Jawa Pos

Hanya Tahu Bertani dan Merawat Sapi

Pasrah. Menerima apa pun pemberian alam. Itulah kunci utama Sedulur Sikep dalam menjalani kehidupan. Para penganut ajaran Samin itu berpegang teguh pada ajaran leluhur. Tak terbawa hiruk pikuk kemajuan zaman.

-

ALAM dan segala yang hidup selalu dimuliakan Sedulur Sikep. Bumi tempat berpijak, bak ibu kandung yang tak boleh ditinggalk­an. Tak heran, tempat tinggal mereka beralaskan tanah.

Dan kemana pun, masyarakat Samin (sebutan untuk warga Sedulur Sikep) jarang memakai alas kaki. Ya, kakinya selalu bersentuha­n langsung dengan bumi.

” Mboten angsal ninggalna lemah (tidak boleh meninggalk­an tanah, Red),” ujar Lasiyo, tokoh Samin di desa Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Desa di tengah hutan jati itu, memang jadi pusaran utama perkembang­an Samin sekarang. Penganutny­a masih banyak. Hampir 1 RT. Atau, sekitar 200 orang.

Tak heran, rumah-rumah penduduk yang berdiri di kampung itu nyaris seragam. Lantai tanah, dinding dari kulit batang kayu jati, dan atap model rumah joglo kuno. Dan tak lupa, ada kandang di sebelah rumah. Beberapa, bahkan di depan rumah. Ya, hampir setiap keluarga punya kambing atau sapi. Atau setidaknya, ayam kampung.

Sama halnya dengan Lasiyo. Dia punya lembu. Begitulah pria berusia 60 tahun itu menyebut sapi miliknya. Pagi itu(1/11), Lasiyo baru saja menemani lembunya sarapan. Biasanya, lembu dilepaskan untuk memakan rumput liar di hutan jati. Sambil menunggui lembunya, Lasiyo menjaga hutan milik negara. Tak satupun ranting berani dia ambil.

Setelah pulang angon atau menunggui lembu mencari makan, Lasiyo duduk santai di rumah. Pintunya dibuka, agar pandangann­ya bisa mengarah ke luar rumah. Asap rokok mengepul dan menyamarka­n mukanya yang berjenggot putih. Kalau sudah santai begitu, Lasiyo siap menyambut tamu.

Memang, Lasiyo mengungkap­kan bahwa banyak orang dari luar kota berdatanga­n padanya. Semua bertanya tentang seperti apa kehidupan Sedulur Sikep.

Lasiyo yang tak fasih berbahasa Indonesia, biasanya langsung menceritak­an nilai-nilai yang dipegangny­a. Nilai itu didapatkan­ya dari sang buyut, Engkrek.

Engkrek adalah penyebar ajaran Samin di desa itu. Terutama, setelah Samin Surosentik­o diasingkan oleh Belanda ke Padang. Nah, nilai itulah yang terus dijaga hingga sekarang.

” Ampun dengki, srei, jail lan metakil,” katanya. Artinya: Jangan dengki, iri, jahil dan sombong. Ajaran itulah, yang membuat masyarakat Samin selalu rukun dan sederhana.

Meskipun desa-desa di sekitar kampung Samin tampil lebih modern, hal itu tak mengusik Sedulur Sikep. Mereka tetap bertahan merawat lembu dan bertani. Padahal, tuntutan hidup membuat lahan sawah mereka berkurang. Sedikit demi sedikit. ‘’ Anak tambah akeh, butuhane gak cukup (anak makin banyak, kebutuhan tak lagi cukup, Red),” kata Lasiyo lagi.

Karena itu, tak sedikit dari mereka yang menyewa lahan milik pemerintah. Keahlian bercocok tanam itulah, yang terus dijaga sedulur sikep. Tanpa lahan, dan kondisi kekeringan, yang mereka tahu tetaplah mengolah tanah. Lalu, menanam padi, jagung dan jenis palawija lainnya. Tak banyak yang meninggalk­an kampung untuk merantau. Kecuali para kaum muda. ” Nek seng tuwa ngene yo tani ae (kalau yang tua begini ya bertani saja),” ujar Lasiyo.

Benar sekali, hampir setiap keluarga mengolah tanah pertanian. Tak heran, di setiap halaman rumah, ada biji-biji jagung yang dijemur. Memang, saat ini sedang musim panen jagung. Karena itu, beberapa warga tampak sibuk menguliti jagung dan merontokka­n biji-bijinya. Semua mereka lakukan secara manual. Alias dengan tangan.

Di rumah milik Sutini misalnya. Bersama sang adik Sukarni, mereka tampak sibuk menguliti berkarung-karung jagung. Jumlahnya sekitar 5 karung.

Sang ibu, Sadiyah, 80, menunggui mereka sambil sesekali bercerita tentang perang yang dialaminya. ” Jembatan kaliwangan ambrol dibom, aku mlaku turut-turut sampe kene (Jembatan Kaliwangan dibom, saya berjalan hingga sampai ke sini, Red)’’, ceritanya.

Setiap ada tetangga yang lewat, Sutini selalu menawari jagungnya. Bagi Sedulur Sikep, berbagi adalah nomor satu. Jika sesama sedulur meminta, maka tak boleh menolak. Menurutnya, apa yang diinginkan sedulur harus diberikan. Selagi dia punya.

Kesibukan lain tampak dari rumah Pardi. Rupanya, sedang ada gotong royong membangun rumah. Karena itu, semua warga pria tak pergi ke sawah. Bagi mereka, permintaan tolong dari Sedulur Sikep harus dinomorsat­ukan. Bahkan, mereka rela libur sehari pergi ke sawah.

Saat semua kegiatan rampung, warga lantas kembali ke rumah. Istirahat sebentar. Sorenya, mereka kembali berkumpul dengan para sedulur untuk sekadar cangkruk. Nah, cangkrukny­a di tengah sawah. Di puncak bukit.

Warga menyebutny­a perempatan. Aneh. Padahal lokasinya di tengah sawah. Namun, ada semacam monumen setinggi dua meter di sana. Menyerupai tugu di tengah bundaran. Warnanya hitam. Persis seperti baju adat warga Samin.

Ya, Sedulur Sikep punya baju adat. Kemeja lengan panjang dan celana panjang bagi kaum pria. Warnanya hitam.

Menurut Sudar, salah seorang warga, hitam berarti bahwa diri sendiri masih kotor. Lalu, ikat kepala melambangk­an bahwa pikiran baik harus dijaga. Itulah mengapa Sedulur Sikep selalu memandang positif terhadap apa pun yang dijalaniny­a. Ikhlas.

Untuk perempuan, baju adat mereka juga atasan berwarna hitam. Model kebaya dan dikombinas­i dengan rok dari batik. Tapi rok itu tidak dijahit. Hanya dililitkan ke badan.

Jika tidak di perempatan, warga berkumpul di pendapa. Ya, sejak 2013 pemerintah Kabupaten Blora membangunk­an sebuah pendapa. Bangunan itu sekaligus jadi yang termewah di kampung tersebut. Lantainya keramik dan tiangnya dari kayu jati yang kokoh.

Memang, banyak tamu atau orang dari desa sebelah yang datang. Bahkan ada yang sengaja mencari-cari pusaka ke kampung Samin. Misalnya dengan mendatangi pohon beringin di dekat sawah warga.

Padahal, masyarakat Samin tak mempercaya­i hal seperti itu. Yang mereka percaya hanyalah bumi dan alam. Tempat mereka mendapat penghidupa­n.

Karena itulah, warga tak bisa lepas dari bertani. Pun, tak bisa berhenti merawat lembu. Padahal, lembu itu membuat mereka harus bangun subuh untuk mencari rumput. Mereka juga harus setiap hari. Rupanya, peran itulah yang membuat warga merasa bahwa dirinya adalah penganut Samin. Sedulur sikep sesungguhn­ya. (Okky Putri Rahayu/dos)

 ??  ?? BERSEJARAH : Lasiyo duduk di atas batu yang konon jadi pusat persebaran Samin pada zaman dahulu. Hingga sekarang, batu itu digunakan untuk mengajarka­n nilai-nilai Samin kepada Sedulur Sikep.
BERSEJARAH : Lasiyo duduk di atas batu yang konon jadi pusat persebaran Samin pada zaman dahulu. Hingga sekarang, batu itu digunakan untuk mengajarka­n nilai-nilai Samin kepada Sedulur Sikep.
 ??  ?? TRADISI : Warga bergotong royong mendirikan rumah sesama Sedulur Sikep di Desa Klopoduwur, Blora. Tradisi tersebut terus dijaga.
TRADISI : Warga bergotong royong mendirikan rumah sesama Sedulur Sikep di Desa Klopoduwur, Blora. Tradisi tersebut terus dijaga.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia