Jawa Pos

Gemulaikan Anak Tengger ke Ajang Nasional

Sepak terjang mereka dalam mengembang­kan dunia tari sudah diakui. Selama belasan tahun ratusan murid dan puluhan tarian sudah diciptakan. Tanpa mereka, geliat panggung seni di Sidoarjo mungkin tidak akan ramai.

-

GENDING Jawa Timuran memenuhi seisi aula SD Hang Tuah 10 Kamis lalu (30/11). Alunan langgamnya halus. Saat itu terdapat sembilan anak mulai kelas IV hingga VI menari dengan luwesnya. Tangan mereka bergerak gemulai. Mereka menirukan gerakan sang pelatih, Widji Utami.

’’Ayo, mendak yang cantik. Kalau jelek, tidak dipakai lagi lho,’’ ucap Widji memberikan arahan. Para penari pun berupaya menyuguhka­n aksi terbaiknya ketika membawakan tari Wasis. Tari karya Widji yang bermakna pintar itu berisi ajakan agar anakanak rajin belajar. ’’Latar ceritanya tentang sekolah, ya keseharian anakanak lah,’’ lanjut dia.

Tari itulah yang dalam event Sidoarjo Education Expo (Siedex) lalu menyabet juara I kategori Tari Tradisiona­l Tingkat SD. Kemahiran Widji dalam menciptaka­n tari sudah tidak diragukan lagi. ’’Berapa ya, sudah lebih dari 50 (tari) mungkin,’’ katanya.

Lingkungan keluarga sebagai pengelola sanggar seni membuat Widji tidak asing lagi dengan aktivitas mencipta tari. ’’Saya cuma lulusan SMA. Tetapi, sejak kecil saya ikut Ibu (Muntiana, Red) menari. Jadi, waktu SD ya sudah mengajar buat teman seumuran,’’ terangnya. Sedangkan sang ayah, Bambang Sumitra, pengelola Sanggar Seni Patrialoka di Blitar.

Bahkan, berkat menari juga, Widji bertemu dengan lelaki yang kini menjadi suaminya, Sapto Hari Utomo. Laki-laki 51 tahun tersebutme­latih karawitan di SD Hang Tuah 10.

Bisa dibilang mereka sepaket, satu tim soal mengajar seni. Berawal dari melatih di sanggar swasta sejak 1966, keduanya dipercaya memegang kelas seni untuk sekolah-sekolah di bawah naungan Yayasan Hang Tuah di wilayah Sidoarjo. Itu berlangsun­g sejak 2008. Prestasi seni di sekolah tersebut melesat. Sebut saja di SD Hang Tuah 10. Dalam berbagai kejuaraan tari, karawitan, dan campur sari, tim dari sekolah tersebut meraih juara. Misalnya, juara 1 Lomba Tari Kreasi Baru Tingkat Provinsi Jawa Timur 2015 serta juara Lomba Karya Seni Paguyuban Peminat Seni Tradisi (PPST) Tingkat SD-MI pada 2016.

Saking seringnya ikut lomba dan menang, Widji pernah diprotes oleh koleganya sesama pelatih. ’’Pernah ada lomba, saya tidak diberi tahu. Padahal, kalau ikut lomba, pesertanya bukan itu-itu saja,’’ lanjutnya.

Dedikasi pasutri yang menikah pada 1997 itu tidak hanya di sekolah. Mereka juga melatih tari untuk anakanak suku Tengger. Permintaan tersebut datang dari teman kuliah Sapto. ’’Medannya memang susah. Apalagi, tidak ada bayarannya,’’ kata Widji. ’’Tetapi, melihat antusiasme anak-anak berlatih, kami terpanggil untuk melatih,’’ imbuhnya.

Ada seratus anak yang dilatih. Semua masih kaku. Tidak bisa menari atau karawitan sama sekali. ’’Kuncinya, telaten,’’ ungkap ibu empat anak itu.

Dua tahun dia melatih, Pemkab Pasuruan lantas memberikan dukungan penuh. Mereka sama sekali tidak berbakat. Namun, Widji berhasil menggemble­ng mereka hingga meraih juara tari terbaik dalam event Peningkata­n Prestasi Apresiasi Seni (PSST) Jawa Timur 2015.

Cerita legenda asal muasal suku Tengger dibawakan mereka dalam judul tarian Sang Kusuma. Dari event tersebut, terpilih 25 penari terbaik yang dikirim ke Lampung untuk tampil di acara Duta Seni Pelajar Nasional pada tahun yang sama. Berkolabor­asi dengan SMPN 6 Kediri, mereka menampilka­n drama tari Sangga Langit Patemboyo. ’’Itu kali pertama anak-anak Tengger naik pesawat. Mereka takut banget sampai berkalikal­i tukar tempat duduk,’’ kisah Widji, lantas tertawa mengingat memori paling berkesan itu. (via/c4/ai)

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia