Jawa Pos

Kenalkan Indonesia sampai Portugal

-

SUDAH dua bulan lamanya saya tinggal di Porto, Portugal, sebuah kota kecil nan eksotis di sisi paling barat Benua Eropa. Rabu lalu (22/11) adalah pengalaman pertama saya menapakkan kaki di salah satu sekolah umum di sini.

Sama halnya seperti sekolah negeri pada umumnya di Indonesia, Escola Secundária Caroli Carolina Michaëlis (sekolah menengah pertam pertama) ramai dengan anak-anak hingga remaj remaja beragam usia.

Ada pemandanga­n p yang paling membedakan dengan sekolah di Indonesia. Siswa-siswi di Portugal tidak memiliki seragam khusus layaknya di Indonesia. Semua tampak sederhana dengan pakaian masing-masing sambil sesekali melemparka­n senyum manis tatkala saya melewati gerbang sekolah. Seolah-olah, mereka sedang menyaksika­n pemandanga­n langka dengan kedatangan ”bule” dari Asia dengan warna kulit kecokelata­n khasnya.

Di sekolah ini, selama satu setengah jam, saya berkesempa­tan mengajar di kelas bahasa Inggris dengan sharing tentang Indonesia. Program yang digagas University of Porto, tempat saya kuliah dan Porto Municipal (pemerintah lokal), ini bertajuk Classes without Frontiers. Pada sesi tersebut, mahasiswa internatio­nal diajak berbagi pengalaman tentang banyak hal di sekolah-sekolah lokal.

Saya telah mempersiap­kan betul materi apa saja yang akan saya sampaikan. Peta Indonesia, bendera, mata uang, iklim, budaya, makanan khas, hingga kebiasaan orang Indonesia yang makan nasi tiga kali sehari membuat mereka takjub sekaligus heran.

Awalnya, saya agak sedikit ragu apakah kelas saya akan menarik atau malah membosanka­n. Tidak memiliki pengalaman sebagai guru cukup menyiutkan nyali saya. Belum lagi, bayang-bayang bahwa mereka tidak akan tertarik dengan Indonesia masih bersarang di kepala sesaat sebelum kelas dimulai.

Namun, di luar dugaan saya, respons siswa-siswi tersebut begitu luar biasa. Pertanyaan demi pertanyaan terlontar dari mulut siswasiswi berusia 14 tahun itu. Mulai pertanyaan standar seperti biaya hidup di Indonesia hingga ada saja yang penasaran bagaimana namanya terdengar jika diucapkan dalam bahasa Indonesia.

Selain para murid, guru bahasa Inggris di sekolah ini turut berpartisi­pasi. Lantaran saya mengajar dalam bahasa Inggris, di antara total 25 anak, tidak semua siswa-siswi dapat mengerti sepenuhnya apa yang saya bicarakan. Karena itu, guru menjadi perantara yang baik untuk mengatasi kendala bahasa tersebut.

Kegiatan ini menjadi momen bagi saya untuk turut mengenalka­n beragamnya budaya Indonesia dengan citra positif. Sebab, citra Indonesia di luar negeri juga turut diciptakan para diaspora seperti saya. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan membanggak­an dan mengenalka­n Indonesia? (*)

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia