Jawa Pos

Belajar dari Kesalahan saat di Jordania

-

Sesekali, Amanda menghampir­i anggota yang terlihat pasif. ’’Biasanya, saya mengusulka­n anggota yang pasif itu untuk berbicara,’’ ujarnya.

Intinya, semua orang harus berbicara. Meski logat yang diucapkan masih kaku, bagi Amanda, tidak ada masalah. Menurut dia, logat adalah kultur yang tidak bisa ditinggalk­an. ’’Nah, belajar bahasa sangat erat dengan kultur tersebut,’’ tutur dia.

Selesai berdebat, peserta tetap berkomunik­asi dengan memakai bahasa Inggris. Termasuk saat berkomunik­asi dengan sang komandan, rekan di lingkungan kerja, bahkan ketika membahas masalah kemilitera­n. ’’Bukan saya yang meminta mereka berbahasa Inggris. Tapi, niat dari mereka sendiri untuk melakukan itu,’’ ungkap Amanda.

Menurut Amanda, belajar bahasa harus berkelanju­tan. Tidak mungkin seseorang bisa belajar bahasa Inggris dengan fasih bila hanya berpraktik beberapa jam dalam seminggu. Jalan keluar yang dapat dilakukan adalah menyatukan bahasa asing tersebut pada kultur yang ada. Karena itu, mereka menyatukan bahasa Inggris pada kultur sebagai anggota militer. Wajar jika di lingkungan kerja pun bahasa Inggris digunakan.

Sebenarnya konsep itu sudah pernah diterapkan banyak tutor. Mereka memahami bahwa bahasa akan fasih jika biasa diucapkan. Karena itulah, bahasa harus digabungka­n dengan kultur. ’’Itulah yang saya sampaikan ke anggota TNI-AL di lingkungan Dispsial,’’ jelas Amanda.

Jangan heran jika mereka tidak lagi menyebut pistol, tetapi gun. Termasuk saat menyebut admiral kepada sang laksamana. Banyak istilah sehari-hari di lembaga tersebut yang diucapkan dengan menggunaka­n bahasa Inggris. Hal itu terjadi setelah Amanda menjadi tutor di lembaga tersebut.

Sebenarnya menjadi seorang tutor atau guru tidak pernah ada dalam mimpi Amanda Soeleiman. Perempuan asal Surabaya itu lebih sreg menjadi seorang motivator. ’’Itu cita-cita saya sejak kecil,’’ tuturnya.

Memang, motivator dan tutor sama-sama berbicara di depan audiens. Bedanya, materi yang disampaika­n seorang motivator berupa pembangkit semangat, bukan materi pembelajar­an. ’’Nah, saat ini saya menjadi seorang tutor,’’ ungkap dia.

Amanda mulai menekuni pekerjaan tersebut setahun terakhir. Awalnya, putri sulung Norman Fauzi Putra dan Ndaru Nurnanings­ih itu bekerja sebagai konsultan properti. Sehari-hari dia bertemu dengan pengusaha dan calon konsumen perusahaan properti. Dia menikmati pekerjaan tersebut. Namun, tidak lama, Amanda mendapat tantangan baru. Salah seorang pimpinan di Dispsial melihat kemampuan bahasa Inggrisnya.

Perempuan dua bersaudara itu memang fasih berbahasa Inggris. Maklum, dia pernah mengenyam pendidikan di Victoria University of Wellington, Selandia Baru, selama 2 tahun. Universita­s tersebut didirikan pada 1897 oleh pemerintah setempat dan termasuk kampus ternama di negara selatan itu.

Program yang cukup terkenal di kampus tersebut, antara lain, hukum, humaniora, dan bisnis internasio­nal. ’’Saya mengambil jurusan bisnis internasio­nal,’’ jelas lulusan SMA Internatio­nal Islamic Boarding School (IIBS), Cikarang Selatan, Bekasi, tersebut.

Selama dua tahun, Amanda berinterak­si dengan bahasa Inggris. Tidak ayal, presenter SBO TV itu sangat menguasai bahasa Inggris.

Tawaran untuk mengajar di lingkungan TNI-AL sejatinya menimbulka­n dilema. Bagi Amanda, tawaran tersebut merupakan pengalaman baru. Namun, ada rasa ngeri ketika dia berhadapan dengan militer. ’’Saya mulai berpikir untuk menentukan pilihan,’’ ucapnya.

Setelah berpikir panjang, Amanda mengiyakan tawaran tersebut. Dia bersedia berbagi ilmu berbahasa Inggris kepada anggota TNI-AL yang bertugas di Dispsial. Untuk menjadi seorang tutor, dia harus memiliki modul, target, metode, dan banyak aspek lainnya. ’’Saya tidak mempunyai itu semua,’’ ungkap dia.

Penghobi online game tersebut kembali berpikir. Modul atau cara apa yang akan dia terapkan. Cukup membingung­kan. Sebab, Amanda memang tidak pernah mengajar bahasa Inggris. Tetapi, dia mencoba merenungi awal-awal belajar bahasa. Amanda teringat saat dikirim ke Jordania. Kala itu Amanda mengikuti program pertukaran pelajar selama 3 bulan. ’’Ada kenangan pahit selama mengikuti program itu,’’ kenangnya.

Dia terpilih sebagai peserta pertukaran pelajar karena IQ di bidang bahasa cukup tinggi. Di Jordania, seharusnya dia belajar menguasai bahasa Arab. Namun, meski lama tinggal di Jordania, Amanda tidak pernah sedikit pun bisa berbahasa Arab. Amanda jarang berinterak­si dengan warga setempat. Dia juga jarang berkomunik­asi. Percakapan­nya hanya dilakukan dengan rekan yang bisa berbahasa Inggris. ’’Saya berpikir bahasa Inggris adalah bahasa internasio­nal. Kalau mau berinterak­si, ya harus menggunaka­n bahasa Inggris,’’ katanya.

Dia juga tidak mau belajar kultur budaya di negeri tersebut. Hasilnya, pulang ke Indonesia, Amanda tidak menguasai bahasa Arab seperti yang diharapkan dari program tersebut. ’’Saya dianggap gagal. Itu memang kebodohan saya,’’ paparnya.

Kenangan tersebut membuatnya sadar. Bila waktu itu menerapkan kultur masyarakat Jordania, Amanda pasti menguasai bahasa Arab. Kultur atau budaya menjadi kunci dari pemahaman bahasa.

Di Selandia Baru, Amanda menyatu dengan warga di sekitar kampusnya. Pada awal kuliah, bahasa Inggrisnya tidak fasih. Masih bercampur logat Indonesia. Sesekali, kalimat yang diucapkan salah. Namun, karena menyatu dengan kultur masyarakat setempat, perlahan dia bisa menyesuaik­an.

Nah, saat ini kebanyakan orang belajar tidak mengedepan­kan kultur. Mereka berdasar grammar seperti yang sering digunakan di berbagai lembaga kursus. Padahal, untuk memahami grammar, orang harus menghafal. Beban yang ditanggung makin berat. ’’Harus hafal arti per kata dan bentuk grammar. Wajar jika banyak yang mengatakan bahasa Inggris itu sulit,’’ ucap perempuan kelahiran 8 Mei 1991 tersebut.

Cara itu disampaika­n kepada puluhan anggota TNI-AL yang menimba ilmu kepadanya. Amanda menuturkan bahwa dirinya tidak punya target. ’’Saya tidak bisa menjanjika­n delapan pertemuan Anda pasti bisa berbahasa Inggris,’’ ujarnya kala itu.

Belajar bahasa harus berkelanju­tan. Tidak ada batasan masa atau waktu untuk berkomunik­asi. Karena itu, dia menyampaik­an bahwa delapan sesi yang diberi- kannya adalah upaya untuk membuka pola pikir. ’’Kelancaran bahasa Inggris bergantung kepada setiap individu,’’ ungkapnya.

Amanda sadar, anggota TNI-AL sudah sibuk dengan pekerjaan. Mereka tidak mungkin bisa dengan mudah menghafal kosakata maupun grammar. Karena itu, pendekatan kultur dianggapny­a paling tepat. Termasuk kultur militer. ’’Persoalan logat, perlahan mereka akan tahu mana yang tepat dan tidak,’’ tuturnya.

Amanda menyatakan, interaksi antara satu orang dan orang lain bakal terjadi bila ada unsur saling memahami. Meski bahasa yang diucapkan memakai kultur dan logat Indonesia serta orang asing paham, tidak ada masalah. ’’Berkomunik­asi tanpa menggunaka­n grammar pun bisa. Yang penting, lawan bicara paham dan respek,’’ ujarnya.

Berbicara dengan orang yang tidak respek atau penghargaa­n dari lawan bicara sungguh tidak enak. Sebaliknya, kalau lawan komunikasi menghargai, menggunaka­n bahasa apa pun tidak menjadi masalah. ’’Sebaliknya, yang terjadi justru saling mengajari logat yang sebenarnya,’’ kata Amanda. (*/c14/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia