Merayakan Seni Rupa M
EMUNGUT satu per satu batu apung yang terserak di sungai merupakan proses berkarya I Made Djirna, perupa yang kiprahnya di dunia seni rupa kita sudah tidak perlu diragukan lagi.
Rangkaian setidaknya enam ribu batu apung itu menjadi suatu mahakarya yang menarik minat pengunjung Jakarta Biennale 2017. Karya instalasi bertajuk Unsung Hero tersebut merupakan hasil perenungan yang mendalam tentang orang-orang biasa yang sering kita lupakan. Mereka tetap berkarya walaupun tidak banyak diketahui atau diakui oleh orang lain.
Karya spektakuler Djirna itu merupakan salah satu karya seni rupa dari setidaknya 54 seniman –lebih dari separonya merupakan seniman asing– yang menyertakan karyanya dalam perhelatan Jakarta Biennale yang berlangsung sebulan, 4 November–5 Desember 2017, di Gudang Sarinah, Pancoran, Jakarta. Pengunjung bisa melalui jalan setapak memasuki untaian batu apung yang menjulang tinggi dan mengamati pahatan berbagai ekspresi dan mimik wajah-wajah manusia yang jasanya terlupakan itu.
Jakarta Biennale 2017 mengambil tema ’’Jiwa’’. Jiwa dimaknai sebagai semangat yang terwujud dalam setiap unsur kesenian. Jiwa sebagai semangat berarti jiwa sebagai identitas. Dengan mencoba melihat beberapa pelaku dan kisah-kisah yang terlupakan, diharapkan biennale ini bisa menghadirkan kembali atau memberikan peluang kehadiran jiwa seni rupa Indonesia.
Tema Jiwa menurut Melati Suryodarmo, direktur artistik Jakarta Biennale, bisa dimaknai sebagai daya hidup, energi, dan semangat yang merupakan dorongan hakiki pada individu, kolektivitas, masyarakat, bendabenda, dan alam.
Dengan semangat tidak melupakan sosok Semsar Siahaan yang merupakan ikon utama aktivisme seni rupa Indonesia, dihadirkan retrospektif beberapa karyanya berupa lukisan, poster, gambar, dan sejumlah arsip pribadi, seperti buku harian yang ditulisnya ketika berada di luar negeri pada 1998–2002. Banyak penikmat seni terkesiap saat menyaksikan lukisan almarhum Semsar berjudul Para Pekerja Perempuan di Antara Pabrik dan Penjara. Mereka ikut merasakan kecemasan yang dialami empat buruh wanita, satu di antaranya menggendong bayi, di antara mawar dan kawat berduri.
Perupa yang tinggal di Bali Gede Mahendra Yasa menyikapi artefak peninggalan sejarah yang sengaja mau dilupakan dengan caranya sendiri. Hendra menggunakan campuran bahan encaustic di atas kanvas untuk empat karya lukisan yang diciptakannya. Encaustic adalah bahan yang telah digunakan sejak zaman Mesir Kuno. Hendra menghadirkan kembali bahan itu sebagai simbol perlawanan terhadap penghancuran benda-benda peninggalan peradaban tempo dulu oleh ISIS, kelompok bersenjata di Syria dan Iraq.
Perhelatan tersebut diramaikan juga oleh beberapa seniman asing. Misalnya, Arin Rungjang dari Thailand. Seniman yang berhasil masuk ke pentas elite seni rupa dunia dengan tampil di Documenta tahun ini, ajang seni rupa lima tahunan tingkat dunia. Untuk publik Jakarta, Arin menyajikan instalasi video tujuh kanal berdurasi enam menit yang menampilkan orkes keroncong dengan penyanyi Rachel Saraswati, putri bungsu almarhum W.S. Rendra dan Sitoresmi, yang melantunkan lagu Bengawan Solo. Suaranya yang mengalun merdu mendayu-dayu menciptakan nuansa adem tentrem. Padahal, di balik itu, Arin mencoba mengingatkan kita tentang kelamnya salah satu sisi sejarah bangsa kita saat mayatmayat mengalir di Sungai Bengawan Solo yang merupakan korban pembantaian pasca pemberontakan PKI 1965.
Sosok wajah perempuan yang terlukis di dinding mencekam para pengunjung. Raut wajah yang gelisah itu merupakan karya Luc Tuymans, seniman dari Belgia. Segelisah Luc saat cat yang dibawanya tertahan di Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta dan baru bisa lolos dua hari sebelum pembukaan perhelatan besar ini. Lukisan dinding Twenty Seventeen menampilkan seraut wajah pucat yang terlihat seperti topeng muncul dari kegelapan dengan mata terbelalak lebar.
Luc selama ini dikenal sebagai seniman yang bergelut dengan mediasi dan penerjemahan found images, gambar-gambar yang ditemukan kembali. Hasil karyanya berupa ketidakkonsistenan struktur ingatan masa lalu, seperti halnya sejarah lisan yang membuka kemungkinan untuk ditemukan kembali dan kemungkinan mengungkapkan suatu kebenaran baru. Museum MACAN Dalam waktu hampir bersamaan, Jakarta juga diramaikan pameran seni rupa di Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN). Museum publik itu merupakan oase di tengah keringnya museum seni rupa yang layak diapresiasi oleh masyarakat Indonesia.
Museum MACAN didirikan oleh Haryanto Adikoesoemo, seorang pengusaha. Pameran kali ini menampilkan koleksi karya-karya seni rupa dari dalam negeri dan mancanegara, sejak era seni rupa modern hingga seni rupa kontemporer, mulai abad ke-19 hingga kini.
Dalam penampilan yang pertama untuk publik ini, Museum MACAN mengusung tema ’’Seni Berubah. Dunia Berubah’’. Karyakarya yang dipamerkan menunjuk bagaimana seniman menjadikan seni sebagai cerminan peristiwa yang terjadi pada masa itu dan bagaimana mereka melihat dunia sekitarnya dari kacamata seni.
Sembilan puluh karya dari 70 seniman yang dikoleksi Haryanto ditampilkan di museum tersebut. Karya-karya seniman kelas dunia, misalnya Mark Rothko, Andy Warhol, Keith Haring, Damien Hirst, Jeff Koons, Cai Guo Qiang, Ai Weiwei, Wang Guangyi, Yoshitomo Nara, Takashi Murakami, dan Yayoi Kusama, bersanding dengan karya-karya perupa Indonesia, antara lain Raden Saleh, Dullah, Affandi, Sudjojono, Heri Dono, I Nyoman Masriadi, Christine Ay Tjoe, Handiwirman Saputra, Rudi Mantofani, dan I Dewa Ngakan Made Ardana.
Karya Floating Garden dari seniman Entang Wiharso menghiasi seantero ruang bermain anak-anak yang terletak di dalam kawasan museum. Entang menampilkan dunia mimpi anak-anak menjadi realitas seolah-olah taman bermain yang terapung. Karya tersebut dipesan khusus oleh museum untuk menghiasi dan menyemarakkan ruangan yang didedikasikan untuk anak-anak sehingga sejak dini mereka bisa bersentuhan nyata dengan dunia seni rupa.
Pengunjung juga banyak memelototi karya Yukinori Yanagi dengan judul ASEAN +3 yang menampilkan karya instalasi kotak benderabendera yang terbuat dari pasir berwarna dan di dalamnya dimasukkan koloni lima ribu ekor semut hidup yang terhubung melalui selang plastik di antara bendera-bendera tersebut. Seiring waktu, semut-semut itu akan membuat terowongan yang menghubungkan satu kotak bendera dengan kotak bendera yang lain, perwujudan dari 10 bendera negara ASEAN plus tiga negara lainnya, yaitu Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan.
Pergerakan semut itu melambangkan dinamika dan kolaborasi yang terjadi saat orang-orang berpindah di antara 13 negara tersebut. Globalisasi adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik saat ini.
Beruntunglah Jakarta bisa merayakan dua perhelatan seni rupa bertaraf internasional itu. (*)