Curhat Rindu dalam Tiga Babak
Performance Art oleh Meimura
SURABAYA – Seniman teater dan pemerhati ludruk, Meimura, mengungkapkan isi hatinya di kompleks Balai Pemuda kemarin (27/11). Curhat seorang seniman yang ingin lebih diperhatikan oleh pemerintah. Cerita itu diterjemahkan dalam performance art. Aksi bertema Menjaga Rumah Kita tersebut berlangsung 2,5 jam.
Meimura menceritakannya dalam tiga babak. Satu babak dengan babak lainnya berkaitan. Judul bagian pertama adalah Pejuang Bertanya. Seniman kawakan itu menggunakan gedung Dewan Kesenian Surabaya (DKS) sebagai panggung. Mengenakan kostum hitam dengan wajah disembunyikan dalam polesan cat putih, pria 54 tahun tersebut beraksi.
Dia berkeliling kompleks Balai Pemuda dengan sepeda kuno. Berputar-putar mengelilingi halaman. Di tengah-tengah, dia berhenti sejenak, lantas duduk di samping sepedanya. Dia bersandar. Wajahnya menghadap ke arah awan. Sesekali tangan kanannya menyapu kening. Meimura mengekspresikan kelelahan.
Tidak sampai satu menit, dia naik ke sepedanya lagi. Mengayuh sepeda lebih cepat ke arah luar kompleks. Meimura menyusuri jalur pedestrian dengan sepedanya ke arah gedung DPRD Kota Surabaya. Babak kedua pun dimulai.
Pria asli Surabaya itu balik ke ”panggung” untuk berganti kostum. Sama-sama tanpa suara, bagian kedua dimulai dengan kemunculannya dalam balutan sarung hitam. Ada udeng merah yang melekat di kepalanya. Bedanya, wajah Meimura tak lagi berlumuran cat.
Dia berjalan kaki dengan sepiring cat putih di tangannya. Dia kembali bertolak ke gedung DPRD Kota Surabaya. Hanya, kali ini dia berhenti di lobi gedung. Dia duduk. Tiba-tiba dua tangannya meraih cat putih dari piring yang diletakkan di hadapannya. Dia usapkan cat tersebut pada wajah hingga badannya.
Selama itu, badannya terus bergerak. Seperti gerakan tari. Tubuh gemulai mengikuti pikiran-pikiran liar Meimura. Bebas. Bagian kedua tersebut diberi judul Topeng. Aksi itu dilanjutkan dengan babak ketiga, yakni Tanpo Aran.
”Setiap orang punya cara sendiri untuk mengungkapkan kegalauannya. Kalau saya, ya dengan aksi ini,” ujar pria kelahiran 16 Mei 1963 itu. Meimura memang dikenal sebagai seniman teater di Surabaya. Ada kolaborasi pantomim dan tarian dalam aksi tersebut.
Meimura mengaku rindu. Kangen pada suasana Surabaya era ’80-an. Menurut dia, saat itu budaya seni sedang naik daun di metropolis. Warga berduyunduyun memadati tempat-tempat pertunjukan. Termasuk seni teater. Seolah-olah tidak ada jarak antara penonton dan seniman.
Mereka memberikan ruang se bebas- bebasnya kepada seniman untuk berkreasi. Diskusi juga terus mengalir tiada henti. ”Kami sering bersama. Seniman dan pemerintah duduk bareng. Akrab,” ungkap pemain Teater Ragil itu.
Menurut dia, kondisi pada masa itu bikin rindu. Dia ingin merasakannya saat ini. Ungkapan kerinduan itulah yang ditunjukkannya dalam aksi kemarin. ”Memang sengaja pilih Senin.
tujuannya DPRD. Ramainya ya Senin,” tambahnya, lantas tertawa. (bri/c6/jan)