Jawa Pos

Keluguan yang Bikin Penjajah Jengkel

-

KARENA begitu menerima nasib, warga Sedulur Sikep juga tak mengenyam pendidikan. Sebab, menjadi petani ibarat trah yang mesti dilanjutka­n. Hal itu terjadi di kampung Samin yang lain. Salah satunya di desa Sumber, Randublatu­ng. Berjarak 27 kilometer dari Klopoduwur. Masih dalam wilayah administra­tif Blora.

Desa itu juga tak jauh dari Plosowetan, tempat Samin Surosentik­o dilahirkan. Meskipun demikian, jejak pencetus ajaran Samin itu tak ditemukan. Tak ada petilasan apa pun. Warga di sekitar lokasi juga bukan lagi penganut Samin.

Berbeda lagi saat memasuki desa Sumber. Dua puluh menit dari desa Plosowetan. Satu gang berisi 10 rumah tampak seragam. Mirip dengan rumah-rumah di Klopoduwur. Alasnya tanah. Modelnya joglo. Ruangan utama luas. Di sisi kanan ada meja dan kursi panjang. Lalu, sebelah kiri ada tikar yang digelar di depan meja dengan TV 14 inci. Rupanya, rumah berdinding pa

pan itu adalah milik salah satu cicit Samin Surosentik­o, Suparmi. Karena itu, potret Samin Surosentik­o terpajang di rumah. Diapit oleh gambar kedua orang tua Suparmi. Posisinya, mirip dengan foto presiden-wakil presiden dan gambar garuda di sekolahsek­olah.

Ketika Jawa Pos mengunjung­inya pada Kamis(2/11), Suparmi baru saja pulang dari sawah. Buruburu dia memanggil suaminya. Sang suami, menyambut Jawa Pos dengan senyum canggung.

Berbeda dengan warga Samin di Klopoduwur, Sedulur Sikep di desa Sumber tak banyak didatangi pengunjung. Tak ada pendapa. Hanya kampung biasa yang berdempeta­n dengan sawah. Nah, tapi jangan heran jika penduduk di tempat ’’kurang nyambung’’ saat diajak bicara.

’’ Njenengan sinten (nama Anda siapa, Red?),” tanya Jawa Pos.

’’ Kula lanang (saya laki-laki, Red),’’ jawabnya. Tak lama kemudian, dia melanjutka­n, ” (Kalau orang tuaku memanggil saya Salim, Red),”ujarnya.Ya, na m anya Samin. Nah, seperti itulah cara berkomunik­asi warga Samin. Pertanyaan yang dilontarka­n pada mereka harus jelas. Kadang meski sudah jelas, mereka tetap tidak jelas dalam menjawabny­a. Tapi, satu yang pasti, sedulur sikep tidak pernah berbohong.

Misalnya ketika Salim ditanya berapa jumlah anaknya. ” Aku gak duwe anak, tapi turunku loro (Saya tidak memiliki anak, tapi keturunank­u dua, Red)” katanya. Betul juga, yang mampu beranak adalah sang istri. Karena itu, Salim tak pernah menyebut anak pada kedua putranya. Tapi dia menyebut ’keturunan”.

Keluguan itulah, yang membuat penjajah Belanda jengkel. Tak heran, warga Samin banyak disebut dalam sejarah Belanda. Pun, dalam surat kabar Belanda pada masa itu. Rupanya, itulah cara Samin Surosentik­o memberonta­k.

Tentu saja, Belanda dibuat geram jika pertanyaan­nya dijawab dengan cara demikian. Belum lagi ketika ada pertanyaan ”Mau ke mana?” Warga Samin akan menjawab, ‘’Mau ke depan.”

Lalu, jika pertanyaan dilanjutka­n ”Dari mana?”, akan kembali dijawab, ‘’Dari belakang.”

Rupanya, cara itu adalah taktik untuk membuat penjajah kesal. Bahkan, Sedulur Sikep juga menolak untuk membayar pajak. Bagi mereka, alam adalah milik bersama. (kik/dos)

 ??  ?? angon Nek wong tuwaku ngarani aku Salim SEDERHANA : Deretan rumah di perkampung­an masyarakat Samin di Desa Klopoduwur. Modelnya seragam khas Sedulur Sikep.
angon Nek wong tuwaku ngarani aku Salim SEDERHANA : Deretan rumah di perkampung­an masyarakat Samin di Desa Klopoduwur. Modelnya seragam khas Sedulur Sikep.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia