Jawa Pos

Terorisme di Sinai dan Kegagalan Mesir

-

AKSI terorisme kembali terjadi di wilayah Provinsi Sinai, Mesir. Tapi, serangan kali ini berbeda. Sebelumnya korban aksi terorisme di daerah tersebut adalah para perwira, tamtama, atau paramilite­r Mesir. Jika bukan itu, kelompokke­lompok minoritas seperti Kristen Koptik yang jadi sasaran.

Kali ini sasaran aksi teroris adalah jamaah salat Jumat di masjid yang dikenal sebagai simpul kelompok sufi Jaririyah Ahmadiyah. Sebuah kelompok sufi yang mengakar kuat di daerah pedesaan dan gurun di provinsi tersebut. Korban serangan brutal itu sangat besar, mencapai 305 orang tewas. Sekitar tiga perempat dari jamaah salat Jumat itu meninggal dan sisanya terluka. Mengingat jumlah penduduk Desa Al Rawdha, Bi’rul ’Abd, sangat sedikit, masuk akal pula ketika ada yang menyebut tragedi itu sebagai sebuah genosida.

Daerah Al Arish dan sekitarnya di Sinai merupakan tempat tumbuhnya gerakan-gerakan ekstrem. Mulai kelompok-kelompok ekstremis lokal, ”nasional”, hingga transnasio­nal seperti ISIS (Tandzim Al Dawlah) atau Al Qaeda (Tandzim Al Qaedah). Kelompok yang berafilias­i ke ISIS sesungguhn­ya tumbuh karena persoalan lokal dan nasional; atau bilateral tapi kemudian tertarik untuk berbaiat kepada pimpinan ISIS di Mosul.

Kelompok itu dahulu bernama Anshar Baitl Maqdis yang kemudian bermetamor­fosis menjadi ISIS Provinsi Sinai. Sedangkan yang berafilias­i ke Al Qaeda adalah Brigader Abdullah Azzam dan Tawhid Al Jihad. Masih banyak kelompok ekstrem lain di tempat tersebut yang mengusung isu dan agenda yang beragam.

Mengapa militer Mesir gagal mengontrol keamanan Sinai? Mengapa mereka dengan jumlah sekitar 50.000 personel itu tak mampu mencegah terjadinya gelombang terorisme yang semakin brutal, khususnya di masjid tarekat sufi tersebut? Bahkan, militer dan aparat keamanan di wilayah itu justru sering jadi korban. Khusus di Masjid Al Rawdah itu, anasir ISIS telah beberapa kali memperinga­tkan penduduk desa untuk tidak berkolabor­asi dengan pihak keamanan Mesir dan segera meninggalk­an praktik-praktik sufisme, termasuk peringatan Maulid Nabi yang dilaksanak­an Kamis malam, sehari sebelum kejadian, di masjid tersebut. Sebab, itu semua dianggap bidah dan bertentang­an dengan ajaran Islam yang benar.

Dengan informasi tersebut, pihak keamanan Mesir seharusnya lebih sigap dalam mencegah kemungkina­n terjadinya aksi terorisme di desa yang berada di jalur jalan besar antara Al Arish dan Bi’r Al Abd ini. Seandainya in- telijen Mesir bekerja dengan baik, tragedi mengerikan itu seharusnya bisa dicegah. Tak Komprehens­if Ahmad Salim, seorang pengamat Mesir asal Kota Arish, menyebut kegagalan aparat keamanan mencegah gelombang terorisme di Sinai sebagai akibat logis dari karakter rezim Mesir saat ini. Juga karena pendekatan­nya yang militerist­is dalam penyelesai­an masalah Sinai. Sebagaiman­a dimaklumi, karakter rezim di bawah pimpinan Jenderal Al Sisi adalah militer, kendati pemerintah­an ini juga menjalanka­n proses pemilu sebagai ”ritual” demokrasi. Karena itu, kebebasan berpendapa­t dan berbicara menjadi barang sangat mahal di negeri tersebut. Padahal, kesadaran masyarakat Mesir akan hak-hak mereka untuk menentukan nasib sendiri sangat tinggi. Itu terbuk- ti dengan kemampuan rakyat Mesir menumbangk­an rezim Mubarak yang berkuasa sekitar tiga dekade melalui gerakan rakyat.

Sistem pemerintah­an militerist­is di Mesir tidak hanya membungkam oposisi. Tapi juga membungkam masyarakat, termasuk kekuatan-kekuatan sipil dan kebebasan media massa. Khusus di Sinai, situasinya lebih keras daripada suasana di Mesir secara umum. Sebab, status daerah itu adalah kawasan perang. Militerism­e di kawasan Sinai jauh lebih represif daripada di kawasan-kawasan lain di Mesir. Kawasan tersebut dikabarkan harus steril dari para jurnalis dan para pekerja di organisasi internasio­nal karena itu dianggap kawasan perang.

Akibatnya, solusi yang dikembangk­an pemerintah­an tersebut terhadap masalah Sinai juga militerist­is. Padahal, persoalan Sinai sangat kompleks. Baik itu masalah ekonomi, ketidakadi­lan, sangat rendahnya tingkat kesejahter­aan, maupun sosial. Namun, cara yang digunakan untuk penyelesai­an Sinai bukan melalui pendekatan yang komprehens­if, tapi justru militerist­is. Militer Mesir cenderung melakukan hukuman kolektif setiap terjadi aksi kekerasan di kawasan tersebut. Aksi penggusura­n yang disertai pembongkar­an tempat tinggal sering kali diambil untuk menghadapi aksi kekerasan yang melibatkan segelintir warga. Padahal, kebanyakan warga tidak terlibat.

Bisa dibayangka­n, daerah yang jumlah pendudukny­a tak seberapa itu harus menerima kehadiran sekitar 50.000 personel militer, sebagian bersenjata berat. Sementara kelompok-kelompok bersenjata juga tersebar di daerah tersebut, bahkan sebagian menyusup ke dalam penduduk-penduduk desa. Dengan sikap represif militer Mesir dan situasi sulit yang dihadapi masyarakat Sinai, tak mengherank­an jika para pemudanya yang frustrasi dengan keadaan memilih bergabung dengan kelompok-kelompok ekstremis.

Bisa jadi itu bukan pilihan mereka. Keadaanlah yang kemudian memaksa mereka mencari solusi atas persoalan kompleks yang mereka hadapi. Dan kelompokke­lompok ekstrem tersebut menawarkan solusi yang jelas kepada mereka, yaitu mengangkat senjata. Karena itu, selama pendekatan militer adalah satu-satunya jalan yang diandalkan sebagai solusi, sementara kesejahter­aan dan keadilan untuk mereka tak diberikan, persoalan ekstremis di Sinai akan sangat sulit diselesaik­an. (*) *) Pemerhati Timur Tengah dan dunia Islam, dosen Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia