Jawa Pos

Terkenang Pertanyaan tentang Memitoskan Guru

Kontingen Indonesia kian menunjukka­n eksistensi­nya di kancah internasio­nal. Michelle Adelina Prajitno, Callista Alexandra Walla, dan Josephine Davina Kairupan, misalnya. Mereka berprestas­i dalam kompetisi debat World Scholar’s Cup 2017 di Yale University,

-

MEDALI dengan kalung berwarna merah hati masih terbungkus rapi dalam kantong plastik kedap udara. Di situ ada tulisan World Scholar’s Cup 2017 dan Tournament of Champions.

Pemilik medali itu adalah Michelle Adelina Prajitno, Callista Alexandra Walla, dan Josephine Davina Kairupan. Mereka memang baru mengikuti event tersebut pada 9–14 November di Yale University, Ame ri ka Serikat.

Michelle dan Callista merupakan siswi kelas VIII Singapore National Academy (SNA). Sementara itu, Josephine adalah siswa Sekolah Lentera Indonesia, Jakarta.

Bersama-sama, mereka berhasil meraih hasil yang memuaskan dalam event yang diikuti peserta dari 50 negara tersebut. Anakanak itu meraih peringkat ke-97 dari 400 tim yang bertanding. Ingat, itu kompetisi kelas dunia. Pesertanya datang dari seluruh penjuru jagat.

Dalam kompetisi tersebut, ada enam tim yang berangkat dari SNA. Perinciann­ya, satu tim senior dan lima tim junior. Tim Michelle termasuk tim junior. Ketiganya masih berusia 13 tahun.

Kenapa mereka berlomba? Para siswa kelas VIII itu memiliki jawaban yang berbeda. ’’Karena tidak ada matematika­nya,’’ kata Callista dengan cepat

Dalam pawai itu, peserta mengenakan kaus putih dengan gambar lingkaran merah berlogo telapak tangan warna-warni. Pawai yang didukung Kementeria­n Pemberdaya­an Perempuan dan Perlindung­an Anak (KPPPA) tersebut ingin mengajak masyarakat untuk sadar soal risiko dan tingginya perkawinan anak di Indonesia.

Sejak pukul 06.00, peserta berkumpul di Taman Bungkul. Diiringi musik patrol, peserta berjalan di sepanjang Jalan Darmo. Selama pawai, mereka juga membagikan selebaran soal perkawinan usia anak.

Wiwik Afifah, sekretaris KPI Jawa Timur, mengatakan, pawai tersebut merupakan sarana edukasi bagi masyarakat. Selama ini masyarakat tak acuh ketika melihat perkawinan anak terjadi. ”Padahal, perkawinan anak merampas hak anak. Apalagi, yang paling banyak jadi korban adalah perempuan,” katanya.

Setelah pawai, semua peserta melakukan pembacaan deklarasi yang isinya menuntut pemerintah mau merevisi aturan soal usia perkawinan. ”Perkawinan anak melanggeng­kan perempuan dan anak-anak hidup dalam lingkaran kemiskinan serta meningkatk­an kerentanan,” begitu bunyi salah satu deklarasi yang diucapkan para partisipan.

Deklarasi dan gerakan stop perkawinan anak akan digelar di lima provinsi. Yakni, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. ”Jawa Timur adalah provinsi ketiga yang menyatakan deklarasi dan gerakan stop perkawinan anak,” ujar Wiwik.

Perkawinan anak memang memprihati­nkan. Menurut United Nations Children’s Fund (Unicef), Indonesia menempati peringkat tujuh sebagai negara dengan angka perkawinan usia anak tertinggi di dunia. Sementara itu, pada tingkat Asia, Indonesia berada di posisi kedua setelah Kamboja. Di Indonesia, saban tahun ada 340.000 ribu pasangan baru yang nikah di usia anak.

Saat ini ada dua aturan yang mengatur soal usia pernikahan. Aturan pertama berdasar UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal tujuh disebutkan, pria baru boleh menikah saat usia mencapai 19 tahun dan perempuan usia 16 tahun. Sementara itu, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merekomend­asikan usia perkawinan bagi perempuan adalah 21 tahun dan laki-laki 25 tahun.

Peraturan tersebut bertentang­an dengan UU perlindung­an anak yang menyebutka­n bahwa usia anak dihitung hingga usia 18 tahun. Artinya, saat masuk usia menikah, perempuan dianggap masih di bawah umur.

Jawa Timur menempati urutan ke-13 perkawinan usia anak. Sebab, tiap tahun tercatat 5.000 kasus perkawinan usia anak. Namun, angka itu adalah yang tercatat di pengadilan agama, belum yang melakukan nikah di balik tangan atau siri.

Faktor budaya dan ekonomi merupakan alasan paling besar yang mengakibat­kan perkawinan usia anak. Apalagi, pergaulan bebas di kalangan remaja saat ini juga tinggi.

Perkawinan anak punya banyak risiko medis maupun psikis. Pada usia tersebut, organ reproduksi masih belum matang betul. Berdasar penelitian World Health Organizati­on (WHO) yang dilakukan di Mexico dan Indonesia, organ reproduksi perempuan baru matang benar pada usia 20–24 tahun.

Jika perkawinan dipaksakan, akan timbul risiko baru bagi ibu dan anak. Kondisi tersebut membuat ibu dan anak rentan kehilangan nyawa saat proses kelahiran. (gal/c25/dos)

 ?? DOK. MICHELLE ADELINA ??
DOK. MICHELLE ADELINA
 ?? AHMAD KHUSAINI / JAWA POS ?? KAMPANYE DEMI ANAK: Pawai yang digagas Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) di Taman Bungkul kemarin.
AHMAD KHUSAINI / JAWA POS KAMPANYE DEMI ANAK: Pawai yang digagas Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) di Taman Bungkul kemarin.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia