Ikuti Tren, Sesuaikan Kantong Mahasiswa
Tidak ada batasan umur untuk memulai sebuah usaha. Tiga kakak beradik ini, misalnya, menekuni usaha sejak duduk di bangku kuliah. Berani dan tidak takut risiko menjadi modal awal.
PERJALANAN tiga bersaudara, Arifitra Yudha Prasetyo, Meldy Muzada Ella Prasetyo, dan Nadia Prasetyo, berwirausaha dimulai pada 2013. Saat itu, Nadia dan Meldy menjadi reseller barang-barang seperti case handphone, hijab, dan baju. Barang-barang tersebut diambil dari supplier di Tanah Abang dan Bandung.
”Awalnya, pada 2013, saya dan kakak saya, Meldy, masih duduk di bangku kuliah. Kami terpikir untuk menjadi reseller karena ingin menambah uang jajan. Tetapi, masih usaha asalasalan saja waktu itu,” cerita Nadia.
Besarnya peluang pasar membuat Nadia dan Meldy lebih serius menjalankan usaha. Pada 2015, mereka mulai produksi sendiri. Jalur fashion dipilih lantaran baju merupakan barang yang paling dicari konsumen. Brand fashion yang digunakan adalah Giyomi. Giyomi berasal dari bahasa Korea, gwiyomi, yang artinya cute atau lucu.
”Ide produksi fashion tebersit saat kami menjadi reseller, yang laris justru baju. Selain itu, kami lihat anak kuliahan lebih suka memakai kemeja untuk dipakai saat kuliah maupun acara formal,” katanya. Setahun berselang, kakak sulung mereka, Yudha, ikut berfokus membangun Giyomi.
Yudha menyatakan, desain Giyomi selalu dikerjakan bersama Meldy dan Nadia. ”Kami saling tukar pikiran. Kami sebenarnya tidak punya background desain,” jelasnya. ”Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, Giyomi sekarang punya desainer sendiri dan ilustrator,” imbuhnya.
Giyomi mendapatkan suplai kain dari pabrik di Bandung dan Jakarta. Kemudian, kain dijahitkan melalui vendor di Surabaya, Bandung, Probolinggo, Pasuruan, dan Gempol. Yudha, Meldy, dan Nadia benar-benar menjaga kualitas. ”Kami selalu memperhatikan jahitan sampai jenis kancingnya dengan detail. Jadi, hal sekecil apa pun harus diperhatikan agar konsumen puas,” tutur Nadia.
Yudha dan Nadia mengakui bahwa keunggulan yang ditonjolkan pada produk Giyomi adalah selalu mengikuti tren. Referensinya adalah brandbrand internasional dan lokal. Di antaranya, Zara, Pull and Bear, Stradivarius, dan brand lokal Cotton Ink. ”Dari brand-brand besar tersebut, kami break down dan disesuaikan dengan pasar serta kebutuhan konsumen kami,” ucap Yudha.
Giyomi memiliki prinsip menyajikan produk berkualitas Zara dengan harga yang sesuai dengan kantong anak kuliah. Ciri khas lainnya, produk Giyomi tersedia dalam semua ukuran. Mulai XS sampai 4L. Diharapkan, semua orang bisa fashionable dengan memakai Giyomi.
Giyomi tidak hanya memproduksi kemeja. Ada juga blouse, jogger pants, celana, gamis, dan rok. Sebanyak 90 persen segmentasi mereka adalah perempuan. Kini, dalam sebulan, produk Giyomi terjual 3–4 ribu pieces. ”Bulan kemarin malah terjual sampai 5.100 pieces,” papar Yudha. Harga jual produk Giyomi mulai Rp 100–200 ribu.
Nadia menambahkan, pemasaran Giyomi tersebar ke seluruh Indonesia. Sebab, Giyomi menggunakan media sosial Instagram sebagai sarana promosi. Bulan ini Giyomi juga merilis website. Dengan demikian, transaksi bisa langsung dilakukan lewat website.
Selama ini, permintaan terbesar berasal dari Sidoarjo, Surabaya, Malang, Bandung, Tangerang, Papua, dan Aceh. Ada juga dari Malaysia dan Brunei Darussalam. ”Toko offline- nya baru satu di Surabaya. Bulan depan kami berencana buka di Malang. Kami juga ingin memperbanyak offline untuk lebih memperkuat branding Giyomi,” ungkap perempuan alumnus Manajemen Unair itu. Event-event bazar juga kerap diikuti untuk lebih memperkenalkan Giyomi.
Giyomi juga dipasarkan melalui endorse foto di Instagram. ” Basic usaha kami adalah online. Jadi, salah satu aset terbesar kami adalah kualitas foto dan video agar orang tertarik,” ujarnya. Giyomi pernah melakukan campaign ke Singapura. ”Itu dilakukan untuk menunjukkan bahwa produk Giyomi kalau difoto di luar negeri juga tidak kalah dengan brand luar,” tandas Yudha. (Charina Marietasari/c16/fal)