Masuk Siang Tidak Tarik Minat Siswa
Potret sekolah ’’Laskar Pelangi’’ tidak hanya ada di Pulau Belitung. Kisah ’’Laskar Pelangi’’ dengan latar belakang yang berbeda juga muncul di Kota Santri. Tepatnya di SDN Wotan, Kecamatan Panceng.
SD Muhammadiyah Gantong adalah nama sekolah di film
yang berada di Pulau Belitung. Lembaga itu hanya memiliki 10 siswa. Fasilitasnya pun minim. Namun, di SDN Wotan, Kecamatan Panceng, fasilitas sekolah cukup menunjang. Hanya, jumlah siswanya sangat minim.
SDN Wotan hanya mempunyai sembilan murid. Tersebar di kelas II-IV dengan jumlah masingmasing satu anak. Kelas V dan VI masing-masing tiga siswa. Adapun siswa kelas I kosong melompong. ’’Tahun pelajaran baru kemarin kami tidak dapat siswa,’’ tutur Kepala SDN Wotan Musran Saudin kepada Jawa Pos.
Minimnya siswa membuat lingkungan sekolah sangat lengang. Misalnya, yang dirasakan Jawa Pos saat berkunjung Jumat (24/ 11). Tidak ada hiruk-pikuk atau suasana ramai anak-anak sebagaimana umumnya sekolah dasar. Meski pada saat bersamaan ada lima siswa yang bermain bola di lapangan sekolah. Aktivitas tersebut tidak sampai menimbulkan ingar-bingar.
’’Suasananya memang tenang. Hening. Karena tidak ada yang ribut,’’ ujar Musran.
Di balik itu, suasana batin para guru sebetulnya sangat tidak tenang. Ada beban yang mengimpit karena minimnya siswa. Apalagi saat musim penerimaan siswa baru. Saat sekolah lain ramairamai kedatangan murid baru, SDN Wotan seakan tidak dilirik orang tua siswa. ’’Miris sekali rasanya,’’ ujar Nduk Musyafa’ah, 55, salah seorang guru senior.
Guru-guru, lanjut dia, sangat mendambakan siswa baru. Berbagai upaya pun dilakukan. Misalnya, melakukan pendekatan ke calon orang tua siswa. Tidak sedikit orang tua yang menjanjikan anaknya untuk sekolah ke SDN Wotan. Namun, sampai masa pendaftaran tutup, ternyata tidak ada seorang pun yang mendaftar.
Warga lebih memilih mendaftarkan anak-anaknya ke dua madrasah ibtidaiyah (MI) di Desa Wotan. Yaitu, MI Muhammadiyah 4 Wotan dan MI Tarbiyatus Sibyan. Memang, eksistensi dua lembaga tersebut sama-sama kuat. Jumlah siswa keduanya di atas seratus anak. ’’Anak usia SD kan lebih banyak ditentukan keinginan orang tua. Kami tidak bisa apa-apa. Masak kalau tidak mau (daftar, Red) harus kami paksa. Kan nggak bisa begitu,’’ jelas perempuan yang mengajar di SDN Wotan sejak 1983 itu.
Upaya lain untuk menggaet siswa baru juga dilakukan dengan mengubah jam masuk sekolah. Dari masuk pagi diubah menjadi masuk siang. Langkah tersebut diterapkan pada 2000–2003. Harapannya, sekolah bisa mendapat limpahan siswa dari dua madrasah tersebut. Namun, upaya itu tidak membuahkan hasil. Pada 2004 jam masuk sekolah dikembalikan ke pagi hingga sekarang. ’’Jadi, banyak upaya yang kami lakukan,’’ tambah Tarmilah, 59, guru senior lainnya. (mar/c15/dio)