Jawa Pos

Jatim Satu dan Pemilih Milenial

-

PILKADA Jatim 2018 memasuki babak baru. Dua poros koalisi mulai kukuh terbentuk. Setelah Saifullah Yusuf alias Gus Ipul resmi mengganden­g Abdullah Azwar Anas (bupati Banyuwangi), giliran Khofifah Indar Parawansa yang mengumumka­n duetnya bersama Emil Elestianto Dardak (bupati Trenggalek).

Bila kompetisi elektoral di Jatim akhirnya hanya dua poros, dapat dipastikan rivalitas bakal berlangsun­g sangat sengit. Pertama, poros Gus Ipul-Anas maupun KhofifahEm­il (dua-duanya) merupakan tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Secara matematika politik, imbangnya dukungan tersebut akan membuat kompetisi politik berlangsun­g kompetitif.

Kedua, kedua pasangan didukung tokoh kuat. Pasangan Gus Ipul-Anas didukung Megawati Soekarnopu­tri, sedangkan Khofifah-Emil didukung SBY. Megawati dan SBY selama ini dikenal memiliki sejarah panjang dalam kompetisi politik tanah air. Dimulai dari kompetisi Pilpres 2004. Saat itu SBY yang sebelumnya merupakan menteri Presiden Megawati dalam kompetisi elektoral 2004 justru menjadi lawan politik dan bahkan mengalahka­n Megawati sebagai capres incumbent.

Sejak saat itulah Megawati dan SBY mengalami stagnasi komunikasi. Bahkan, selama sepuluh tahun SBY menjabat presiden, Megawati tidak pernah hadir dalam upacara di istana. Kompetisi tersebut berlanjut di Pilkada DKI Jakarta 2017, saat Megawati mengusung pasangan Ahok-Djarot dan SBY mengusung Agus-Sylvi.

Ketiga, Khofifah ataupun Gus Ipul merupakan tokoh yang secara personal bukan pendatang baru. Selain sama-sama pernah menduduki menteri dan anggota DPR, keduanya pernah memimpin organisasi dengan basis massa paling mengakar. Jika Gus Ipul pernah memimpin GP Ansor, Khofifah menakhodai Muslimat NU selama tiga periode berturut-turut.

Kondisi itu tentu akan membuat pemilih sulit mencari titik pembeda di antara keduanya sehingga peta kompetisi makin sulit ditebak. Pemilih Milenial Karena itu, menurut hemat saya, salah satu peta penting yang menentukan kemenangan di Pilkada Jatim 2018 kini terletak pada pemilih milenial. Merujuk data KPU Jatim, jumlah pemilih Jatim tahun 2018 kurang lebih 32 juta jiwa. Bila menggunaka­n proporsi data demografi dari BPS Jatim, ang- ka pemilih milenial diperkirak­an sebesar 39,0 persen (Hasanuddin Ali, 2017). Data itu diperkuat hasil survei iPol Indonesia yang menyebut pemilih milenial di Jatim saat ini sekitar 14,5 juta jiwa. Mengutip Elwood Carlson (2008), pemilih milenial adalah mereka yang lahir dalam rentang waktu 1983–2001.

Kesadaran bahwa pemilih milenial sangat menentukan dalam kompetisi elektoral di Jatim itu tampaknya sudah hadir di kalangan elite pengusung kandidat. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnopu­tri, misalnya, dalam pidato pengumuman pasangan Gus Ipul-Anas mengatakan, salah satu alasan digandengn­ya Azwar Anas adalah yang bersangkut­an dianggap mewakili kelompok milenial Jatim. Hal yang sama dilakukan elite pengusung Khofifah. Emil Dardak yang digandeng sebagai cawagub untuk menarik pemilih milenial.

Sebagai generasi langgas yang akrab dengan teknologi digital, pemilih milenial memiliki karakter unik berdasar wilayah dan kondisi sosiokultu­ral di mana dia tinggal. Meskipun jumlahnya besar, pemilih milenial cenderung apolitis. Dalam teori perilaku pemilih, kelompok milenial masuk kategori pemilih rasional, yang memilih berdasar pertimbang­an visi, gagasan, dan rekam jejak sang kandidat. Kampanye Kreatif Tentu, untuk menarik ceruk pemilih milenial, para kandidat tidak cukup hanya mengusung cawagub dari kelompok milenial. Sebagai pemilih rasional, salah satu cara paling efektif untuk menarik simpati pemilih milenial adalah melalui kampanye. Rogers dan Storey (1987) mengartika­n kampanye sebagai rangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptaka­n efek tertentu pada sejumlah besar khalayak.

Namun, yang dimaksud kampanye di sini bukanlah kampanye yang konvension­al dan monoton. Pemilih milenial memiliki kecenderun­gan menyukai gaya kampanye kreatif. Salah satu ciri kampanye kreatif adalah dapat menghibur. Kampanye kreatif digandrung­i karena terkandung dua unsur sekaligus, yakni gagasan dan hiburan.

Lock dan Harris (1996) pernah menuturkan bahwa unsur penting yang harus dibangun dalam sebuah kampanye adalah ”hubungan internal” dan ”hubungan eksternal”. Hubungan internal adalah hubungan yang berkaitan dengan kader partai, sayap partai, ataupun lembaga pendukung partai. Sedangkan hubungan eksternal adalah hubungan yang berkaitan dengan masyarakat luas, yakni kelompok di luar kader dan simpatisan.

Jika mengacu bangunan kampanye tersebut, model kampanye kreatif sangat efektif digunakan untuk menarik simpati pemilih milenial. Pasalnya, jika mengacu pendapat Lock dan Harris, pemilih milenial –lantaran mayoritas apatis dengan politik– masuk dalam kelompok nonkader dan nonpartisa­n (eksternal).

Artinya, mengabaika­n pemilih milenial dalam kompetisi elektoral di Jatim merupakan tindakan yang bisa dikatakan ”gegabah”. Sebaliknya, mendekati pemilih milenial merupakan satu langkah naik tangga menuju kemenangan. (*) *) Direktur Riset Monitor Indonesia

 ??  ?? ALI RIF’AN*
ALI RIF’AN*

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia