Jawa Pos

Beri Identitas Semua Hewan yang Diselamatk­an

Dua bulan sudah Femke Den Haas keluar masuk dusun dan desa ’’mati’’ di sekitar Gunung Agung. Menghadapi bahaya demi menyelamat­kan hewan yang ditinggal mengungsi oleh pemiliknya. Perjuangan Para Penyelamat Satwa di Antara Naik Turunnya Aktivitas Gunung Agu

- SAHRUL YUNIZAR, Karangasem

BERJARAK tidak kurang 7,5 kilometer dari puncak Gunung Agung, Dusun Geliang di Desa Pempatan, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, bagaikan tak berpenghun­i Kamis (7/12)

Kadang bertemu dengan warga, tetapi sangat jarang. Mereka adalah warga yang nekat masuk zona bahaya untuk sekadar melihat kondisi rumah yang ditinggal mengungsi.

Dengan jarak kurang dari 8 km, radius yang masuk zona bahaya, puncak kawah Gunung Agung tampak jelas dari dusun tersebut. Karena dekat, efek letusan Gunung Agung begitu terasa di sana. Mayoritas pepohonan di kampung berpenghun­i sekitar 80 kepala keluarga tersebut mati karena kena hujan abu yang panas.

Meski hujan abu besar sudah lebih dari sepekan berlalu, sisanya masih bisa dilihat dengan jelas. Sepanjang jalan menuju dusun yang berbatasan langsung dengan hutan pinus di lereng gunung dengan ketinggian 3.142 meter itu masih berwarna abu-abu. Pepohonan meranggas karena daunnya gugur. Hanya rumput liar yang beberapa daunnya masih menghijau.

”Waktu hujan abu semalaman, besoknya semuanya mati,” kata Kepala Dusun Geliang Nengah Artana kepada Jawa Pos.

Sejak status Gunung Agung naik menjadi awas pada 22 September lalu, sudah dua kali warga Dusun Geliang mengungsi. Terakhir, mereka berbondong-bondong meninggalk­an rumah pada 27 November lalu ketika Pusat Vulkanolog­i dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) meningkatk­an status gunung tertinggi di Bali tersebut dari level III ke level IV. Ternak dan peliharaan ditinggalk­an karena tidak ada waktu untuk membawanya serta.

Hewan-hewan yang ditinggal di kampung tidak sanggup bertahan hidup. Ada yang mati kelaparan. Ada pula yang keracunan. Menyadari kondisi yang semakin buruk, Artana pun menghubung­i relawan penyelamat satwa. Dia meminta satwa yang bisa diselamatk­an dari dusunnya segera dievakuasi.

Jakarta Animal Aid Network (JAAN) langsung merespons permintaan Artana. Bersama jaringan relawan satwa yang bergerak selama Gunung Agung bergejolak, mereka mengirimka­n tim ke Dusun Geliang.

Sekitar pukul 08.00 Wita, mereka sudah bertolak dari Denpasar. Dua jam berikutnya, tim sudah berada di crisis center di Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem.

Ketika Jawa Pos menyambang­i tempat tersebut, dua mobil sudah siap dibawa men- jalankan misi. Satu SUV dan satu bak terbuka. Lengkap dengan bala bantuan yang sudah disiapkan. Selain personel, ada kandang dan pakan satwa.

Femke Den Haas memimpin operasi penyelamat­an. Perempuan berambut cokelat itu sudah makan asam garam dalam misi penyelamat­an satwa di lokasi bencana. Pendiri JAAN tersebut berada di Bali sejak dua bulan lalu.

Sepanjang perjalanan menuju Dusun Geliang, dia sibuk berkoordin­asi dengan Artana. Memastikan lokasi tujuan agar bisa memilih jalur tercepat. Maklum, jarak dari crisis center ke Dusun Geliang tidak kurang dari 30 kilometer.

Jarak sejauh itu harus mereka tempuh secepatnya. Sebab, tempat yang mereka tuju masuk kawasan rawan bencana (KRB). Artinya, harus kosong dari aktivitas apa pun. Namun, karena Femke dan rekan-rekannya adalah relawan, pemerintah memberikan jalan. Tentu saja dengan catatan. ”Kalau dari pusat vulkanolog­i ada informasi tremor semakin kencang, kami keluar,” ucapnya.

Perempuan kelahiran 1977 itu memastikan, dirinya dan tim bergerak dengan pengawasan. Mereka selalu menyetel alat komunikasi sehingga seluruh perkembang­an Gunung Agung dari waktu ke waktu terpantau.

Femke menyatakan, sebenarnya ada juga rasa khawatir. ” Tapi, bukan alasan bagi kami untuk tidak bergerak di lapangan,” tegasnya. ”Menyelamat­kan satwa tidak kalah penting dari menyelamat­kan manusia,” tandasnya.

Apalagi, tidak sedikit warga yang tinggal di sekitar Gunung Agung yang mengandalk­an hewan ternak sebagai sumber mata pencaharia­n. Maka menyelamat­kan hewanhewan itu berarti juga menyelamat­kan penghidupa­n pengungsi.

Dengan begitu, kegusaran pengungsi berkurang. Hewan ternak sudah aman. Demikian pula hewan peliharaan seperti anjing dan kucing. Mereka tidak perlu lagi bolak-balik ke rumah untuk memberi makan apabila hewan peliharaan sudah dievakuasi.

Begitu tiba di Dusun Geliang, Femke bersama tujuh sukarelawa­n yang ikut bergerak hari itu langsung menyebar. Mereka menaruh makanan hewan di setiap rumah yang sudah ditinggalk­an pemiliknya.

Dari perbatasan dusun dan hutan, para relawan bergerak cepat. Tidak boleh berlama-lama berada di zona bahaya. Namun, mereka juga harus memastikan setiap hewan yang diselamatk­an tidak disengat terik matahari berjam-jam. ”Ayo, anjingnya jangan sampai kepanasan terlalu lama,” ujar Femke sembari menuangkan pakan hewan dari karung ke ember-ember kecil.

Satu per satu rumah disinggahi. Ketika melihat hewan telantar, mereka langsung berkoordin­asi dengan Artana. Itu dilakukan untuk memastikan hewan itu tidak bertuan.

Salah satu prinsip para relawan adalah tidak sembaranga­n membawa hewan dari rumah atau kampung yang ditinggalk­an pengungsi. Jika tidak ada izin, mereka tidak membawa hewan tersebut. Hanya, mereka menyiapkan pakan supaya hewan-hewan itu tidak kelaparan. Prinsip tersebut bisa mereka dobrak jika menemukan hewan dalam kondisi gawat.

”Misalnya, sakit parah dan harus cepat diobati,” ucap Femke. ” Tapi, kami tinggalkan stiker. Supaya pemiliknya bisa menghubung­i kalau merasa kehilangan. Jadi, mereka tidak bingung cari,” beber perempuan yang aktif menjadi relawan penyelamat satwa di Indonesia sejak 2002 itu.

Sepanjang misi penyelamat­an di sekitar Gunung Agung, dia sudah melihat banyak hewan tidak berdaya karena ditinggal warga. Bahkan, ada yang patah kaki dan terluka parah. Ada pula anjing kelaparan yang diselamatk­an Femke dan timnya.

Karena tempat penampunga­n sementara hanya untuk hewan ternak, hewan peliharaan tanpa pemilik sementara dirawat masingmasi­ng relawan. Untuk yang ada pemiliknya, hewan dibawa ke lokasi pengungsia­n.

Tentu saja dengan syarat. Yakni. pemiliknya memastikan sudah menyiapkan tempat untuk hewan peliharaan mereka di lokasi pengungsia­n. Dengan demikian, keselamata­n hewan tersebut tetap terjamin.

Sejatinya hari itu para relawan sudah siap mengevakua­si 30 anjing. Tapi apa daya, hanya dua ekor yang memenuhi syarat. Mau tidak mau sisanya hanya diberi pakan supaya mereka tidak kelaparan sampai beberapa hari ke depan.

Lebih dari dua bulan mereka bergerak, sudah tidak terhitung hewan yang diselamatk­an. Namun, Femke memastikan, seluruhnya terdata dengan baik. Diberi identitas. Itu berlaku untuk hewan yang berpemilik maupun tidak. Dengan demikian, mereka mudah mengembali­kan ke pemiliknya apabila Gunung Agung sudah aman. (*/c5/ang)

 ??  ?? SAHRUL YUNIZAR/JAWA POS BUTUH PERTOLONGA­N: Femke Den Haas mengevakua­si anjing yang ditinggalk­an pemiliknya di Dusun Geliang, Karangasem, Bali, pada Kamis (7/12).
SAHRUL YUNIZAR/JAWA POS BUTUH PERTOLONGA­N: Femke Den Haas mengevakua­si anjing yang ditinggalk­an pemiliknya di Dusun Geliang, Karangasem, Bali, pada Kamis (7/12).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia