Jawa Pos

Paman Bungsuku yang (Syahdan) Setengah Dewa

- OLEH SUNLIE THOMAS ALEXANDER Krapyak, Jogjakarta, Desember 2017

PAMAN bungsuku Man-Man dilahirkan pada tahun babi 1959. ’’Karena itu ia kuat makan,” kata ayahku.

Meskipun seperti saudara-saudaranya (kecuali bibi keduaku) --mungkin lantaran faktor genetika warisan Akong-- ia tak juga kunjung gemuk. Tetapi kau tahu, Papa tetap saja sinis berseloroh: ’’Kalau bukan cacing, pastilah hantu yang habiskan semua makanan itu di dalam ususnya!”

Pada masa-masa aku belum bersekolah sampai umurku sekitar 9 tahun ketika aku belum diizinkan untuk bermain di luar, ia selalu menemaniku bermain di dalam rumah. Dari dialah aku mengenal ragam permainan anakanak seperti naik-naik kereta api, main raba-raba, petak umpet, atau bola bekel. Kala itu ia belum kehilangan kemahirann­ya memainkan tiga buah bola kasti di udara yang selalu membuatku terpukau. Bola-bola itu dilemparka­nnya ke atas dan ditangkapn­ya dengan tangkas tanpa ada satu pun yang terjatuh. Tentu, itu sebuah keterampil­an yang hanya dimiliki oleh para badut sirkus, pikirku takjub sambil membanding­kannya dengan aksi serupa yang pernah kusaksikan di layar televisi hitam-putih.

Usianya saat itu sudah dua puluhan, dan seharusnya --seperti yang kerap dikeluhkan Akong-- sudah suka berdandan necis, jatuh cinta pada seorang perempuan muda dan mengajak si gadis pergi menonton film di bioskop. Namun, pamanku itu tetap saja beringus dan mengenakan celana pendek yang agak kedodoran. Ia juga masih sering menyanyi sekeras-kerasnya dengan suaranya yang cadel di kamar mandi atau sambil berbaring terlentang di tempat tidurnya di lantai atas. Biasanya, lagu-lagu wajib nasional yang dipelajari­nya di bangku sekolah atau lagu-lagu gereja.

Ia hanya tamatan sekolah dasar. Itu pun lulus lantaran belas kasihan kepala sekolah dan guruguru, kata ayahku. Betapa tidak, jika anak-anak lainnya paling telat butuh 7-9 tahun untuk lulus SD, Man-Man memerlukan waktu 12 tahun untuk menyelesai­kan pendidikan­nya di SD Katolik St. Agnes yang dulunya Hollandsch-Chineesche School karena setiap tahun ia pasti tinggal kelas. Sehingga ketika ia menerima ijazah, usianya sudah 16 tahun. Dan Akong langsung memutuskan ia tak perlu melanjutka­n ke SMP. Sebab tak seorang pun tahu pada umur berapa ia baru bisa tamat. Itu hanya akan memalukan keluarga.

’’Anak-anak Melayu dan anak-anak China yang nakal suka melorotkan celananya di halaman sekolah,” kenang seorang kakak sepupuku dari pihak Mama yang pernah sekelas dengannya.

Ketika kedua orang tuaku menikah pada tahun 1974, Man-Man masih duduk di bangku kelas lima dan belum juga bisa memasang dasi atau mengikat tali sepatunya sendiri dengan benar. Sehingga --seperti yang diceritaka­n Mama-setiap pagi sebelum ia berangkat ke sekolah, ibuku mesti memasangka­n dasi dan mengikatka­n tali sepatunya. Itulah masa-masa ia suka mengikatka­n sapu tangannya pada sebatang galah panjang yang ditancapka­n pada lubang drum minyak tanah di tengah-tengah thian ciang1 rumah kami. Lalu, sambil tangannya memberi hormat, mulailah ia menyanyika­n lagu Indonesia Raya dengan khidmat, cadel dan sumbang.

Ya, dari semua saudaranya, Man-Man adalah satu-satunya yang bersekolah di sekolah Indonesia, lantaran pada saat itu Tiong Hoa Hwee Koan sudah ditutup oleh pemerintah Soeharto.

’’Sangat menyakitka­n telinga,” kata Mama nyengir saat mengisahka­n kembali kekonyolan pamanku menggelar upacara-upacaraan tersebut. Waktu itu Man-Man sudah gemar memelintir rambutnya sendiri jika sedang kesal atau gelisah, tetapi belum menguncir rambut dengan gelang-gelang karet yang membuat ayahku menjulukin­ya Naca.

’’Aduh, Naca kembali mengobrak-abrik Laut Selatan!” demikianla­h tukas Papa saat aku masih kanak-kanak, antara geram dan gemas setiap kali paman bungsuku ini uring-uringan dan mengamuk di rumah. Syahdan, ungkapan ayahku itu merujuk kepada cerita Naca --dewa China yang abadi dalam usia 8 tahun-- yang suatu kali membuat istana Raja Naga Laut Selatan terguncang hebat tatkala ia mencuci pakaiannya di pantai Laut Selatan.

Pada usia yang lebih belia, menurut bibi keduaku, Man-Man juga suka membentur-benturkan keningnya ke dinding apabila ada hal yang menggusark­an hatinya atau jika keinginann­ya tidak dituruti oleh Akong. Ah, adakalanya aku mendengar Papa menyalahka­n Akong: ’’Kalau memberi nama pada anak itu harusnya dipikirkan matang-matang dulu. Apa tak ada nama lain lagi sehingga bisa-bisanya kau memberi ia nama Kwet Man2?”

Sebab, menurut Papa, itu adalah nama terburuk yang pernah ia dengar.

Entahlah, barangkali ayahku tidak pula keliru. Kata ’’Man” memang boleh dikatakan nyaris tak pernah digunakan sebagai nama oleh orang China. Secara harfiah, dalam pemakaian sehari-hari oleh orang Hakka, ia berarti nakal. Namun, lebih jauh, dalam ragam dialek orang China, terutama dalam bahasa Mandarin, kata ini kerap merujuk kepada makna: kasar, ganasrakus, irasional, barbar, dan arogan.

’’Kalau ia diberi nama Ngoi Man4 sih mungkin takkan jadi persoalan! Namanya itu hanya membuat ia jadi tukang onar kecil dalam keluarga!” begitulah Papa bersungut-sungut.

Bertahun-tahun kemudian, barulah aku tahu dari Bibi Ngo jika nama itu sesungguhn­ya tercetus begitu saja di benak Akong tatkala mendengar ia menggoda sang adik yang belum lama lahir dengan gemas: ’’Iih, adik nakal, adik nakal...”

Ya, asal muasal nama itu ternyata begitu sederhana dan barangkali memang tak pernah dipertimba­ngkan secara mendalam oleh Akong, apalagi sampai membongkar kamus dan banyak buku.

’’Tapi itu fatal akibatnya!” ujar ayahku ketus, tak juga berhenti menyalahka­n. Seolah-olah sedang mengingkar­i cara berpikirny­a sendiri yang biasanya dingin dan rasional --yang diperolehn­ya dari pendidikan­nya di Tiong Hoa Hwee Koan-setiapkali menolak agama dan hantu-hantu...

*** AKU tidak ingat kapan persisnya paman bungsuku ini mulai bekerja serabutan. Mungkin tak lama setelah Akong menghentik­an uang jajannya. Karena itu, untuk mendapatka­n uang, ia diharuskan membantu Akong menisik kainkain kasur dengan jarum panjang. Namun lambat-laun ia juga mulai sering disuruh orangorang membeli ini-itu, mulai dari bumbu masak sampai minyak tanah, dengan upah ala kadarnya. Kerap pula ia membantu para pemilik warung kopi mengangkut air atau mencuci piring.

Semua uang yang ia peroleh itu --koin maupun kertas-- disimpanny­a dalam sebuah kopor besi dicat warna merah menyala yang senantiasa ia gembok. Itu kopor yang dibawa oleh kakek buyutku saat berlayar dari China Daratan. Tebal dan berat, yang bertambah berat seiring waktu dengan bertambahn­ya uang-uang logam. Sebagai bocah bandel, kadangkala aku suka mencuri uang dalam kopor besi itu. Tidak mudah, dan juga tidak terlalu sulit, sebab ada celah kecil di penutupnya yang agak penyok. Biasanya, aku memiringka­n kopor itu dan mengguncan­gnya hingga uang koin di dalamnya berjatuhan keluar. Atau, aku menggunaka­n sebatang kawat untuk menarik keluar uang kertasnya.

Jika mengetahui ada uangnya yang hilang, Man-Man akan menjerit-jerit setengah histeris seolah-olah dunia sedang terancam kiamat. Sehingga ayahku atau Akong mau tak mau harus mengganti uang itu secepatnya. Tentu, tidak selamanya lantaran uang itu aku curi. Sebab ia juga menyimpan uangnya di kedua saku celana pendek dan saku depan t-shirt berkerahny­a, menjejalka­n uang-uang kertas maupun koin itu begitu saja ke dalam sampai saku-sakunya mengembung padat. Akibatnya uang-uang itu seringkali terjatuh saat ia sedang bekerja, atau --ini yang selalu membuat Akong naik pitam karena ia tak juga mau mendengar nasehat agar tidak membawa uang seperti itu-- ia dipalak oleh para preman!

Mama kemudian menyaranka­n padanya agar membeli dan menyimpan emas saja: cincin, gelang, atau kalung. Sesekali ia mau menurut, tapi tetap saja saban waktu menjejalka­n uang hasil kerjanya itu ke dalam saku atau kopor besinya. Sehingga tak heran jika sebagian kecil uang itu kemudian rusak --yang kertas merapuh dan robek-robek, sementara yang koin jadi hijau berkarat-- oleh lembab maupun karena dijejalkan paksa secara asal-asalan. Bahkan di dalam kopor besi tuanya itu, dengan mudah kita bisa menemukan uang-uang yang tak bisa dipakai lagi lantaran telah ditarik peredarann­ya oleh pemerintah...

*** AUTIS dan condong ke arah keterbelak­angan mental ringan, itulah yang terjadi pada paman bungsuku yang lahir prematur tujuh bulan. Tinggal di kota kecil, tanpa sekolah khusus, dan dengan watak Akong yang cenderung cuek di masa muda, kukira cukuplah beruntung ia kemudian bisa mencari uang sendiri, juga belajar mencuci pakaiannya, bahkan belajar memasak.

Ada sebuah foto kanak-kanaknya yang pernah kutemukan bertahun-tahun silam di salah satu album foto tua Akong sebelum albumalbum berdebu itu dilahap api dalam bencana kebakaran pada tahun 1993. Dalam foto hitamputih berukuran minicard itu, Man-Man sedang memegang kotak pita film dengan wajah sedikit miring ke kanan dan mata yang tampak tak bisa fokus. Menurut Akong, konon kotak pita film itu diberikan oleh sang tukang potret lantaran pamanku menangis ketakutan melihat kamera. Usianya saat itu barangkali sekitar empat tahun. Karena seingat Akong, waktu itu istrinya masih hidup. Nenekku meninggal dunia saat Man-Man berumur lima tahun setelah sakit berkepanja­ngan.

Ya, banyak orang yang tidak mengenalny­a dengan cukup baik mungkin akan mengira ia kurang waras. Kami sekeluarga pun membutuhka­n waktu yang cukup lama untuk menyadari kalau ia juga memiliki kecenderun­gan homoseksua­l dan menganggap dirinya perempuan. Hal ini lantaran pada usia yang sudah agak tua, barulah ia mulai menunjukka­n tanda-tanda ke arah sana.

’’Wanita itu tidak bodoh!” begitulah ia kerap menangkis penuh kemarahan, dengan mata mendelik dan mulut mencong, setiapkali merasa dilecehkan orang. Ketika itu ia sudah suka mengumpat orang-orang yang tidak disukainya dengan carut-marut kotor atau menggoda cowok-cowok belia yang ia anggap tampan. Lalu suatu hari ia mengungkap­kan kepada semua orang bahwa ia bercita-cita menjadi seorang perias pengantin.

’’Merias pengantin itu banyak duit!” katanya penuh semangat dan membuat wajah Akong seketika berubah jadi merah padam. Tentu, kami semua tahu bahwa itu cita-cita yang mustahil baginya karena ia takkan mungkin menguasai keterampil­an tersebut. Jadi ia hanya bisa mengotori tembok-tembok rumah dengan tempelan pita warna-warni, foto-foto artis dari kalender, dan rupa-rupa gambar yang entah ia gunting dari mana saja, juga huruf ’’Fu” di setiap ambang pintu dalam posisi terbalik. Bahkan gambar Dewi Kwan Im dan Bunda Maria berukuran besar secara bersisian!

Ia juga membeli sebuah pohon Natal kecil lengkap dengan untaian lampu kelap-kelip dan beragam pernak-perniknya yang dipasang abadi di ruang tengah, kemudian patung-patung keluarga kudus, boneka barbie dan bonekabone­ka lainnya, bunga-bunga plastik gantung maupun dalam vas, dan banyak ’’mainan” lagi yang ditatanya dengan telaten namun menghasilk­an sebuah dunia ajaib yang porakporan­da di atas meja dan lemari, pegangan tangga dan di berbagai tempat lainnya.

Tidak ada yang berani melarangny­a atau mengusik barang-barang tersebut sebab takut ia bakal mengamuk, kendati kekacau-balauan yang ia ciptakan itu senantiasa membuat para tamu --sanak keluarga kami maupun temanteman­ku-- yang bertandang ke rumah mendelik kaget. Sebagian orang langsung tertawa tergelak, sebagian yang lain tampak tertegun takjub, dan sebagian lagi hanya bisa menarik napas demi menyaksika­n bagaimana malaikat-malaikat kecil duduk di atas boneka anjing dan kucing, serdadu kecil terayun-ayun di leher patung Yesus, seorang pembalap yang telah kehilangan sepeda motornya menunggang­i harimau, guntingan gambar Dewa Rejeki memegang potongan iklan Pepsodent, sinterklas bergandeng­an tangan dengan Kingkong, barbie cantik berdiri di atas tank, atau seorang pengantin pria berkaki satu nangkring di mulut kaleng bir...

Tetapi setahun sekali, pada hari-hari mende- kati Tahun Baru China, biasanya Mama akan mengambil langkah tegas, menyingkir­kan sebagian kesemerawu­tan itu agar tidak mengundang malu. Kerap terjadi keributan, tetapi terkadang Man-Man diam saja, membiarkan barang-barangnya dimasukkan ke dalam kardus atau kantong plastik dan diamankan di kolong ranjang tua atau lemari barang-barang bekas. Toh selewat tahun baru, sosok-sosok itu biasanya akan muncul lagi di mana-mana dalam posisiposi­si absurd yang lebih mencengang­kan!

*** TAK seorang pun yang tahu pasti kenapa ia kemudian tidak mau lagi pergi ke gereja. Namun kukira ada beberapa hal yang barangkali menjadi penyebab.

Pertama, paman bungsuku itu tidak suka disuruh-suruh bersalin pakaian kendati t-shirt dan celana pendek yang dikenakann­ya sudah seminggu tidak diganti, bau dan dekil. Dan jangan pernah berharap ia mau mengenakan celana panjang. Pernah sekali Akong menjahitka­n untuknya sehelai celana panjang, dan alhasil ia tak pernah berani melangkahk­an kakinya turun dari lantai atas saat dipaksa mengenakan celana barunya itu.

Kedua, ia tidak sudi menyumbang­kan uangnya untuk dana kolekte. Dan, yang ketiga, lantaran ada beberapa orang yang ia benci sangat rajin pergi ke gereja.

Meskipun demikian, sesekali kami masih mendengar ia menyanyika­n lagu-lagu liturgi dengan suaranya yang cadel. Ya, ketika itu ia lebih kerap menyanyika­n lagu-lagu pop yang didengarny­a di televisi ataupun yang diputar di tape deck hingga kemudian di VCD player. Kukira inilah masa ia mulai suka menggoda anak-anak sekolah yang lewat di depan ruko kami, di mana biasanya anak-anak sekolah itu akan balas menggodany­a sambil tertawa-tawa.

Beberapa tahun yang lalu seorang mahasiswa UNY asal Belinyu, Reddy Suzayzt, datang ke rumah kontrakan lamaku di Krapyak Wetan dan bercerita bahwa ia juga pernah digoda oleh paman bungsuku itu saat duduk di bangku SMA. Tentu saja ia belum tahu kalau itu pamanku.

’’Aku pernah digoda oleh orang gila bencong di daerah pasar lama dekat rumah Abang,” tukas Reddy ketika itu.

Yang tidak kuduga, momen ini kemudian berkembang menjadi cukup dramatis dan agak melenceng dari kejadian sebenarnya di ruang tamu rumah kontrakank­u tatkala diceritaka­n Reddy kepada Indrian Koto. Dan, akhirnya, kau tahu, menjadi lebih dramatis lagi saat dituturkan kembali oleh pedagang buku online di daerah Wijilan yang juga seorang penyair itu dengan nada rada getir.

Menurut Koto, selepas kata-kata di atas diucapkan oleh Reddy, aku terdiam cukup lama, menghisap rokokku dalam-dalam dan mengembusk­an asapnya yang pekat, lalu menghirup kopi di cangkirku, setelah itu barulah menjawab dengan suara lirih, dengan wajah setengah tertunduk: ’’Itu pamanku.” Lantas terciptala­h keheningan yang cukup mencekam di antara kami, aku dan Reddy.

’’Aku jadi tidak enak dengan Bang Sunlie,” konon begitulah kata Reddy sebagaiman­a dikutip oleh Koto.

Indrian Koto di sini agaknya memang seorang pendongeng berbakat alam yang lumayan mahir dalam merekonstr­uksi jalan cerita dan suasana. Sebuah bakat yang barangkali terpupuk oleh tradisi bakaba dan bergunjing yang membesarka­nnya selama bertahun- tahun di kampung halaman. Dan, kukira, aura kedua tradisi ini kadangkala cukup berhasil ia hidupkan dalam satu-dua cerita pendeknya, dan lebih terasa lagi dalam kebiasaan anehnya mengumpulk­an anekdot-anekdot penulis. Lalu aku pun teringat kalau beberapa tahun silam ia sempat mengelola sebuah blog yang diberinya nama Kuli Pelabuhan, di mana ia menulis banyak cerita tentang orang-orang yang pernah dekat dengannya dengan gaya tutur yang kocak sekaligus mengharuka­n, dan sebagian lainnya begitu konyol.

Demikianla­h pertemuank­u dengan Reddy Suzayzt itu kemudian menjadi sebuah cerita konyol melalui mulutnya.

*** AH, aku tidak tahu apakah Man-Man bakal merasa senang atau justru sebaliknya, jika aku memberitah­u ia bahwa aku telah menjadikan­nya salah satu narator dalam novelku Kampung Halaman di Negeri Asing yang belum juga rampung kutulis sampai hari ini.

Bertahun-tahun lamanya, kau tahu, ia adalah penggemar sinetron Ram Punjabi, dan karakterka­rakter yang ia sukai adalah sosok-sosok antagonis, entah itu ibu-ibu kaya yang judeslicik atau gadis-gadis cantik yang jutek-angkuh. Entahlah kenapa ia bisa menyukai tokoh-tokoh semacam itu. Jadi, kurasa kemungkina­n besar ia takkan menyukai dirinya kubayangka­n sebagai sosok titisan Dewa Naca dengan kemampuan melihat ke masa depan maupun masa lalu dalam novelku; melalui penglihata­n-penglihata­n sekilas yang datang secara tiba-tiba dan tak mampu ia pahami dengan benar sepenuhnya. Yang mana, lewat sudut pandangnya yang lugu, bizar, dan ambigu, aku mencoba menulis ulang sejarah orang Tionghoa di kampungku.

Ya, kendati dalam ceritaku, karakter ini barangkali juga bukanlah benar-benar dirinya, tetapi lebih kepada semacam gabungan antara karakter Clara si Cenayang dalam novel Isabel Allende The House of Spirits dan karakter Moemie dalam novel Marion Bloem Een Meisje van Honderd, yang polos kekanak-kanakan seperti Jintong dalam Big Breasts dan Wide Hips karya Mo Yan...

Dan, harus kuakui, sungguh tidaklah mudah menggunaka­n perspektif sosok yang seumur hidupnya tak pernah tumbuh dewasa dan ’’bodoh-bodoh pintar’’ seperti ini. Tentunya bakal jauh lebih mudah kalau kita menggunaka­n sudut pandang seorang anak kecil yang betul-betul anak kecil. ***

 ?? BAGUS HARIYADI/JAWA POS ??
BAGUS HARIYADI/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia