Jawa Pos

Ada Aplikasi Bahasa Bawean yang Cocok buat Pemula

-

Mobil bisa menjangkau­nya dalam 20 menitan dari Kuala Lumpur. Seluruh penduduk Sungai Salak adalah orang Bawean dan anak cucunya. Jumlah mereka sekitar 2 ribu jiwa.

Cuma satu yang bukan. Seorang perempuan. Dia tinggal di pojok kampung. Penduduk tidak kenal benar. Perempuan itu sehari-hari lebih suka menyendiri.

Sudah sekitar 30 tahun sebenarnya dia tinggal di Sungai Salak. Namun, sampai sekarang tidak ada yang tahu. Bahkan sekadar namanya. ”Kami di sini memanggiln­ya Mak Cik Eropa,” kata Azroy Manaf, anak pemilik kontrakan di Kampung Salak.

Mengapa penduduk memanggiln­ya Mak Cik Eropa? Mudah saja. Para tetangga melihatnya dengan ciri-ciri perempuan khas Benua Biru. Rambut blonde. Kulit putih. Usianya 60 tahunan.

Azroy dan keluargany­a tidak menelisik lebih dalam jati diri Mak Cik Eropa itu. Orangnya pendiam. Rumahnya sering tertutup. Dia hanya keluar saat beli lauk-pauk kepada salah seorang tante Azroy yang rumahnya bersebelah­an. Identitas lain yang diketahui hanyalah negara asal mak cik itu. Dia orang Rusia.

Kecuali sang mak cik, semua penduduk Sungai Salak saling kenal. Di sana ada sekitar 400 rumah. Rata-rata satu rumah dihuni 4 sampai 5 jiwa. Bak kampung khas di Pulau Bawean, Gresik, semua tetangga saling tahu.

Mereka sangat guyub. Juga setia kepada adat istiadat. Makanan misalnya. Seharihari mereka masih masak rujak, soto, pecel, atau rawon.

Walaupun saat berdagang di Kuala Lumpur, banyak yang berjualan makanan laut. Salah satu andalannya shell out. Shell out yang dalam bahasa Inggris berarti membayar itu berisi aneka sari laut. Macam-macam kerang, kepiting, cumi-cumi, udang. Semua dicampur aduk jadi satu dengan bumbu dan saus.

Menyajikan­nya tidak pakai piring. Cukup plastik ukuran 0,5 x 0,5 meter. Plastik dibeber di meja. Mirip anak-anak pesantren saat makan bareng. Kendurian. Rasanya luar biasa nikmat. Juga, tentu saja ancaman hebat bagi pengidap kelebihan kolesterol dan asam urat.

Selain soal makanan, mereka tetap menguriuri tradisi. Setiap malam Jumat, masih ada tahlilan. Membaca diba saat mauludan. Bahkan, selamatan cukur jambul untuk bayi usia 40 hari. Tradisi itu tetap turun-temurun. Kata Azroy, setiap tahun ada semacam festival seni.

Pencak Bawean, tari zafin mandailing, dekker (salawatan), dan kercengan (mirip hadrah) dilombakan. ”Pesertanya ribuan,” katanya kepada Jawa Pos yang mengunjung­inya akhir November lalu.

Sebagian orang Bawean menyebut diri atau disebut sebagai Suku Boyan. Asal-usul julukan itu masih menjadi tanda tanya. Sebagian menilainya sebagai utak-atik saja. Misalnya, Pulau Bawean juga dijuluki sebagai Pulau Putri. Sebab, kebanyakan penduduk lelakinya pergi merantau. Jika di satu keluarga ada empat anak lelaki, tiga akan berangkat merantau. Satu tinggal untuk menjaga rumah dan lahan pertanian. Nah, karena para perantau itu kebanyakan laki-laki, mereka disebut boy (anak lelaki)-an. Jadilah sebutan Boyan. Tentu itu cuma lelucon.

Masyarakat Bawean tahu benar arti gotong royong. Saat seorang warga membangun rumah, semua tetangga turun membantu. Membangun rumah tidak perlu berminggum­inggu atau berbulan-bulan. Sebab, orang Bawean di Malaysia memang terkenal sebagai tukang bangunan yang hebat-hebat. Sebagian bahkan sudah menjadi kontraktor kaya di Kuala Lumpur.

Di Sungai Salak, hampir semua rumah bertingkat. Dua sampai tiga. Berdirinya di perbukitan. Setiap rumah punya semacam garasi mobil. Satu, dua, sampai tiga unit. Di rumah seorang yang bekerja sebagai pengatur kereta (tukang parkir) pun, ada mobilnya. Jadilah nyaris di halaman semua rumah ada mobil parkir. Orang Bawean dikenal sebagai perantau, pekerja keras, dan berada.

Karena itu pula, Sungai Salak kerap jadi surga bagi pedagang pakaian keliling. Pakai mobil juga. Sekelas mobil niaga Avanza. Si pedagang menjajakan baju-baju perempuan. Begitu mobil datang, ibu-ibu langsung menyerbu.

Pedagangny­a tidak bisa keluar. Dia pemuda Pakistan. Ganteng. Rambut kemerahan. Mata kebiruan. Mirip bintang sinetron Fathir Muchtar.

Adat dan tradisi orang Boyan –sebutan untuk warga Bawean di Malaysia dan Singapura– itu sudah mengakar benar. Azroy menyebut dirinya adalah generasi keempat keluarga Bawean di Sungai Salak.

Buyutnya bernama H Sigit yang sudah ratusan tahun lalu datang dari Bawean ke Malaysia. Lalu, kakek dari ayahnya, H Abdul Rahman, dan ayahnya sendiri, H Abdul Manaf.

Meski demikian, masih ada perasaan sebagai orang perantauan. Mengapa? Baru akhir-akhir ini saja jati diri Bawean diakui. Di surat beranak (akta kelahiran), anak-anak orang Bawean sudah ditulis sebagai keturunan Indonesia.

Dulu hanya disebut lain-lain. Padahal, jumlah mereka di Malaysia mungkin sudah jutaan orang. Generasi-generasi mudanya telah menjadi pengusaha dan profesiona­l sukses. Manajer restoran, dosen, hingga polisi.

”Kakek, ayah-ibu, dan anak-anak kami sudah berkerakya­tan (warga negara, Red) Malaysia,” kata Hosnul Yaqin, sepupu Azroy.

Beberapa figur populer disebut sebagai keturunan Bawean. Ada Rosalina Musa alias Kak Ros, penyanyi yang kini menjadi juri ajang pencarian bakat di TV swasta.

Azroy berkomitme­n terus menguatkan ikatan orang-orang keturunan Bawean di Malaysia. Dia mendirikan organisasi bernama AOP (Anak Oreng Pebien). Anggotanya sudah sekitar 22 ribu orang. Azroy juga tengah menyusun kamus bahasa asli Bawean. Sarjana sastra itu sudah mengumpulk­an ribuan kosakata bahasa Bawean.

Mirip-mirip bahasa Madura, tapi berbeda. AOP telah meluncurka­n aplikasi Android berupa kamus bahasa Bawean-Melayu. ”Kamus itu cocok untuk pemula,” ungkapnya.

Dia juga memberikan kelas gratis untuk anak-anak Bawean. Baik di Malaysia maupun Singapura. Minimal sebulan sekali Azroy mengajar anak-anak Bawean di Singapura. ”Ya, anak-anaknya senang belajar,” ungkap bapak satu anak yang suka banget lagu-lagu band Indonesia itu. Lagu-lagu tersebut lantas diterjemah­kan dan dinyanyika­n dalam bahasa Bawean.

Padahal, Azroy bukan ”keturunan murni” Bawean. Ayahnya, H Abdul Manaf, memang orang Bawean. Namun, ibunya, Hj Maimunah, berasal dari Tanjungpin­ang, Riau.

Kepada Jawa Pos, Maimunah bercerita. Waktu itu, sekitar 1982, usianya baru 16 tahun. Gadis itu merantau ke Malaysia. Maimunah menuju Selangor dengan naik perahu kayu.

Perjalanan sekitar sehari semalam. Bekalnya cuma setandan pisang. Ditutup daun di ujung perahu. Ada penumpang lain. Semuanya lelaki asing. Mereka terlihat pesta makan pisang selama perjalanan. Maimunah juga ditawari. Karena merasa tidak kenal, dia selalu menolak. ”Saya punya pisang sendiri. Takut juga ada apa-apa. Kan tidak kenal,” ungkapnya.

Sampai suatu saat, Maimunah benar-benar lapar. Dia berniat menikmati bekal pisangnya. Namun, apa yang terjadi? ”Astagfirul­lah. Pisang saya tidak ada,” tutur perempuan 51 tahun tersebut. Maimunah harus menahan lapar. Sendiri di tengah laut. Sampai akhirnya di mendarat dan bertemu Abdul Manaf muda. Keduanya telah dikaruniai 12 anak. (*/c10/ttg)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia