Jawa Pos

Pasien Cuci Darah Resah

BPJS Berencana Berlakukan Cost Sharing

-

SURABAYA – Wacana penghapusa­n pembiayaan total delapan penyakit katastropi­k oleh Badan Penyelengg­ara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan membuat masyarakat resah. Jantung masyarakat pantas berdebar karena delapan penyakit itu membutuhka­n pengobatan rutin dengan biaya yang tidak sedikit.

Apalagi, prevalensi delapan penyakit katastropi­k itu di masyarakat terus meningkat. Wacana penghapusa­n tersebut dilontarka­n Direktur BPJS Kesehatan Fahmi Idris saat rapat dengan Komisi IX DPR.

Delapan penyakit katastropi­k itu meliputi jantung, gagal ginjal, talasemia, stroke, sirosis hepatitis, kanker, leukemia, dan hemofilia

Mulai bertanya kepada orangorang sekitarnya hingga melalui sumber internet. ”Saya mengenal namanya upcycle,” ujar perempuan 31 tahun itu.

Proses upcycle berbeda dengan recycle. Upcycle bertujuan untuk menambah nilai maupun fungsi barang tanpa menghancur­kan bentuknya terlebih dahulu. Prosesnya lebih efektif. Juga efisien. Baik dalam waktu maupun tenaga. Hasil akhirnya tetap memuaskan. Dengan cara itu, Lessa pun lebih bisa menjaga kelestaria­n lingkungan.

Dari riset, Lessa beranjak melakukan percobaan. Lessa menggunaka­n barang yang tidak terpakai di rumah. Salah satunya botol plastik.

Botol itu dipotong menjadi dua bagian. Lessa mengambil bagian bawah botol, lantas mewarnainy­a dengan cat akrilik. Potongan botol itu diberi hiasan berupa tali warnawarni pada sisi luarnya. ”Bisa dipakai wadah meletakkan alat tulis atau apa pun,” ungkapnya.

Tidak disangka, proyek perdana itu membuat Lessa semakin jatuh cinta. Terlebih, proses menambah nilai barang tersebut dapat membantu mengurangi kerusakan lingkungan. ”Saya jadi ingat saat tinggal di Selandia Baru. Di sana, banyak sekali ditemukan barang seperti ini. Kenapa tidak dilakukan di Surabaya?” jelas perempuan keturunan India tersebut.

Lessa lantas merangkul temanteman terdekatny­a untuk bergabung dalam proyek tersebut. Tujuannya bukan cari untung. Dia hanya ingin mengubah barang bekas menjadi lebih bernilai. Spirit itulah yang ingin ditularkan­nya kepada orang-orang sekitarnya. Pada 2015, muncul nama The Heart Project. Proyek tersebut dipandegan­i tiga orang. Selain Lessa, ada Rosalia Inekke Gunawan dan Rengganis Irham. Mereka berkolabor­asi dengan visi yang sama untuk menambah fungsi barang- barang bekas dari lingkungan sekitar.

”Sebab, proyek ini didasari oleh hati. Semuanya menggunaka­n hati yang tulus,” kata perempuan kelahiran Jakarta, 23 Desember 1985, itu.

Dengan bergabungn­ya dua teman itu, Lessa seperti mendapatka­n aliran semangat baru. Mereka lantas mengumpulk­an semakin banyak barang bekas. Dari rumah masing-masing sampai temanteman terdekat lainnya.

Ternyata, kegigihan mereka mendapat respons positif. Malah banyak teman yang memberikan barang yang tak terpakai kepada Lessa dkk secara cuma-cuma.

” Rumah saya jadi seperti gudang. Ada barang bekas di mana-mana,” ujar perempuan yang pernah kuliah di Victoria University of Wellington, Selandia Baru, tersebut.

Meski begitu, Lessa tidak sembaranga­n menggunaka­n barang bekas. Dia memilah-milah setiap barang yang diterimany­a. Setelah dirasa cocok, Lessa dkk memprosesn­ya ke tahap selanjutny­a. Yaitu, membersihk­an barang bekas. Kemudian, dia memberikan konsep baru pada benda bekas itu.

Barang yang sering digunakan Lessa, antara lain, botol plastik maupun kaca, kepingan CD, kardus, kain, dan kaleng makanan. Bentuk barunya bisa berupa apa saja. Itu sesuai dengan ide kreativita­s Lessa dkk. Rabu (22/11), Lessa menunjukka­n beberapa karya The Heart Project di rumahnya. ”Di sini jadi tempat pengerjaan,” katanya.

Ada satu ruang khusus di dalam rumah di daerah Surabaya Timur tersebut. Ruangan 3 x 4 meter itu digunakan sebagai tempat penyimpana­n karya yang sudah jadi. Lessa menyebutny­a Galeri The Heart Project.

Saat memasuki galeri tersebut, warna-warni yang bersumber dari barang-barang di dalamnya langsung memanjakan mata. Jumlahnya ratusan. ” Tidak terhitung lagi,” kata Lessa. Ruparupa ukuran dan bentuknya.

Terdapat rak kayu di sisi kiri galeri. Rak yang terdiri atas empat bagian itu merupakan tempat memamerkan kreasi karya-karya berukuran kecil. Beberapa di antaranya berupa boneka jari dari tutup botol dan kain, hiasan meja dari susunan kepingan CD yang diwarnai, kalung dengan liontin dari botol bekas, tempelan magnet, dan masih banyak lagi jenisnya.

Di sisi kanan, kepingan CD dan potongan kardus yang diwarnai digantung pada dinding. Di pojok kanan juga terdapat beberapa jenis lampu hias dengan bentuk asimetris.

Lampu-lampu tersebut merupakan kreasi dari kardus susu dan sampul buku. ”Tidak terlihat ya,” kata Lessa. Kardus dan sampul buku dipotong sesuai keinginan. Setelah itu, dicat dan digabung menjadi lampu meja.

Lalu, di sampingnya terdapat jajaran botol kaca. Lessa melukis botol-botol itu. Dengan begitu, ia terlihat cantik sebagai hiasan. ”Bisa diletakkan di mana saja. Bisa di atas meja ruang tamu maupun kamar,” ungkap anak kedua di antara tiga bersaudara tersebut.

Sebagian botol itu bisa menyala. Sebab, Lessa menambahka­n lampu kecil di dalam botol kaca tersebut. Dia menghias badan botol dengan glitter dan potongan gambar seorang peri. Saat lampu dinyalakan, muncul bayangan peri dari dalam botol.

Pemandanga­n tak kalah menarik juga berasal dari atas meja di tengah ruang galeri. Terdapat sebuah gitar. Ia terbuat dari kaleng biskuit dan kayu yang tidak terpakai. “Kami beri senar. Jadi gitar. Bisa dimainkan,” ujarnya sambil mengambil gitar dan memainkan lagu. Ada juga kayu yang dikreasika­n oleh Lessa menjadi tongkat sihir seperti milik tokoh film Harry Potter.

Menurut Lessa, bentuk barangbara­ng itu dapat lebih beragam lagi. Lessa dkk masih menyimpan banyak ide menarik olahan barang bekas. ”Masih dalam proses yang banyak,” jelasnya.

Barang-barang itu memang sengaja dipamerkan di dalam rumah Lessa. Kalau ada orang yang berkunjung, Lessa dengan senang hati menunjukka­n galeri di samping ruang tamu tersebut.

Sambil mengajak masuk ke galeri, Lessa bakal menerangka­n detail proses pembuatan barangbara­ng tersebut. Dia menceritak­an wujud barang aslinya hingga langkah pembuatann­ya. Dengan demikian, ada pengetahua­n baru tentang olahan barang bekas kepada setiap tamunya.

Bagi Lessa, tidak semua barang bekas menjadi sampah. Ide kreatif dapat mengubah barang bekas menjadi sesuatu yang bernilai. Bisa pula menjadi hal yang menguntung­kan. ”Ada yang dijual. Itu pun kalau ada yang tertarik. Tapi, tidak semua barang,” jelasnya.

Tidak hanya saat di rumah, Lessa dkk juga giat memberikan pengetahua­n tentang upcycle kepada masyarakat luar. Misalnya, melalui bazar. Dia beberapa kali mengikuti bazar di Surabaya dan Jakarta. Mereka memamerkan karya-karya tersebut sambil memberikan penjelasan kepada siapa pun.

Lessa juga aktif memberikan pelatihan upcycle barang bekas. Dia paling banyak memberikan di sekolah. Itu memang disengaja. Lessa berusaha menanamkan pola pikir pentingnya menjaga lingkungan lewat upcycle sejak usia anak-anak.

Menurut dia, pola pikir anak dapat ditanamkan sejak dini dengan hal positif. Itu akan berkembang baik saat menginjak dewasa. Lebih dari itu, anak-anak juga dapat menyebarka­n pengaruh terhadap orang dewasa sekitarnya. ”Saat orang tua melihat anaknya bisa buat barang upcycle, pasti langsung ingin coba juga,” jelas Lessa.

Tentunya, perjuangan Lessa dkk tidak selalu mulus. Hingga saat ini, masih ada orang yang mencibir. Ada yang mengatakan kepada Lessa bahwa mimpinya bakal susah terwujud. Tidak sedikit pula yang mengejekny­a.

Meski begitu, tanggapan negatif tersebut belum mampu mematahkan semangatny­a. Lessa terus ingin berjuang dengan visinya melestarik­an lingkungan.

Tahun depan, dia berencana membuka Galeri The Heart Project lagi. Dengan suasana baru dan ukuran yang lebih besar. Di sana nanti orang bebas berkunjung. Tidak sekadar melihat hasil olahan limbah, tetapi mereka juga dapat belajar membuatnya. ”Saya buka workshop rutin nanti,” katanya. Semoga terwujud. (*/c6/dos)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia