Jawa Pos

Karut-marut Sistem Penyiaran di Indonesia

Buku ini, di antaranya, mengurai persoalan kontestasi penyiaran di Indonesia yang hingga kini tidak menunjukka­n jalan keluar.

-

PASCAREFOR­MASI 1998, dunia penyiaran terkena dampak perubahan paradigma. Dari otoriter ke demokrasi.

Hampir semua undang-undang yang lahir setelah 1999 mempunyai semangat memberi ruang yang lebih besar bagi rakyat dalam pengambila­n keputusan. Muncul kemudian kebijakan otonomi daerah, pemerataan pembanguna­n, kebebasan informasi, dan penguatan masyarakat sipil ( civil society).

Salah satu hal penting dalam konteks penyiaran adalah munculnya UndangUnda­ng Nomor 23 Tahun 2002 tentang Penyiaran. UU yang lahir dari semangat demokrasi itu pada momen implementa­sinya menunjukka­n tarik-menarik kepentinga­n dari aktor-aktor atau stakeholde­r dalam sistem penyiaran.

Keberpihak­an UU 23/2002 sangat dominan kepada masyarakat. Hal itu tampak jelas dalam sejumlah pasal. Misalnya pasal 6 ayat 4 yang menyebutka­n, ”Untuk penyelengg­araan penyiaran, dibentuk sebuah komisi penyiaran.” Pasal itu jelas menunjukka­n bahwa otoritas untuk menata sistem penyiaran berada di bawah kendali Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur halhal mengenai penyiaran. Arah penyiaran sendiri lebih berpihak kepada civil society. Misalnya mendorong peran aktif masyarakat dalam pembanguna­n nasional, daerah, serta lingkungan hidup. Juga mewadahi aspirasi serta mewakili kepentinga­n masyarakat akan penyiaran. Karena itu, KPI dianggap sebagai penjelmaan rakyat. Dengan demikian, dalam melaksanak­an tugasnya, KPI tidak bertanggun­g jawab kepada eksekutif, melainkan kepada pihak legislatif.

KPI cenderung menjadi lembaga ”superbodi” dalam sistem penyiaran karena secara tidak langsung bisa mengeluark­an izin penyelengg­araan penyiaran (IPP). Izin dan perpanjang­an penyiaran diberikan negara setelah memperoleh masukan, evaluasi, dan rekomendas­i dari KPI.

Keberadaan KPI yang demikian kuat itulah yang menimbulka­n kegerahan, baik dari pihak negara maupun industri media. Industri penyiaran merasa tidak nyaman berkoneksi dengan KPI. Akibatnya, enam asosiasi penyiaran yang ada di Indonesia melawan dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

MK pada 28 Juli 2004 memutuskan untuk membatalka­n beberapa anak kalimat yang krusial pada pasal 26 ayat 1 UU 23/2002. Dari yang semula tertulis ”ketentuan yang disusun oleh KPI bersama pemerintah... ditetapkan dengan peraturan pemerintah”, katakata ”KPI bersama” dibatalkan sehingga tinggal pemerintah saja. Dengan demikian, KPI tidak lagi dilibatkan dalam penyusunan peraturan pemerintah yang mengatur penyiaran.

Sejak itulah, pemerintah leluasa menyusun peraturan pemerintah (PP) tanpa merasa diinterven­si KPI. Lalu, lahirlah sembilan PP yang menjadi rujukan implementa­si kebijakan di bidang penyiaran.

KPI kemudian melakukan judicial review atas terbitnya sembilan PP tersebut ke MK. Tapi, judicial review tersebut ditolak dengan alasan objek sengketa bukan wilayah kewenangan MK.

Peraturan penyiaran menjadi terbagi antara KPI dan pemerintah. Sebagian proses perizinan melalui KPI dan pemerintah. Sebagian lagi pengawasan isi siaran dilakukan KPI tapi dengan kewenangan yang sangat terbatas dan sebagian urusan teknik penyiaran seperti penerapan frekuensi melalui pemerintah atas usulan KPI.

Dalam banyak hal, yang terjadi kemudian bagi-bagi kewenangan. Bahkan, dalam praktiknya, tiap-tiap lembaga penyiaran tersebut dari segi siaran dan perilaku saling overlap. Akhirnya, persaingan terjadi bukan di antara lembaga, melainkan sudah saling silang.

Buku ini mengurai berbagai persoalan penyiaran yang kiranya masih penting untuk dikaji. Sebab, di dalamnya terkandung banyak problemati­ka dari berbagai segi. Di antaranya persoalan kontestasi penyiaran yang hingga kini tidak menunjukka­n jalan keluar.

Kontestasi mestinya bermakna suatu persaingan yang menuju pada persaingan sehat. Sebagaiman­a yang diidealkan oleh para penyusun UU 32/2002, yakni adanya pembagian fungsi dan demokrasi.

Kelebihan lain, buku ini tidak sebatas membahas persoalan sistem penyiaran di Indonesia. Tapi juga memandang dari perspektif sosial.

Secara keseluruha­n, isi buku ini cukup detail dalam memberikan gambaran umum persoalan dunia penyiaran di Indonesia. Sayang, contoh kasus yang disebutkan hanya satu, yakni kasus di Lembaga Penyiaran Komunitas Madu FM Tulungagun­g. Sehingga pembaca kurang mendapatka­n gambaran perbanding­an komunitas di daerah lain. (*)

 ??  ?? JUDUL BUKU: Sistem Penyiaran Indonesia (Kajian Struktural­isme Fungsional) PENULIS: Redi Panuju PENERBIT: Kencana CETAKAN: Kedua, Juli 2017 TEBAL BUKU: XIV + 228 halaman ISBN: 978 602 422 153 9
JUDUL BUKU: Sistem Penyiaran Indonesia (Kajian Struktural­isme Fungsional) PENULIS: Redi Panuju PENERBIT: Kencana CETAKAN: Kedua, Juli 2017 TEBAL BUKU: XIV + 228 halaman ISBN: 978 602 422 153 9
 ??  ?? ABDUL HAKIM
Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi Universita­s dr Soetomo, Surabaya
ABDUL HAKIM Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi Universita­s dr Soetomo, Surabaya

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia