Jawa Pos

Banyak Yang Hilang, Jejak Rel Kereta Masih Terlihat

-

Itu adalah salah satu pabrik mesin dan konstruksi terbesar Jatim. Pabrik tersebut menangani pembanguna­n jembatan, perkapalan, pembanguna­n pabrik gula, serta industri lainnya. Saat Perang Dunia II meletus, NII juga membantu Belanda membangun infrastruk­tur pertahanan.

Sebuah crane putar yang ada di belakang kantor NII jadi andalan untuk bongkar muat. Tanpa tower setinggi 15 meter itu, barangbara­ng berat dari kapal bakal sulit didaratkan. Begitu pula barangbara­ng dari darat yang bakal diangkut ke kapal. Tidak mungkin hanya mengandalk­an otot para pekerja. Saking kuatnya, satu perahu utuh bisa diangkut dengan katrol yang terhubung dengan lengan crane.

Satu abad kemudian, Minggu (26/11), crane tersebut masih kukuh berdiri. Namun, NII telah berganti nama menjadi PT Boma Bisma Indra. Sebuah badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak di bidang jasa permesinan, manufaktur, pengecoran, fabrikasi, pembanguna­n pabrik. Setelah merdeka, Indonesia mengambil alih perusahaan Belanda itu dan meneruskan bisnis yang sama.

Hari itu, tiga pencinta sejarah dan fotografi, Chrisyandi Tri Kartika, Rachmat Yuliantono, dan Noor Suyatin, datang pukul 06.30 untuk mengabadik­an crane putar tersebut. Rencananya, mereka naik crane untuk melihat detail mesin yang masih tersisa. Meski usia mereka sudah tergolong senior, semangat untuk blusukan masih membara.

Chris, panggilan akrab Chrisyandi, mengenakan kaus kuning, celana jins, dan sepatu pantofel. Memang begitu gayanya. Kerja atau blusukan, dia selalu memakai sepatu kulit berwarna cokelat itu.

Kamera Sony Mirrorless yang sudah tersambung dengan monopod menggantun­g di lehernya. ”Aku munggah disik (naik dulu, Red),” kata pria yang konsisten menjelajah tempat- tempat bersejarah sejak 2009 itu.

Chris bertugas membuka jalan alias babat alas. Sebab, anak tangga besi untuk naik terhalang banyak ranting pohon beringin. Pohon itu tumbuh bersebelah­an dengan crane. Tingginya pun hampir sama. Untungnya, dua raksasa tersebut bisa tumbuh berdamping­an tanpa merusak satu sama lain.

Satu per satu ranting dipatahkan. Hingga akhirnya, tangga bisa dilewati para follower di belakang. Anton, panggilan akrab Yuliantono, melakukan pemanasan. Sit-up, melompat-lompat, dan merentangk­an kedua tangannya. Setelah pemanasan singkat, dia menyusul Chris yang sudah setengah perjalanan.

’’Aku di sini saja,” ujar Noor yang memutuskan untuk menunggu di bawah. Meski ingin ikut naik, Noor merasa medan yang ditempuh terlalu berat. Tak apa. Dia tidak mengeluh. Malah dia berbaik hati untuk memotret kami bertiga jika sudah sampai di puncak. Dia juga memilih berbincang-bincang dengan warga yang mengolah ikan pari yang diasap. Ikan itu dijemur di kaki-kaki crane.

Saya akhirnya menyusul lewat sisi utara. Sebab, sisi selatan dan timur sudah penuh ikan. Sedangkan sisi barat sudah sungai. Perjalanan naik ternyata tidak semudah yang dibayangka­n.

Meski Chris sudah membuka jalan, ranting-ranting pohon beringin itu terus tersangkut di tas dan tali kamera saya. Wajah juga harus menerjang dedaunan rimbun agar bisa menyusul dua orang yang sudah menanti.

Masih 5 meter, kami berhenti. Pintu tangga terkunci. Perjalanan harus dilanjutka­n dengan menapaki rangka-rangka besi yang tersusun diagonal.

Chris berkali-kali mengingatk­an kami agar berhati-hati. Salah pijakan, rencana mengabadik­an puncak crane bisa gagal total. Kalau sampai terjatuh, tubuh tidak langsung ke tanah. Tapi, harus terbentur berkali-kali dulu di rangka besi, lalu bergabung dengan ikan asap.

Kami akhirnya sampai di dek pertama setelah melekuk- lekukkan tubuh untuk melintasi sela-sela kerangka tower. Ada ruangan kosong yang dulu jadi ruang kendali.

Kaca dan dinding kayu sudah terlihat sangat lapuk. Di dalam ruangan tak berpintu itu, seharusnya ada mesin pengontrol. Tapi, hilang entah ke mana. Entah diselamatk­an perusahaan atau jadi rupiah bagi para penambang besi tua. Yang jelas, hanya tersisa beberapa baut di dasar ruangan.

”Jangan masuk. Sepertinya lantainya sudah rapuh,” ucap Chris yang pernah memanjat tower itu seorang diri empat tahun silam.

Kami melanjutka­n perjalanan ke puncak. Untungnya, tidak ada pintu yang terkunci lagi. Di tangga itu, dedaunan semakin lebat.

Begitu sampai di puncak, kami terkesima dengan kecerdasan pembuat crane putar itu. Anton berkali-kali memuji kekuatan gerigi-gerigi mesin tersebut karena masih utuh.

Meskipun telah diterjang ribuan hujan dan diterpa panas, dampak korosif yang ditimbulka­n tidak begitu menampakka­n pengaruhny­a. Jika dibersihka­n dan dilumuri pelumas, susunan gerigi itu masih bisa berputar seperti sedia kala. Tapi, itu hanya bisa terjadi apabila mesin penggerak crane masih ada. Nyatanya, mesin sudah sirna.

Anton bergegas mengeluark­an kameranya. Dia memotret detaildeta­il mesin dan menjelajah di atas crane. Dia terhenti di ujung utara. Di situ terdapat tuas yang letaknya tidak jauh dari kotak pemberat. ”Alot. Pasti dulu ini bisa diputar. Tapi, fungsinya untuk apa, ya?” kata pria 46 tahun tersebut sembari terus mencari tahu struktur mesin yang terhubung dengan tuas itu.

Gerigi-gerigi tersebut seperti mesin jam yang rumit. Tapi, dalam ukuran jumbo. Sayangnya, sejumlah komponen hilang dijarah. Tutup mesin, tali besi, katrol, dan lempengan logam lainnya sudah lenyap.

Di atas sana, setiap melangkah harus hati-hati. Sebab, ada lubang di beberapa bagian. Lantai dasarnya bermotif persegi delapan, mengadopsi bentuk sarang tawon. Lantai itu juga tidak sekuat dulu. Beberapa bagian sudah melengkung, siap terlepas dari kerangka utama.

Di bawah kami, dua ekskavator amfibi milik pemkot terus mengeruk sedimen. Endapan lumpur di tengah sungai dipindahka­n ke pinggir. Sedimen yang terbawa dari hulu sungai itu memang terus menumpuk dan menyebabka­n pendangkal­an. Dan, itulah yang dulu membuat lalu lintas perdaganga­n sungai mati.

Jangankan kapal besar, perahu nelayan saja bakal kesulitan untuk melintas. Butuh nakhoda yang hafal betul area dengan kedalaman cukup. Jika tidak, perahu bisa kandas.

Dari atas sana juga terlihat Jembatan Petekan yang sudah tak utuh. Besi-besinya dijarah. Bahkan, salah satu tiangnya nyaris putus. Sedangkan di sisi selatan, puluhan gedung pencakar langit telah mengubah lanskap kota.

Setelah empat puluh menit berada di puncak, kami akhirnya turun. Kasihan Noor yang me_nunggu di bawah sendirian. Warga setempat yang mengasapi ikan sudah pulang.

Chris menerangka­n bahwa area pergudanga­n itu dulu punya jaringan rel kereta. Tapi, rel itu sudah tidak terlihat lagi karena tertimbun tanah dan semen. Katanya, dengan mencangkul tanah sedalam 10 meter, besi rel bisa terlihat. ” Nek gak salah, nang kono sik onok rel sing mecungul (Kalau tidak salah, di sana masih ada yang rel yang muncul, Red),” ujar Chris sambil menunjuk ke selatan.

Kami pun melintasi jalanan tanah tak rata ke selatan dengan motor masing-masing. Benar kata Chris. Masih ada rel yang belum tertimbun tanah. Namun, Chris justru lebih tertarik pada gedung-gedung di sekitar rel tersebut dan meninggalk­an kami yang mengamati rel tua yang sudah keropos itu.

Chris masuk ke salah satu gang dan memotret lambang bundar di atas gerbang salah satu gudang. Detail-detail gedung tua di kawasan itu memang menjadi objek bidikan favorit bagi pustakawan Universita­s Ciputra itu.

Dia mengumpulk­an sebanyakba­nyaknya foto tempat-tempat bersejarah. Dengan begitu, bentuk bangunan bakal terabadika­n. Jika dibongkar nanti, masih ada kenangan yang tersisa. Sebab, beberapa kali bangunan cagar budaya di Surabaya kalah oleh pengembang­an kota. Sebut saja Stasiun Semut, sinagoge di Jalan Kayun, hingga Rumah Radio Bung Tomo.

Foto-foto tersebut dibagikan ke Grup Surabaya Heritage Society yang punya 6.100 member di Facebook itu. Di ruang maya tersebut, para member saling berbagi temuan gedung-gedung dan tempat bersejarah.

Setelah puas memotret, Noor mengajak kami mencari tempat sarapan. Namun, Chris dan Anton tergesa-gesa untuk pulang. Katanya, Chris harus ke gereja. Sedangkan Anton telanjur pamit ke istrinya untuk keluar sebentar. Tapi, nyatanya hingga tiga jam tidak pulang. ”Biar enggak kena marah, tadi sudah saya tinggali uang untuk belanja, hehehe,” seloroh Anton.

Di atas rel kereta itu, kami akhirnya berpisah. Bagi mereka, masih banyak tempat menarik lainnya yang bisa dikunjungi. Tinggal atur jadwal agar bisa berangkat bersama-sama lagi. Jadi, sampai jumpa lain waktu. (*/c7/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia