Jawa Pos

Berharap Ada Pembatasan Umur

-

SURABAYA – Anak timang prestasi, bukan timang bayi. Tulisan itu muncul pada salah satu pamflet peserta pawai gerakan stop perkawinan anak di car free day (CFD) Taman Bungkul kemarin. Aksi tersebut digagas Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) karena keprihatin­an maraknya perkawinan anak di Jatim

Meski diucapkan dengan nada serius, kalimat tersebut membuat orang di sekitarnya tertawa keheranan.

’’Kalau aku, karena ini baru pertama. Jadi ingin cari pengalaman,’’ ucap Michelle. Putri pasangan Novi Soenario dan Khendy Irawan Prajitno itu memang gemar mencoba hal baru. Di sisi lain, Callista mengikuti kompetisi serupa sejak kelas V.

Kompetisi tersebut memiliki keunikan tersendiri. Yakni, para peserta dalam satu tim tidak melulu berasal dari satu sekolah. Contohnya, tim Michelle dan Callista. Di situ ada Josephine, putri pasangan Helen Natania dan David Kairupan, yang berasal dari Jakarta. Sebelumnya, mereka berkenalan melalui Facebook.

’’Ada satu teman kami yang nggak bisa ikut turnamen ke Yale. Kebetulan teman satu tim Josephine juga tidak ikut. Jadi, kami gabung,’’ terang Michelle.

Gadis kelahiran 26 Maret 2004 itu melanjutka­n, mereka mendapat tawaran berlomba dari guru di sekolah. Mereka lantas dibimbing secara intens oleh Eliysha Saputra, guru SNA. Pada Mei, mereka mengikuti seleksi tingkat regional di Sekolah Ciputra Surabaya. Berhasil lolos, mereka pun berangkat ke Hanoi pada Juni.

Di ibu kota Vietnam tersebut, ada seribu tim yang bertanding. Lalu, 400 tim terbaik dikirim ke Amerika Serikat untuk mengikuti Tournament of Champions. Kejuaraan para juara!

Untuk mempersiap­kan diri, Michelle dan kawan-kawan mempelajar­i materi yang diberikan dalam website Scholar’s Cup. Ada enam materi yang harus dipelajari. Yakni, special area (pokok bahasa khusus) yang berkaitan dengan mitos-mitos serta science and technology (ilmu pengetahua­n dan teknologi), khususnya yang berkaitan dengan roket.

Ada pula materi history (sejarah), terutama yang berhubunga­n dengan konspirasi. Materi berikutnya adalah literature (sastra), khususnya analisis puisi yang tidak umum. Selain itu, ada art and music (seni dan musik) serta social studies (kajian sosial).

Para peserta pun harus mempelajar­i ekonomi, statistik, serta tokoh yang bisa meramalkan masa depan. ’’ Tema besarnya unlikely world,’’ imbuh Callista, putri pasangan Diana Soetrisno dan Ronald Walla.

Selain latihan setiap Jumat di sekolah, mereka belajar sendiri di rumah. Dokumen dari guru dikumpulka­n. Kemudian, mereka melakukan riset sendiri melalui buku dan internet. Total ada 220 halaman yang berhasil mereka kumpulkan. Itu saja belum komplet. Sisanya, mereka melakukan pengembang­an sendiri-sendiri.

Meski harus mempelajar­i banyak materi dan topik, tiga siswi tersebut tidak merasa keberatan. Sebab, yang dipelajari adalah hal baru dan tidak ada di pelajaran sekolah. Bahkan, jauh sekali dari materi yang diajarkan di sekolah. Semakin banyak tahu, mereka makin bersemanga­t melakukan riset.

Dalam kompetisi di Yale University, mereka tidak melulu menjalani tanding debat antartim. Ada pula lomba mengarang. Mereka bisa memilih satu topik yang disukai. Peserta dalam satu tim tidak boleh memilih topik yang sama.

Dengan topik yang telah dipilih, mereka boleh setuju atau tidak dengan isinya. Kemudian, mereka menuliskan argumen yang memperkuat pandangann­ya. Setelah selesai, rekan satu tim akan saling mengomenta­ri.

Ada pula sesi scholar’s bowl yang dijalani bersama rekan setim. Mereka harus memilih jawaban yang benar dengan mengeklik tombol jawaban. Selain itu, ada scholar’s challenge yang berupa pertanyaan dengan lebih dari satu jawaban.

Seluruh anggota dalam satu tim harus aktif. Tidak ada yang paling banyak diam atau paling banyak bicara. Semua harus seimbang dan rata dalam debat. Karena itu, ada pembagian. Orang pertama bertindak sebagai penyampai ide dan pendapat. Kemudian, orang kedua berperan menambah dan memperkuat ide. Sementara itu, orang ketiga bertugas merangkum dan meyakinkan juri bahwa jawaban yang dipilih timnya sesuai dan masuk akal.

Dalam pertanding­an tersebut, Michelle bertindak sebagai orang pertama. Josephine adalah orang kedua dan Callista bertugas sebagai orang ketiga. Meski demikian, dari sekian banyak pertanyaan, ada satu yang paling diingat para siswi itu. Sebab, isinya sangat tidak masuk akal menurut mereka. Yakni, tentang siswa yang memitoskan gurunya.

Tidak ada definisi yang pasti dari kalimat tersebut. Karena itu, tim yang bertanding harus mengartika­n sendiri dan membangun argumen untuk memperkuat pendapat. ’’ Tim kami dapat bagian yang setuju,’’ lanjut Callista.

Akhirnya, mereka menetapkan pendapat bahwa arti memitoskan sama seperti mengidolak­an. Mereka berargumen bahwa guru adalah sosok pengajar yang memberi ilmu. Karena itu, siswa harus meneladani­nya.

Sementara itu, tim lawan berpendapa­t bahwa memitoskan guru merupakan hal yang berlebihan. Adu ide dan pendapat pun terjadi. Meski demikian, menurut aturan dalam kompetisi tersebut, setiap tim tidak boleh menyerang langsung tim lawan. Agar memenangi pertanding­an, mereka harus bisa menyampaik­an ide yang lebih baik dan lebih kuat.

Sebenarnya, bukan hanya itu pertanyaan yang paling aneh menurut mereka. Salah satunya pada sesi scholar’s bowl. Pertanyaan­nya adalah binatang apa yang hampir mungkin kalian jumpai setelah meninggal.

Pertanyaan tersebut cukup membingung­kan. Ditambah, lima pilihan jawaban disediakan dalam bentuk gambar yang masih berwarna putih. Jadi, tidak terlihat jelas hewan apa yang ditampilka­n dalam pilihan jawaban itu.

Anak-anak tersebut pun makin deg-degan. Apalagi, mereka telanjur mempertaru­hkan 1.500 poin. Kalau sampai salah pilih, nilai mereka bisa dikurangi. Dengan sedikit gambling, mereka memilih jawaban D. Dan, gambar yang tadinya putih berubah menjadi lebih jelas.

Ternyata, jawaban pada pilihan D adalah Cerberus. Anjing berkepala tiga peliharaan Dewa Hades dalam mitologi Yunani. Jawabannya pun tepat. Poin 1.500 berhasil mereka dapatkan. ’’Kami bisa jawab karena suka baca Percy Jackson (kisah tentang keturunan dewa-dewa Yunani karangan Rick Riordan, Red),’’ ungkap Callista yang gemar membaca dan menggambar. Ya, kebiasaann­ya membaca buku-buku fiksi sangat berguna dalam kompetisi itu.

Meski mengandung banyak materi dan topik, tiga siswi tersebut menganggap bahwa kompetisi itu sebenarnya sangat menyenangk­an. Mereka tidak terus-menerus serius memikirkan materi lomba, tetapi juga masih berkesempa­tan untuk berkenalan dengan teman baru dari berbagai negara. Apalagi, setelah lomba, diadakan acara cultural fair untuk lebih mengenal budaya masing-masing.

’’Tapi, sebenarnya ini yang paling memotivasi buat ikut lomba,’’ tutur mereka sambil menunjuk gambar alpaka. Binatang unik yang termasuk keluarga unta tersebut memang menjadi maskot World Scholar’s Cup. Peserta yang berhasil masuk Tournament of Champions mendapat boneka alpaka seukuran anjing Rottweiler dewasa. ’’Ini sampai bikin bingung petugas bandara. Setiap tahun, pasti ada anak yang bawa-bawa boneka ini masuk bandara,’’ ucapnya. (*/c18/dos)

 ?? DOK. MICHELLE ADELINA ?? WAKIL SURABAYA: Tim Singapore National Academy (SNA) yang masuk babak Tournament of Champions.
DOK. MICHELLE ADELINA WAKIL SURABAYA: Tim Singapore National Academy (SNA) yang masuk babak Tournament of Champions.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia