Banyak Lubang yang Bisa Ditutupi
Cost Sharing Bukan Satu-satunya Jalan Kurangi Defisit BPJS Kesehatan
JAKARTA – Rencana BPJS Kesehatan yang memberlakukan cost sharing pada beberapa penyakit untuk mengurangi defisit seharusnya tidak perlu terjadi. Defisit pengganti Askes itu yang menggunung hingga Rp 9 triliun tidak semata-mata disebabkan oleh biaya berobat pasien penyakit katastropik yang mahal
Namun, juga banyak kebocoran di lembaga yang bertugas menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) itu.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, salah satu hal yang membuat BPJS Kesehatan tekor adalah kepatuhan peserta yang rendah dalam membayar iuran. Itu diperparah kenakalan rumah sakit mitra yang mengklaim melebihi yang seharusnya mereka dapatkan.
”Ada jutaan peserta yang nunggak. Pastinya hal itu membebani keuangan BPJS Kesehatan,” kata Timboel.
Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat membenarkan bahwa ada 10 juta peserta yang menunggak. Mayoritas penunggak adalah peserta bukan penerima upah (PBPU). Mereka adalah peserta yang bekerja pada sektor informal.
Namun, Timboel menambahkan, bukan hanya PBPU yang memberatkan keuangan BPJS Kesehatan. Terlalu rendahnya besaran iuran yang dibayarkan pemerintah juga jadi biang masalah. Sebagai gambaran, penerima bantuan iuran (PBI) seharusnya membayar Rp 36 ribu per bulan. ”Namun, pemerintah hanya membayar Rp 23 ribu,” ungkap Timboel.
Karena penerima PBI sangat banyak, defisit dari perbedaan iuran yang dibayarkan pemerintah dengan yang seharusnya dibayarkan itu juga sangat besar.
BPJS Kesehatan juga dinilai belum mampu menggarap potensi iuran besar dari pekerja penerima upah (PPU). Menurut data yang diberikan Timboel, pekerja formal swasta yang ikut BPJS Kesehatan hanya 10,9 juta orang per September 2017. ”Padahal, pekerja formal swasta kita menurut Badan Pusat Statistik ada 40 juta,” terangnya.
”Kalau baca laporan keuangan Dana Jaminan Sosial BPJS Kesehatan per 30 Juni 2017, iuran dari PPU swasta sebesar Rp 10,58 triliun. Nah, kalau dalam dua semester, bisa mencapai Rp 20 triliun,” katanya.
Dia menambahkan, jika BPJS Kesehatan mampu menggaet PPU dari sektor swasta menjadi 20 juta orang, potensi iuran dalam setahun bisa mencapai Rp 40 triliun. ”Ini kan angka yang sangat besar untuk menutup defisit BPJS Kesehatan,” imbuhnya.
BPJS Kesehatan juga masih punya pekerjaan rumah. Yakni, membereskan tunggakan PPU. Timboel membeberkan, tunggakan PPU swasta sebesar Rp 624,9 miliar per 30 Juni lalu.
Timboel juga mendorong BPJS Kesehatan mengatasi kemungkinan fraud yang bisa dilakukan rumah sakit mitra. ”Banyak dugaan fraud (kecurangan, Red) klaim yang diajukan RS sehingga biaya klaim INA-CBGs semakin besar. Per 30 Juni 2017 saja, biaya INA-CBGs mencapai Rp 34 triliun dari total iuran yang diterima per 30 Juni 2017 sebesar Rp 35 triliun,” katanya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, BPJS menjadi sorotan setelah mengungkapkan rencana untuk mengurangi manfaat dalam rapat dengan DPR pekan lalu. Pengurangan manfaat itu berupa cost sharing untuk delapan penyakit katastropik yang dianggap membutuhkan biaya sangat tinggi dalam proses pengobatan. Yaitu, penyakit jantung, kanker, gagal ginjal, stroke, talasemia, sirosis, leukemia, dan hemofilia. Rencana tersebut dianggap mengingkari tugas dan fungsi BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara JKN yang menjamin kesehatan semua rakyat Indonesia dari golongan ekonomi apa pun. (lyn/c6/ang)