Dampak Panjang Keputusan Trump
UNTUK seorang pemimpin yang secara kontroversial menerapkan ’’Muslim Ban’’ dan membangun tembok perbatasan dengan Meksiko, dunia memang semestinya tak kaget lagi dengan langkah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait Jerusalem. Inilah pemimpin yang hidup dalam dunia yang dia bangun sendiri: hanya untuk dirinya dan orang-orang sepuak.
Tak kurang para pemimpin Arab dan Uni Eropa telah mengingatkan sebelumnya, pengakuan Jerusalem sebagai ibu kota Israel membahayakan. Bakal menciptakan ketidakstabilan, terutama di Timur Tengah yang memang nyaris tidak pernah stabil itu.
Dan, setelah pengakuan tersebut benarbenar dia deklarasikan, di antara 11 duta besar AS yang pernah bertugas di Israel, sebagaimana dilansir The New York Times, hanya dua yang setuju dengan kebijakan Trump itu. Lainnya setuju dengan peringatan yang terlontar dari Arab dan Uni Eropa tadi: bahwa langkah itu ngawur dan membahayakan.
Tapi, pedulikah Trump? Pedulikah dia bahwa kebijakannya tersebut akan berimplikasi demikian panjang?
Sekarang saja kemarahan terdengar di manamana. Di Indonesia, di Malaysia, di Turki, dan tentu saja di Palestina, hanyalah sebagian di antaranya. Jangan salah, dalam jangka panjang, bibit-bibit kemarahan seperti inilah yang bisa mengkristal menjadi ekstremisme.
Yang lebih menyedihkan, proses perdamaian menguap sudah. Bagaimana AS akan menempatkan dirinya sebagai penengah jika kebijakan sang presiden sudah demikian terangterangan memihak? Meski, selama ini pun kita sudah tahu soal keberpihakan tersebut.
Itu belum menghitung reaksi Rusia. Sel-sel perlawanan terhadap AS hampir pasti akan mengandalkan dukungan mereka. Dan, itu berarti potensi adu senjata lagi di Jalur Gaza, markas Hamas yang sudah menyerukan intifadah. Korban-korban otomatis bakal berjatuhan. Termasuk dari warga sipil, anakanak, dan perempuan. (*)