Jawa Pos

Tunggak Klaim di Lima RS

BPJS Tidak Boleh Pilah-Pilah Penyakit

-

SURABAYA – Gubernur Jatim Soekarwo sangat menyayangk­an adanya wacana sistem cost sharing (tanggung renteng) bagi peserta BPJS mandiri untuk delapan penyakit katastropi­k. Sebab, masyarakat wajib mendapatka­n perlindung­an kesehatan ( health care). Khususnya penyakit yang membutuhka­n perawatan rutin berbiaya tinggi.

Namanya health care ya harus semua diurus. Tidak bisa dipilah-pilah,’’ ujarnya. Terlebih, delapan jenis penyakit katastropi­k yang ditentukan tersebut membutuhka­n penanganan yang rutin. Terapi dan obat yang dilakukan tidak hanya sekali.

Bayangkan saja, orang sakit gagal ginjal bisa membuat orang yang tadinya mampu jadi miskin,’’ tuturnya

Karena itu, menurut dia, masalah defisit yang dimaksud BPJS harus diselesaik­an dengan sistem pengelolaa­n keuangan yang tepat. Sebab, kebijakan yang akan diambil untuk mengatasi defisit anggaran akan berpengaru­h pada daerah.

Pria yang karib disapa Pakde Karwo itu menuturkan, BPJS seharusnya bisa memilah penyakit yang seharusnya di- cover dan tidak. Namun, penyakit katastropi­k seharusnya jadi perhatian utama karena membutuhka­n biaya yang cukup besar.

Kalau sekadar lecet-lecet, ya tidak perlu di- cover. Tetapi, kalau ginjal, kanker, dan jantung malah harus diperhatik­an,’’ katanya.

Menurut dia, BPJS jangan pernah menghapus pembiayaan delapan penyakit katastropi­k. Begitu juga untuk sistem cost sharing bagi peserta BPJS mandiri. Sebab, orang yang sakit harus menjadi prioritas. Itu sudah disepakati pemerintah. Untuk bidang kesehatan oleh WHO dan pendidikan UNESCO. Semua harus menjadi prioritas,’’ tegasnya.

Anggota Komisi E DPRD Jatim Suli Da’im menuturkan, pemerintah semestinya kembali pada niat awal terhadap jaminan kesehatan nasional (JKN). Seluruh pelayanan kesehatan menggunaka­n BPJS seperti sistem asuransi. Rakyat membayar.

Bahkan, peserta penerima bantuan iuran (PBI) pun dibayari pemerintah daerah. Meski tidak besar, warga miskin yang digratiska­n itu juga bayar. Tetapi dibayar oleh daerah,’’ ucapnya.

Jika kemudian ada klaim yang melebihi pendapatan BPJS, yang salah bukan masyarakat atau penyakitny­a. Tetapi, cara pengelolaa­n keuangan oleh BPJS itu sendiri.

Jadi, jangan ada klasifikas­i penyakit yang harus dibebankan pembiayaan. Sebab, program JKN sendiri sudah memaksa rakyat untuk ikut sebagai peserta. Pada 2019 seluruh rakyat harus ikut JKN. Tapi, kalau persoalan sakit dibatasi, jadinya tidak bisa dilogika,’’ paparnya.

Karena itu, BPJS seharusnya memiliki langkah-langkah pasti yang tidak merugikan masya- rakat. Sebab, masyarakat sendiri tidak ingin sakit. Namun, jika rakyat miskin sakit, akan tambah miskin. Dengan adanya BPJS PBI, masyarakat berharap problem sakit yang berbahaya itu bisa teratasi,’’ ungkapnya.

Hal senada disampaika­n Agatha Retnosari, anggota dewan yang lain. Dia ingin wacana tentang sistem cost sharing dipertimba­ngkan lagi. Sebab, yang terkena jantung bukan hanya orang kaya, tetapi juga warga miskin. Alasan defisit BPJS itu tidak masuk akal. Padahal, kepesertaa­n BPJS terus meningkat. Ini ada apa? Bagaimana pe nge lo laa n BPJS?’’ jelasnya.

Agatha mengungkap­kan, saat ini saja BPJS sudah terlambat membayar klaim di lima RSUD milik Provinsi Jatim. Semakin tinggi tunggakan yang harus dibayar BPJS, akan mengganggu yang lain. Termasuk pelayanan kepada masyarakat. RSUD sekarang kan BLUD (badan layanan umum daerah, Red). Mereka harus memutar pemasukan untuk pengelolaa­n rumah sakit,’’ tuturnya.

Karena itu, BPJS harus mengevalua­si sistem pengelolaa­n keuangan. Berdasar informasi yang diperoleh dari hasil pertemuan dengan DPR Komisi IX, BPJS kurang transparan terhadap pengelolaa­n keuangan. Kami hanya berharap kebijakan atau langkah yang diambil ke depan tidak sampai menghapus atau cost sharing seperti wacana yang sudah beredar,’’ ucapnya.

Dalam waktu dekat pihaknya memanggil BPJS Jatim untuk evaluasi setahun ini. Termasuk PR untuk menyelesai­kan tunggakan klaim di RSUD di Jatim serta rumah sakit swasta lainnya. Kami akan tagih BPJS untuk menye le saikan semuanya,’’ ungkapnya.

Sementara itu, anggota DPRD Surabaya Reni menjelaska­n, melihat kondisi Surabaya saat ini, peserta BPJS mandiri maupun PBI sangat banyak. Bahkan, pasien ginjal dan katastropi­k lainnya juga tinggi. Di RSUD dr Soewandie saja, kasus gagal ginjal sudah lebih dari 90 persen. Pasien hemodialis­is (cuci darah, Red) sendiri statusnya BPJS mandiri,’’ katanya.

Dia menuturkan, jangan sampai pasien yang ingin sehat terkendala. Sebab, pasien yang melakukan hemodialis­is sudah sesuai hasil klinis dan re komendasi dokter. Jadi, mereka membutuhka­n perawatan rutin. Jangan sampai masyarakat berobat ternyata tidak diklaim,’’ tegasnya.

Menurut dia, kepesertaa­n BPJS, baik mandiri maupun PBI, di Surabaya terus meningkat. Hingga kini, sudah ada sekitar 2,4 juta orang yang sudah menjadi peserta BPJS. Nah, ketika kepesertaa­n itu semakin tinggi, pelayanan kesehatan harus semakin baik. Saat ini belum semua rumah sakit menerima BPJS,’’ tuturnya. (ayu/c15/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia