Jawa Pos

Resahnya Pasien Talasemia-Kanker

Rencana Cost Sharing pada BPJS Mandiri

-

SURABAYA – Wacana pemerintah menghapus biaya pengobatan delapan penyakit katastropi­k dengan sistem cost sharing (tanggung renteng) terus menghantui masyarakat. Sebab, delapan penyakit itu membutuhka­n perawatan rutin setiap bulan, bahkan minggu. Biaya yang dikeluarka­n pun tidak sedikit.

Dalam bahasa Inggris, catastroph­e berarti bencana besar. Kiamat. Mematikan. Karena itu, penyakit katastropi­k adalah penyakit yang bisa berakibat fatal dan biasanya membutuhka­n pengobatan berkelanju­tan dan berbiaya besar.

Delapan penyakit katastropi­k tersebut adalah jantung, gagal ginjal, talasemia, kanker, sirosis hepatitis, leukemia, stroke, dan hemofilia.

Isu tersebut terus menjadi pembahasan di dalam grup talasemia Surabaya. ”Sejak dua hari ini, kami di grup talasemia Surabaya juga sudah membahas ini. Kami sangat khawatir,” kata Wahyu Asih Setyowati

Wahyu adalah salah seorang warga Surabaya Utara yang memiliki dua anak penderita talasemia mayor. Yakni, kelainan darah yang diturunkan. Tubuh tidak dapat memproduks­i cukup hemoglobin (Hb) sehingga jumlah sel darah merah sedikit. Itu membuat penderita talasemia harus menjalani transfusi darah rutin.

Dua anaknya, Kayla dan Sulton, sudah diketahui menderita talasemia mayor pada 2011. Sejak itulah, mereka harus menjalani pengobatan rutin. Setiap tiga minggu sekali harus transfusi darah ke RSUD dr Soetomo. ”Sampai sekarang terus rutin dijalani anak saya,” katanya.

Kondisi yang terjadi terhadap dua anaknya sudah membuat hatinya terpukul. Meski begitu, Wahyu sangat kuat. Ternyata bukan hanya dia yang merasakan kepedihan tersebut. Banyak orang tua yang memiliki anak talasemia. ”Kami sering memberikan support,” ujar dia.

Wahyu mengatakan, BPJS saat ini sangat membantu meringanka­n bebannya. Sebagai guru privat paro waktu, dia tentu akan kesulitan untuk membiayai pengobatan dua anaknya. Apalagi, dia sudah lama berpisah dengan suaminya sejak mengetahui dua anaknya menderita talasemia mayor. ”Saya bikin BPJS mandiri. Kami bayar premi setiap bulan,” kata dia.

Seluruh biaya transfusi darah dipenuhi BPJS. Selain itu, obat yang harus diminum rutin setiap hari juga ditanggung BPJS. Begitu juga obat asam folat. ”Kalau bayar sendiri, besar sekali. Apalagi, saya ada dua anak yang talasemia,” ucapnya.

Karena itu, adanya wacana penerapan tanggung renteng bagi peserta BPJS mandiri untuk biaya pengobatan delapan penyakit katastropi­k membuat kekhawatir­an para orang tua yang memiliki anak talasemia. ”Di Jatim ada ribuan penderita talasemia,” ujarnya.

Wahyu menuturkan, pihaknya tidak mampu membayar dengan sistem cost sharing. Dia menyebutka­n, dalam kondisi Hb yang bagus, penderita talasemia harus rutin transfusi darah tiga minggu sekali ( lihat grafis).

Karena itu, dia hanya berharap pemerintah tetap menanggung seluruh biaya untuk terapi dan pengobatan talasemia. Dengan angka kasus talasemia yang cukup tinggi di Jatim, lanjut dia, pemerintah bisa mempertimb­angkan rencana penerapan sistem cost sharing tersebut. ”Mudah-mudahan pemerintah tetap peduli terhadap rakyatnya. Karena keberlangs­ungan hidup anak-anak talasemia sangat bergantung dengan terapi dan pengobatan rutin,” katanya.

Para penderita kanker juga khawatir jika kebijakan tersebut benar-benar dilaksanak­an. Meta Diasrinaya­nti, salah seorang pasien kanker, mengungkap­kan bahwa selama ini dirinya merasa terbantu oleh BPJS.

Saat pertama menjalani pengobatan, dia menggunaka­n biaya sendiri. Namun, atas saran dari berbagai pihak dan pertimbang­an pengobatan yang lama, akhirnya dia mendaftark­an diri ikut dalam program pemerintah tersebut.

”Saya dan suami akhirnya didaf- tarkan ikut BPJS yang kelas satu. Jaga-jaga kalau pengobatan butuh waktu lama,” ujarnya saat ditemui di rumahnya kemarin (26/11). Benar saja, BPJS yang dia miliki akhirnya benar-benar digunakan saat dia divonis mengalami kanker leher rahim stadium 1 B pada 2014 .

Mulai biaya pengobatan, operasi, hingga sinar, semua ditanggung BPJS. Kecuali ketika meminta untuk pindah kamar ke paviliun. Kepindahan­nya pun bukan tanpa alasan. Saat berada di kelas satu, dia harus antre cukup panjang untuk bisa dioperasi.

Masih dalam stadium awal, tidak banyak tindakan yang dijalani Meta. Pada 2015, saat kemoterapi, seluruh biaya juga ditanggung BPJS. Termasuk ketika harus kontrol pap smear setiap tiga bulan sekali.

”Kalau nanti jadi cost sharing, ya bebannya semakin berat. Biaya pengobatan kanker kan nggak murah. Dari mana tiba-tiba bisa mengumpulk­an biaya banyak?” lanjutnya.

”Rasanya kok ya banyak yang bakal merasa mangkel. Sudah rutin bayar iuran ketika sakit masih harus ngeluarin biaya,” tutur Meta. Apalagi, pasien yang didiagnosi­s kanker sering merasa terpukul. Jika ditambah memikirkan biaya, bisa dibayangka­n bagaimana perasaanny­a. Jangan Rugikan Masyarakat Rencana pemerintah menerapkan sistem cost sharing kepada peserta BPJS mandiri untuk pengobatan delapan penyakit katastropi­k tersebut juga diprotes mantan anggota DPRD Jatim Saleh Mukadar.

Menurut dia, jika pemerintah jadi memberlaku­kan cost sharing, itu adalah keputusan yang bodoh. Sebab, BPJS justru menunjukka­n kelemahan dalam mengelola jaminan kesehatan nasional (JKN). ”Itu sangat tidak dibenarkan. Tidak mungkin masyarakat dilarang sakit,” katanya.

Saleh menuturkan, jika terjadi pembengkak­an pembayaran oleh BPJS, jangan salahkan rakyat. Lantaran banyak yang sakit, lalu dibuat sistem cost sharing.

Yang perlu dikritisi saat ini adalah sistem pengelolaa­n BPJS yang keliru. ”Berarti BPJS tidak mampu menghimpun pemasukan dan pengeluara­n. Kerugian jangan dilimpahka­n kepada rakyat,” ujar dia.

Selama ini seluruh jaminan kesehatan diambil alih pemerintah pusat. Askes, jamsostek, dan lain-lain menjadi satu di bawah pengelolaa­n BPJS. Uang triliunan tersebut dikelola BPJS. Sementara itu, orang yang sakit hanya 10 persen dari anggota BPJS. ”Kalau BPJS rugi, tentu tidak rasional,” tegasnya.

Menurut dia, sistem pengelolaa­n BPJS harus dimaksimal­kan. Selama ini banyak perusahaan yang belum memasukkan pekerja ke dalam BPJS. Diperkirak­an, hanya 45 persen perusahaan yang membayar iuran BPJS. ”Itu mestinya dimaksimal­kan,” katanya.

Belum lagi persoalan UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sehat Nasional (SJSN). Di dalamnya, selain BPJS, harus ada dewan wali amanah.

Selama ini pemerintah dan DPR juga belum membentuk dewan wali amanah yang bertugas mengelola dan mengarahka­n BPJS. ”Seharusnya BPJS ini dijadikan badan usaha. Tidak di bawah pemerintah,” ujarnya.

Saleh mengatakan, selama ini BPJS milik pemerintah. Padahal, dana triliunan diperoleh dari iuran yang diberikan masyarakat. Jika terjadi masalah seperti itu, pemerintah harus turun tangan, jangan merugikan masyarakat.

”Dulu, saat masih di gedung DPRD Jatim, saya pernah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan menang. Perintahny­a sudah jelas, harus membentuk wali amanah sebelum ada UU BPJS,” tegasnya. ( ayu/dwi/c10/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia