rulfo dan Roberto Bolano. Ia menyukai Garcia Marquez, Juan Rulfo, Roberto Bolano, dan menyerah terhadap Borges. ’’Orang itu pintar sekali,’’ katanya tentang Borges, ’’dan ia bercerita dalam cara yang dingin dan intelektual.’’
Ia juga menulis hampir setiap hari, tetapi hanya sanggup dua jam. Setelah dua jam duduk menulis, konsentrasinya akan buyar dan ia tidak bisa melanjutkan lagi menulis. ’’Akan berapa lama kau tinggal di sini?’’ tanya saya. ’’Mungkin tiga puluh tahun, empat puluh tahun, atau seratus tahun,’’ katanya. ’’Saya menyukai tempat ini.’’ (*)