Jawa Pos

Menulis di Kastil Tepi Danau

-

DENGAN bus sekolah, saya meninggalk­an Kepulauan Kvarken di pantai barat Finlandia pada Rabu pagi, 1 November, menuju Stasiun Vaasa, dan menumpang kereta api selama empat jam dari sana menuju Jyväskyla, dengan sekali pergantian di Stasiun Seinäjoki, satu jam dari Vaasa. Hanya ada waktu tujuh menit untuk berpindah kereta dan saya harus menyeberan­g ke peron sebelah melalui lorong bawah tanah, dengan undakan yang cukup panjang.

Ada suara lelaki berteriak-teriak dari arah lorong, seperti teriakan orang yang mengamuk. Dua gadis remaja, dua anak kecil, dan seorang ibu yang menggendon­g bayi –semua berwajah Timur Tengah– berlari terburu-buru menaiki undakan. Jauh di belakang mereka, di dasar undakan, seorang lelaki tampak repot menaiki undakan dengan tiga koper besarnya dan terus berteriak-teriak dengan suara yang makin keras. Ternyata bukan orang yang sedang mengamuk. Ia melakukan itu mungkin untuk meminta perhatian agar kereta api ke Helsinki, yang baru saja saya tinggalkan, tidak berangkat dulu sebelum ia naik.

Lelaki itu, bertampang Timur Tengah juga, mengatakan sesuatu ketika kami berpapasan, dengan teriakan dan bahasa yang tidak saya pahami, sambil menunjuk koper-koper besarnya. Tetapi, saya sendiri menyeret koper besar dan waktu saya sudah terbuang dua atau tiga menit untuk memperhati­kan tingkahnya sebelum saya menuruni undakan. Tidak ada waktu untuk membantuny­a mengangkut koper; kereta api jurusan Jyväskyla juga segera berangkat.

Gema teriakanny­a masih terdengar saat saya tiba di ujung seberang lorong dan ia masih berteriak-teriak ketika saya naik kereta. Tidak sampai satu menit setelah saya duduk, kereta dua gerbong yang terlihat seperti bus gandeng itu berangkat, menempuh perjalanan melewati hutanhutan, hamparan ladang yang tertutup salju, danau-danau, dan stasiun-stasiun kecil.

Ulla, dengan siapa saya berhubunga­n sejak pertama mengirimka­n permohonan untuk residensi di Art Center Jarvilinna, sudah menunggu di stasiun ketika saya tiba. Dari peron ke tempat parkir, kami turun dengan menggunaka­n lift yang lantainya kotor oleh tumpukan koran bekas dan beberapa kaleng bir. Ia bilang: Kelihatann­ya ada orang mabuk yang semalam menginap di sini, mencari tempat hangat untuk tidur.

Jalanan basah oleh salju yang mencair. Ulla mengatakan tidak senang menyetir jika jalanan seramai ini. Menurut saya sangat sepi, seperti mengendara­i mobil pada dini hari di Jakarta.

Ulla adalah seniman grafis; ia mengerjaka­n seni cukil kayu dan sering memberikan workshop di sekolah-sekolah. Saya mengikuti salah satu workshop- nya di sekolah dasar, melihat anakanak SD berpraktik membuat cetakan. Hari itu mereka tidak membuat cetakan dari kayu, tetapi dari pelat aluminium, dan bermain-main dengan warna sesuka mereka.

’’Kau sering diundang memberikan workshop di sekolahsek­olah?’’ tanya saya.

Ia mengatakan, ada asosiasi seniman yang mengurus kerja sama dengan pemerintah­an setempat untuk mengatur workshop di sekolah-sekolah. Itu sudah berjalan rutin dan menjadi bagian dalam sistem pendidikan di sekolah. ’’Asosiasi itulah yang mengatur jadwal workshop kami,’’ katanya.

Lima belas menit kemudian kami sampai di Art Center Jarvilinna, di daerah pinggiran Jyväskyla, sebuah kota di bagian tengah Finlandia, 234 kilometer dari Helsinki. Ada danau yang airnya membeku pada musim dingin; Jarvilinna sendiri dibentuk dari dua kata Jarvi yang berarti danau dan Linna yang berarti kastil. Sayang, selama saya tinggal di tempat ini air danau tidak pernah membeku sehingga saya tidak memiliki kesempatan untuk berjalan-jalan di permukaan air seperti yang diperagaka­n oleh tukang sihir dalam cerita berabad-abad lalu.

Gedung utamanya adalah bangunan kayu dengan status dilindungi; ia didirikan pada 1891, dipugar ketika kondisinya memburuk, dan dipertahan­kan bentuk aslinya sampai sekarang. Yayasan Kauko Sorjosen, yang dibentuk oleh pebisnis dan pencinta kebudayaan Kauko Sorjonen, membeli bangunan tersebut pada 2009 dan menyewakan dengan harga sangat murah bangunan-bangunan di sekitarnya kepada para seniman yang membutuhka­n studio untuk bekerja. Bangunan utama, dengan kafe yang buka Rabu–Minggu setiap pekan pada pukul 12.00–17.00, digunakan untuk menggelar pameran, pementasan musik, dan pasar seni.

Kamar yang saya tempati memiliki jendela menghadap danau dan di seberang danau ada hutan. Tempat yang bagus, pikir saya, seperti tempat pertapaan yang nyaman, atau serupa dengan tempat pelarian bagi Hemingway muda dalam film In Love and

pada hari-hari patah hati sepulang dari Italia, setelah menerima surat dari perawat Agnes von Kurowski yang menyampaik­an keraguan mengenai hubungan mereka.

’’Saya sangat mencintaim­u, tetapi bagaimanap­un kau baru 18 tahun dan saya enam tahun lebih tua; sulit menghindar­i gangguan di dalam pikiran bahwa hubungan kita mungkin hanya cinta monyet,’’ tulis Agnes. Si perawat memberi tahu bahwa ia akhirnya menerima lamaran dokter Italia dan mereka kini bertunanga­n.

Di sebuah tempat dengan danau dan hutan itulah Hemingway kemudian lari, menenteram­kan diri dari kemarahan, serta mengisi waktu dengan mengetik dan memancing setiap hari. Di tempat yang serupa itu saya tinggal selama sebulan, tetapi tidak memancing. Saya tidak pintar memancing dan rasa-rasanya kurang menarik memancing di tepi danau pada suhu udara nol derajat Celsius.

Tetangga di seberang kamar saya adalah suami istri dari Jepang, Yuichiro Sato, pelukis, dan Uiko, penulis buku anak-anak. Yuichi mendapatka­n beasiswa residensi dari pemerintah­nya dan ia bersama Uiko sudah tinggal di Jarvilinna selama setahun. ’’Saya menyukai warna alami negeri ini. Setiap hari warnanya berubah,’’ katanya.

Ia tekun melukis setiap hari dan baru selesai bekerja kurang lebih pukul 24.00. Itu membuat saya tampak seperti pemalas yang sehari-hari hanya membaca di kamar, sesekali mengetik, dan keluar kamar untuk merokok di teras, menikmati bunyi titik-titik air yang jatuh dari dahan-dahan menimpa guguran daun-daun ketika salju meleleh.

Sebetulnya ada sepeda yang bisa saya pakai, tetapi ia hanya tersandar terus di depan kamar. Di daerah sebelumnya, di Kepulauan Kvarken yang saya singgahi sepanjang Oktober, saya senang bersepeda menjelajah jalanan yang membelah hutan, atau mengayuhny­a menuju pantai. Tetapi, di art center saya tidak pernah bersepeda sama sekali, gentar oleh medan yang berbukit-bukit.

Satu keluarga lain yang tinggal di bangunan yang sama dengan saya adalah suami istri Johannes Lahtinen dan Maija Rantasalo. Johannes sedang mengerjaka­n novel ketiganya dan Maija seorang pandai besi; mereka memiliki dua anak, lelaki dan perempuan, yang senang berguling-guling di atas salju.

Saya sudah tidak heran lagi dengan perempuan yang bekerja menggergaj­i kayu atau mengayunka­n martil untuk menempa besi panas. Sejak kanak-kanak, sekolah mereka mengajarka­n bahwa tidak ada jenis kelamin untuk setiap pekerjaan. Muridmurid perempuan maupun lelaki sama-sama belajar bertukang dan pada jam olahraga saya sudah melihat mereka sama-sama bermain sepak bola. (*) A.S. Laksana, penulis yang kini mengikuti program residensi kepenulisa­n di Finlandia

 ??  ?? NOL DERAJAT: Dinding kastil Jarvilinna yang terbuat dari kayu di tepi danau yang saat musim dingin airnya membeku. Meski belum masuk musim dingin, pohon-pohon diselimuti salju. Banyak seniman yang tinggal dan berkarya di tepi danau itu.
NOL DERAJAT: Dinding kastil Jarvilinna yang terbuat dari kayu di tepi danau yang saat musim dingin airnya membeku. Meski belum masuk musim dingin, pohon-pohon diselimuti salju. Banyak seniman yang tinggal dan berkarya di tepi danau itu.
 ??  ?? War BUKAN PEMATUNG: Maija Rantasalo di bengkelnya. Dia menolak disebut pematung. Dia memilih disebut pandai besi meski yang digarap berbentuk patung-patung dari besi dan tembaga.
War BUKAN PEMATUNG: Maija Rantasalo di bengkelnya. Dia menolak disebut pematung. Dia memilih disebut pandai besi meski yang digarap berbentuk patung-patung dari besi dan tembaga.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia