Anak Apatis Produk Kecanduan Gawai
Alihkan dengan Berbagai Kegiatan Outdoor
SURABAYA – Setelah menyinggahi 29 titik, road show Jawa Pos For Her Tangkis Bersama Antangin JRG tahun ini berakhir di SD Mandala Surabaya kemarin (25/11). Dr Setiasih MKes Psikolog hadir untuk memberikan bekal kepada orang tua tentang internet sehat.
’’Manusia itu maunya serbacepat dan dilayani. Tidak heran kalau gawai dan internet menjadi kebutuhan pokok,’’ kata dosen Universitas Surabaya (Ubaya) tersebut saat membuka acara.
Berdasar data, pada Januari lalu, 51 persen dari populasi di Indonesia adalah pengguna internet. ’’Jangankan orang dewasa. Sekarang, banyak orang tua yang bahkan memberikan gawai untuk bayi berusia 3–4 bulan,’’ ujar Setiasih.
Kecanduan internet pada anak di bawah umur semestinya dianggap sebagai masalah serius. Perkembangan emosional anak belum terbentuk dengan baik. Anak membutuhkan interaksi dan bimbingan dari orang tua, bukan dengan gawai. Secara fisik, anak-anak juga diharapkan banyak beraktivitas untuk menunjang tumbuh kembangnya. Jika sampai kecanduan internet, pola hidup anak akan terpengaruh. ’’Anak bisa cenderung tertutup dan apatis terhadap lingkungan luar,’’ jelas Setiasih.
Hal itu dirasakan Werdiasih, 35. Keponakannya yang baru berusia 8 tahun sudah kecanduan internet. Hari-harinya dihabiskan dengan menatap layar gawai. Di rumahnya terdapat fasilitas wifi yang selalu terkoneksi. Anak tersebut bisa bebas berselancar di dunia maya. ’’Saya lihat sekilas, kadang dia buka game atau lihat video di
tutur Werdiasih. Saking seriusnya menatap layar gawai, anak itu tidak memedulikan orang-orang di sekelilingnya. ’’Kalau ada saudaranya yang datang, dia tetap serius main gawai. Kalau disuruh nyapa, baru disapa. Tapi ya cuma seadanya,’’ ungkap Werdiasih.
Orang tua si anak pernah berusaha menyembunyikan gawai tersebut. Namun, anak itu justru beralih berinternet dengan laptop. ’’Secara fisik, hal itu juga membahayakan. Matanya bisa rusak karena terpapar blue light,’’ ucap Setiasih.
Jika anak telanjur kecanduan, Setiasih menyarankan agar ayah dan bunda berkonsultasi secara khusus dengan psikolog. ’’Nanti dibuatkan program terapi sesuai kebutuhan anak,’’ terang Setiasih.
Namun, orang tua bisa lebih dulu melakukan langkah penyembuhan secara bertahap. Ayah dan bunda tidak bisa begitu saja merampas gawai tersebut. Hal itu justru membuat anak kaget dan marah. ’’Sering kali orang tua tidak tahan menghadapi anak yang marah. Gawainya kemudian diberikan. Masalah tidak selesaiselesai jadinya,’’ kata Setiasih.
Yang bisa dilakukan adalah membatasi waktu penggunaan gawai. Kurangi porsi waktunya sedikit demi sedikit. Jika orang tua tidak bisa membujuk anak, peran tersebut bisa digantikan sosok yang dipercaya anak. ’’Misalnya, paman atau kakaknya yang lebih dewasa. Biasanya, anak punya sosok yang dihormati dan dipercaya,’’ ujar Setiasih.
Selanjutnya, alihkan perhatian anak lewat aktivitas lain. Misalnya, les sesuai bakat dan minatnya atau permainan outdoor. Hal itu dilakukan secara terus-menerus. ’’Bukan hanya sekali lho, tapi setiap hari. Sampai anak terbiasa,’’ tutur Setiasih.
Di sisi lain, Kartikanita Widyasari alias Kak Nitnit juga mence ritakan dongeng berjudul Internet Sehat kepada siswa TK dan SD Mandala. Bersama Naomi, boneka kesayangannya, Kak Nitnit menyelipkan informasi tentang aturan bermain gawai. ’’ Naomi hanya boleh main tablet setiap Sabtu, Minggu, dan tanggal merah,’’ ucap Kak Nitnit. (adn/c18/ayi)