Jawa Pos

Setengah Hati untuk Palestina

Pidato Presiden AS Donald Trump Rabu lalu (6/12) menyulut kemarahan banyak negara. Tak sedikit yang mengancam untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan AS. Tapi, ada juga yang adem ayem. Salah satunya Arab Saudi.

-

Yang kami inginkan dari para pemimpin Arab dan muslim adalah tindakan nyata dan bukan pernyataan kecaman saja.

ITU adalah sepenggal kalimat khotbah yang disampaika­n Imam Masjidilaq­sa Syekh Yousef Abu Sneineh di hadapan 27 ribu jamaah salat Jumat (8/12) yang mayoritas merupakan warga Palestina sebagaiman­a dilansir Time.

Kalimat tersebut seakan mewakili kekesalan Palestina atas dukungan setengah hati dari negara-negara Arab terhadap wilayah yang belum juga diakui secara resmi sebagai sebuah negara itu. Khotbah tersebut dilontarka­n sesaat sebelum melakukan aksi menentang pernyataan Trump bahwa Jerusalem adalah ibu kota Israel.

Arab Saudi adalah contoh nyata dari khotbah Syekh Yousef. Di saat Palestina berjuang mati-matian untuk menjadi sebuah negara, Saudi lebih sibuk dengan urusan internal negaranya dan konflik perebutan kekuasaan dengan Iran. Pangeran Mohammad bin Salman juga sangat jarang menyebut-nyebut soal pembicaraa­n damai Israel-Palestina.

Dia bahkan pernah menyatakan bahwa urusan Palestina bukanlah prioritas dibanding perlawanan terhadap hegemoni Iran. Karena itu, tak heran bulan lalu sempat muncul hastag Riyadh more important than Jerusalem atau Riyadh lebih penting dibandingk­an Jerusalem di media sosial. Pernyataan tersebut didukung ribuan warga Saudi dari berbagai kalangan.

Shadi Hamid, pejabat senior di Brookings Institutio­n, Washington, mengungkap­kan, sebagian besar negara-negara Arab memang sepertinya tak keberatan dengan pernyataan Trump atas Jerusalem. Sebab, mereka kini memiliki kedekatan dengan Israel karena samasama memusuhi Iran.

”Jika saja pejabat Saudi, termasuk putra mahkota, benar-benar khawatir dengan status Jerusalem, mereka bakal menggunaka­n status istimewany­a sebagai sekutu AS dan melobi untuk menghentik­an langkah (Trump) itu,” tegas Hamid sebagaiman­a dilansir kantor berita Reuters kemarin (9/12). Trump tidak akan melanjutka­n tindakanny­a jika saja Saudi mengambil sikap tegas tentang batasan mana yang boleh dan tidak terkait konflik Israel-Palestina.

Saat Trump memproklam­asikan Jerusalem sebagai ibu kota Israel, dunia mengecam. Saudi juga mengeluark­an kecaman. Tapi, di belakang panggung, negara penjaga dua situs suci umat muslim itu malah mendukung proposal perdamaian AS yang menguntung­kan Israel.

New York Times melaporkan, dalam pertemuan dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas di Riyadh November lalu, Saudi malah menawarkan Abu Dis sebagai ibu kota Palestina. Abu Dis hanyalah kota kecil di pinggiran Jerusalem. Palestina juga ditawari kekuasaan parsial di Tepi Barat.

Keinginan Palestina menjadikan Jerusalem Timur sebagai ibu kota negara bukanlah perjuangan yang baru dilakukan, tapi Saudi sepertinya mengabaika­n hal tersebut. Mereka seakan rela wilayah yang di dalamnya terdapat Masjidilaq­sa itu jatuh ke tangan Israel. Padahal, dunia mengakui pendudukan Israel di Jerusalem Timur tidak sah.

Beberapa pejabat Palestina juga mengungkap­kan, selama beberapa pekan sebelum pernyataan Trump, Saudi malah mendesak Palestina untuk menerima tawaran perdamaian yang digagas AS. Tawaran itu tentu saja sangat merugikan Palestina. Sejak Trump menjabat, hubungan AS-Saudi memang kian erat karena samasama memusuhi Iran.

Mohammad dan Abbas telah mendiskusi­kan tawaran Trump dan menantunya, Jared Kushner, tentang proposal perdamaian Israel-Palestina. AS rencananya mengungkap proposal itu pada pertengaha­n 2018.

Gedung Putih menyatakan bahwa Kushner tak pernah meminta Mohammad untuk membujuk Abbas. Tapi, itu tidak mengubah kenyataan bahwa Saudi berpihak pada AS.

Setali tiga uang, negara-negara mayoritas muslim lainnya juga bersikap seperti Saudi. Dulu Syria, Mesir, dan Iraq menjadi tonggak kekuatan Arab, tapi kini tidak lagi. Sama dengan Saudi, mereka sibuk dengan urusan sendiri. Mesir, misalnya. Tak ada lagi massa yang turun ke jalan dalam jumlah besar untuk memberikan dukungan kepada Palestina seperti yang terjadi pada 1990 dan 2000-an. Di bawah kepemimpin­an Abdel Fattah al-Sisi yang represif, massa kian jarang melakukan protes.

Sisi juga terkenal sebagai salah satu sekutu Trump. Dalam KTT di Riyadh Mei lalu, Raja Salman, Sisi, dan Trump berfoto bersama yang menunjukka­n kedekatan mereka. September lalu Sisi juga bertemu PM Israel Benjamin Netanyahu secara terbuka. Mengharap dukungan dari Syria dan Baghdad tentu tidak mungkin. Dua negara itu masih harus tertatih-tatih menata diri karena perang yang berkepanja­ngan. (sha/c17/any)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia