Tidak Semua Barang Bekas Jadi Sampah
Bagi Lessa Gresh Vaswani, setiap material punya kesempatan kedua. Barang bekas di- Tidak sekadar daur ulang.
upcycle.
BISA dibilang, upcycling project yang dilakukan Lessa Gresh Vaswani berawal dari kebetulan. Suatu hari, pada awal 2014, Lessa pindah ke Surabaya setelah menikah dengan suaminya, Gresh Samtani.
Dia mendapatkan hadiah dari seorang temannya, Rosalia Inekke Gunawan, berupa kardus. Ia dihiasi pernik-pernik bunga dan glitter. Ada nama Lessa yang tertulis pada bagian tengah kardus.
Tidak ada kata-kata yang mampu menjelaskan, Lessa langsung jatuh hati pada hadiah itu. Barangnya simpel. Terlebih, hadiah tersebut bukan barang baru. Melainkan, kreasi dari benda-benda yang sudah tak terpakai.
Sejak saat itu, hati Lessa tergerak untuk mengenal cara pembuatan barang bekas tersebut. Makin penasaran, dia mulai melakukan riset dari berbagai macam sumber
Penyebabnya, selama ini beban anggaran yang ditanggung BPJS untuk penyakit tersebut membengkak. Per September saja, biaya yang dikeluarkan untuk delapan penyakit itu Rp 12,29 triliun.
Salah seorang yang khawatir dengan wacana penghapusan biaya tersebut adalah Laili Hidayati, warga Waru, Sidoarjo. Perempuan 36 tahun itu mengatakan sangat takut jika BPJS benar-benar mencabut pembiayaan hemodialisis. Sebab, sejak divonis gagal ginjal kronis, dia tidak bisa lagi bekerja. Sebelumnya, dia adalah seorang penjahit. Kini dia hanya berdagang secara online. Penghasilannya pun tidak seberapa. ’’Saya dua kali harus cuci darah. Uang dari mana ya kalau harus membayar sendiri”.
Dia menambahkan, pasien hemodialisis memang seperti hidup segan, mati pun tak mau. Tanpa menjalani cuci darah rutin, kondisi pasien semakin buruk. Sebab, racunracun di dalam tubuh menumpuk. Cuci darah adalah satu-satunya cara untuk membersihkan racun tersebut. ’’Minum saja dibatasi. Pipis tidak bisa,” ujarnya.
Kepala BPJS Cabang Kota Surabaya M. Cucu Zakaria mengatakan bahwa penghapusan biaya untuk delapan penyakit itu masih sebatas wacana. ’’Sampai saat ini BPJS masih menanggung 100 persen biaya penyakit-penyakit tersebut”.
Cucu menambahkan, wacana penghapusan pembiayaan terhadap penyakit katastropik itu pun tidak dilakukan 100 persen. Tetapi, biaya yang semula ditanggung 100 persen oleh BPJS akan diubah menjadi sistem cost sharing. Itu pun berlaku bagi peserta BPJS non-PBI. Bagi peserta BPJS PBI, biayanya tetap ditanggung. Jadi, peserta BPJS mandiri akan dilibatkan dalam pembiayaan.
Selama ini delapan penyakit tersebut memang membutuhkan perawatan dalam jangka waktu lama dengan biaya tinggi. Padahal, pendapatan BPJS mengalami defisit setiap tahun. Itu terjadi selama empat tahun terakhir.
Menurut Cucu, wacana tersebut sengaja disampaikan agar masyarakat tidak kaget jika memang pembiayaan delapan penyakit katastropik benar-benar dihapus. Sebab, beberapa negara maju, seperti Jepang, Korea, Jerman, Prancis, dan Italia, sudah menerapkan sistem cost sharing. ’’Kami berharap tindakan promotifpreventif masyarakat ditingkatkan. Jadi, pembiayaan penyakit katastropik bisa ditekan,” katanya.
Cucu sangat berharap upaya promotif-preventif para peserta JKN-KIS bisa dijaga dan ditingkatkan. Dengan begitu, pembiayaan untuk penyakit katastropik bisa ditekan.
Sementara itu, wacana penghapusan biaya untuk delapan penyakit katastropik itu membuat para pasien gagal ginjal kronis (GGK) resah. Sebab, kehidupan mereka bergantung pada BPJS. Gagal ginjal merupakan salah satu penyakit yang penderitanya paling banyak di Indonesia.
Berdasar data yang diperoleh Jawa Pos dari RSUD dr Soetomo, dalam sebulan rata-rata pasien hemodialisis mencapai 360 orang. Pasien baru setiap bulan bisa sampai 70 orang. Sebagian besar adalah pasien BPJS nonPBI ( lihat grafis).
BPJS seharusnya menyadari bahwa sulit membandingkan kondisi kesehatan di Indonesia dan Eropa. Banyak variabel yang berbeda. Yang paling utama tentu saja pendapatan per kapita. Dengan rata-rata UMR Rp 2,8 juta per bulan di Jawa Timur, akses kesehatan untuk delapan penyakit itu tentu saja tak bisa dinikmati masyarakat kebanyakan. Bahkan, pekerja profesional kelas menengah pun pasti berkeberatan jika harus menanggung sebagian biaya penyakit itu. Salah satunya, penyakit jantung.
Misalnya, Wahyudi, salah seorang pasien di Poli Hemodialisis RSUD dr Soetomo. Dia mengatakan sangat keberatan jika BPJS menghapus biaya hemodialisis. Sebab, pasien gagal ginjal kronis setidaknya harus menjalani cuci darah dua kali dalam seminggu. ’’Kalau biayanya tidak ditanggung BPJS, usia pasien gagal ginjal seperti saya tidak akan panjang,” ungkapnya.
Pria 43 tahun itu menuturkan, hidupnya saat ini sangat bergantung pada cuci darah. Setiap Rabu dan Sabtu, dia harus menjalani cuci darah. Jika tidak, tubuhnya terasa sakit. Badannya membengkak karena cairan tidak bisa dikeluarkan. ’’Pasien gagal ginjal itu tidak bisa kencing. Dikeluarkannya hanya saat hemodialisis,” ujarnya.
Selama 11 tahun, Wahyudi men- jalani cuci darah. Tepatnya mulai usia 32 tahun. Awalnya, tubuhnya subur. Tidak sekurus sekarang. Namun, gaya hidupnya tidak teratur. Makan mi instan hingga kebanyakan minum multivitamin membuat Wahyudi sakit. Pada 2007 dia divonis gagal ginjal. ’’Waktu itu saya ditanggung jamkesda,” katanya.
Namun, jamkesda tidak bisa digunakan di luar kota. Sejak adanya BPJS, Wahyudi merasa tertolong. Dia mendaftar BPJS mandiri kelas III. Fasilitas yang diberikan sebagai pasien BPJS pun tidak buruk. Semua pelayanan hemodialisis diberikan dengan baik. Tidak hanya di RSUD dr Soetomo, tetapi juga di rumah sakit lain. ’’Saya bersyukur selama 11 tahun ini, hemodialisis saya lancar. Tidak pernah telat,” ujarnya.
Namun, ketika biaya hemodialisis itu dicabut dari BPJS, para pasien gagal ginjal kronis (GGK) terancam meninggal. Sebab, rata-rata pasien GGK tidak bisa menanggung biaya hemodialisis sendiri. Menurut Wahyudi, sekali cuci darah, setidaknya dibutuhkan uang Rp 800 ribu. Padahal, cuci darah harus dilakukan dua kali seminggu. Itu artinya, seminggu bisa menghabiskan uang Rp 1,6 juta. ’’Kalikan saja sebulan”.
Wahyudi mengungkapkan, dirinya hanya bisa pasrah dengan kebijakan pemerintah. Meski pembiayaannya nanti dengan sistem cost sharing, tetap saja pasien hemodialisis merasa berat. ’’Beban kami sudah berat. Kondisi seperti ini sulit bekerja, ditambah harus membiayai hemodialisis,” ujarnya.
Secara terpisah, teknisi hemodialisis Saidin menambahkan, pasien cuci darah terus meningkat. Saat ini RSUD dr Soetomo memiliki 32 alat hemodialisis. Termasuk satu alat untuk pasien HIV dan lima alat untuk hepatitis B. Untuk pasien reguler, rata-rata ada 75 orang. Dalam sehari, ada tiga sesi pencucian darah. ’’Kadang banyak pasien yang mengantre. Sampai di sif malam,” ujarnya.
Kepala Instalasi Hemodialisa RSUD dr Soetomo dr Nunuk Mardiana SpPD-KGH FINASIM mengungkapkan, banyak dampak bagi pasien GGK jika tidak menjalani cuci darah secara rutin. ’’Dampak pada orang dengan gagal ginjal kronis ini terjadi dalam waktu singkat. Jika tidak rutin cuci darah, bisa langsung sesak,” kata Nunuk. ( ayu/dwi/c7/ano)