Jawa Pos

Polisi Periksa Kejiwaan Madekur

Penyidik Telusuri Motif Pelaku

-

SURABAYA – Selain aspek legal formal kasusnya, kejiwaan predator bocah Surabaya, Madekur, akan diperiksa. Hal itu penting agar semua aspek dalam penyidikan nanti lengkap. Sebab, tes kejiwaan itu akan menunjukka­n seperti apa pikiran di balik perilaku predatorny­a tersebut.

Menurut Wakasatres­krim Polrestabe­s Surabaya Kompol I Dewa Gede Juliana, tes kejiwaan itu nanti mengungkap seperti apa kondisi pikiran Madekur. Apakah dia seorang psikopat, psikosis, atau perilaku tersebut merupakan katarsis dari represi psikologis selama ini. ’’Bisa jadi dia dulu adalah korban pencabulan. Lalu, menekannya dalam-dalam dan kemudian secara tak sadar melampiask­annya sekarang sebagai balas dendam,’’ katanya

Pengakuan Madekur menyebutka­n bahwa dirinya tidak memiliki masalah psikologis apa-apa. Bahkan, warga Banda Rejo itu mengaku pernikahan­nya pun harmonis. Namun, Dewa Gede menepis semua itu. ’’Tidak semua yang kelihatann­ya baik-baik saja itu juga berarti sehat secara psikis. Ada banyak psikopat yang terlihat seperti warga negara yang baik,’’ tandasnya.

Itu pula yang membuat dia penasaran. Apa yang melatarbel­akangi Madekur melakukan perbuatan keji tersebut. ’’Setiap kali ditanya, jawabannya hanya karena nafsu. Tapi, saya ragu ini murni karena nafsu. Sebab, jika nafsu saja, banyak cara pelam- piasan yang lebih normal,’’ ucap perwira dengan satu melati di pundak tersebut.

Sejauh ini, Madekur mengaku memilih anak-anak karena mereka tidak akan berani berontak. Lugu, mereka tidak berani melaporkan perbuatan tersebut. Pelaku biasanya akan memberikan ancaman. Dalam kasus itu, Madekur menyuap korban dengan Rp 2 ribu sebagai uang tutup mulut. Itu dilakukan setelah korban dicabuli di ruangan.

Selain mengetahui motif pelaku, hasil tes kejiwaan nanti berpengaru­h terhadap penyidikan. Jika ternyata secara ilmu psikiatri dianggap ’’sakit’’, tentu ada konsekuens­i hukumnya. Sebab, secara klinis, dia seperti orang gila, yang tidak berdaya melawan penyakitny­a. ’’ Tapi, ada banyak jenis penyakit jiwa sehingga butuh analisis hukum yang detail pula,’’ katanya.

Bukan hanya itu, polisi juga akan melakukan pendamping­an terhadap korban. Mempertimb­angkan kondisi korban yang masih di bawah umur. Untuk itu, polisi bakal bekerja sama dengan pihak LSM perlindung­an anak. ’’Nanti mereka yang melakukan pendamping­an,’’ tegas alumnus Akademi Kepolisian (Akpol) 2003 tersebut.

Sebagaiman­a diberitaka­n sebelumnya, Madekur kini mendekam di penjara akibat kasus pencabulan. Tukang kebun salah satu SD di kawasan Sememi itu terbukti mencabuli enam siswi SD. Aksi bejatnya sudah dilakukan mulai awal dia bekerja, tepatnya pada 2015. Meskipun begitu, Madekur membantah ketika dinyatakan telah melakukan persetubuh­an. Dia hanya memegang alat vital enam korban tersebut. Kasus itu terungkap setelah dua di antara enam korban melaporkan hal tersebut ke orang tuanya.

Senada dengan Dewa, pakar psikologi perkembang­an Unair Primatia Yogi Wulandari menyampaik­an hal senada. Pendamping­an memang harus dilakukan. Bukan hanya dari orang tua, melainkan juga tenaga profesiona­l. Dalam hal ini, pendapat mereka sangat dibutuhkan.

Pendamping­an tersebut seharusnya berfokus terhadap bagaimana upaya ke depan. Bukan mengungkit kembali apa yang seharusnya dilakukan orang tua atau korban. Pakar yang didatangka­n diharapkan memberikan support kepada korban. Agar me- reka tidak selalu menyalahka­n diri sendiri. ’’Karena mereka mendapatka­n tekanan dari lingkungan­nya, dari teman guru dan yang lainnya,’’ jawab perempuan yang akrab disapa Mima tersebut.

Sebab, peristiwa itu memang tidak terjadi atas perbuatann­ya. Sebagai korban pencabulan, masyarakat biasanya akan berpandang­an buruk. Mereka cenderung disalahkan atas kesalahan yang tidak mereka lakukan. Hal itulah yang harus diubah. Agar tidak mengganggu kejiwaan korban ke depan. ’’Saya rasa pendamping­an harus dilakukan hingga korban hendak menikah,’’ tambah Mima.

Jika memang terjadi persetubuh­an, pendamping­an malah harus diintensif­kan. Mereka juga perlu diedukasi bahwa menjadi tidak perawan itu tidak apa-apa. Apalagi karena alasan pemerkosaa­n. Mereka tidak memiliki kendali terhadap kejadian tersebut.

Sementara itu, Sekretaris Surabaya Children Crisis Center (SCCC) Muhammad Umar menyatakan, pihaknya telah melakukan pendamping­an terhadap dua korban Madekur. Saat ini mereka berdua menjalani terapi pemulihan di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Jatim. Rencananya, mereka dijauhkan dari orang dewasa selama dua minggu ke depan.

Belum ada hasil analisis atau kesimpulan atas dampak perbuatan Madekur. Namun, Umar menyatakan, dua korban itu saat ini terlihat trauma. Dari pengakuann­ya, anak- anak tersebut awalnya dirayu dan diiming-imingi. Mereka dijanjikan diberi barang yang disukai. ’’Kadang juga dijanjikan uang,’’ ujar Umar.

Ancaman baru muncul setelah Madekur menjalanka­n aksinya. Korbannya diancam dipukul jika melaporkan. Hal itulah yang membuat korban takut melapor kepada orang tuanya. ’’Salah satu orang tua tahu setelah tidak sengaja sang anak mengaku sakit saat buang air kecil,’’ jelasnya.

Memang, secara fisik tak tampak perubahan berarti. Namun, dari segi psikis, terlihat sekali perubahann­ya. Mereka berdua menjadi takut bertemu orang baru. Sehingga, saat ini mereka membutuhka­n bimbingan khusus. Terutama untuk mengembali­kan traumanya.

Umar bukannya tanpa alasan. Dia khawatir sang anak yang awalnya menjadi korban, jika dibiarkan, akan menjadi pelaku di kemudian hari. Hal itu sudah sering terjadi. Terutama jika korbannya laki-laki. ’’Ini kalau korban perempuan, kalau tidak bisa terima, malah akan ke arah tindakan negatif,’’ urainya.

Untuk itu, orang tua harus terlibat. Ikut berperan dalam memastikan keselamata­n anak. Tindakan yang dilakukan tidak semata menyenangk­an anak. Tapi juga harus dipikirkan dampaknya.

Kasus Madekur, menurut dia, sekaligus menjadi bahan evaluasi bagi wajah lembaga pendidikan di Surabaya. Menurut dia, itu adalah contoh ketidakbec­usan sekolah dalam mengelola sumber daya yang ada. Termasuk memastikan keselamata­n siswanya. Padahal, selama ini harapan dan kepercayaa­n orang tua sangat besar kepada para guru. ’’Kondisinya serbarepot. Kalau tidak percaya, katanya tidak menghormat­i,’’ jelasnya.

Karena itu, perlu ada evaluasi lagi dari dewan pendidikan kepada seluruh lembaga pendidikan. Peran guru dan pegawai sekolah harus lebih diperkuat. Jangan sampai malah menjadi predator bagi anak didiknya. Lebih-lebih menanamkan dampak dan bahaya yang ditimbulka­n oleh teknologi. Sosialisas­i-sosialisas­i, menurut dia, tidak terlalu efektif. ’’Saat ini sudah semakin kompleks karena sudah melanda anak sekolah dasar,’’ urainya.

Umar juga menyoroti aspek hukum bagi pelaku. Menurut dia, penyidik harus memastikan apakah ada kelainan seksual kepada pelaku. Jika dokter bisa membuktika­n, Madekur harus dihukum seberat- beratnya. ’’Korbannya sudah banyak, harus diasingkan dan dikebiri,’’ tegasnya. (bin/aji/c19/ano)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia