Jawa Pos

Alur Darah Bisa Dilacak hingga ke Pendonor

- DEBORA DANISA SITANGGANG

Kedatangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ke Unit Transfusi Darah (UTD) Palang Merah Indonesia Surabaya ternyata membawa perubahan. UTD itu menjadi yang pertama menerima sertifikat khusus dari BPOM untuk kualitas alur darah.

BUTUH waktu empat tahun bagi dr Budi Arifah dan UTD yang dikepalain­ya untuk memenuhi standar BPOM. Itu dihitung mulai 2013, saat BPOM bertandang ke UTD PMI Surabaya untuk kali pertama.

Apa kaitan BPOM dengan darah yang menjadi produk utama mereka? ’’Kenapa darah masuk ranah BPOM, karena ada produk darah yang dijadikan obat, seperti albumin. Makanya, mereka masuk,” jelas Budi saat ditemui di ruang kerjanya. Budi yang baru pulang dari Tiongkok itu memang sudah agak lama menerima sertifikat dari BPOM. Tepatnya pada 20 November lalu. Namun, kebanggaan­nya masih terasa hingga kini. Apalagi, UTD mereka menjadi yang pertama di Indonesia menerima sertifikat tersebut.

Budi menerima sertifikat cara pembuatan obat yang baik (CPOB) atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan good manufactur­ing practices (GMP). Apa artinya itu bagi UTD PMI Surabaya? ’’Artinya, alur kita sudah dinyatakan layak dan terverifik­asi,” jelas Budi. Alur yang dia maksud bukan hanya alur darah atau pendonoran dan penyimpana­n darah. Melainkan sampai ke alur petugas, alur barang, dan pembuangan limbah.

Sejatinya, UTD PMI Surabaya sudah mendapatka­n sertifikas­i ISO, tetapi hanya untuk manajemen mutu. Kualitas darah, mulai pendonoran hingga penyaluran ke rumah sakit, belum terukur. ’’ Tapi, kita selalu menerapkan quality control,” terangnya.

Dengan adanya sertifikat CPOB, publik bisa semakin memercayai kualitas darah yang ditampung di UTD tersebut. ’’Karena dari alur darah pun, proses pengambila­n darahnya benarbenar steril,” imbuhnya.

Di sisi lain, sertifikat CPOB membuat produk darah mereka bisa terlacak dengan jelas. ’’Jadi, ketika diserahkan ke rumah sakit, pihak rumah sakit juga bisa memastikan itu darah dari pendonor yang mana,” urai Budi. Meski kualitasny­a bisa dipastikan fresh, pelacakan tersebut berguna jika suatu saat terjadi masalah dari darah yang didonorkan itu.

Budi mengakui, saat BPOM kali pertama datang ke UTD, ada banyak masukan yang mereka terima. Masukan itulah yang mereka kerjakan selama empat tahun terakhir. Ada masukan soal sumber daya manusia (SDM), gedung, sampai peralatan. Tentu, ada banyak biaya yang harus digelontor­kan untuk memenuhi standar kelayakan tersebut.

Demi memenuhi standar BPOM, Budi dan timnya di UTD perlu merenovasi beberapa bagian gedung. ’’Supaya alur satu dengan yang lain nggak bersinggun­gan,” tuturnya. Alur barang tidak boleh bertemu dengan alur darah karena dikhawatir­kan memengaruh­i kualitas darah itu sendiri. Mereka sampai mendatangk­an konsultan GMP langsung dari Australia bernama V. Armstrong. BPOM juga tidak lepas tangan. Mereka memberikan pendamping­an. ’’Ada juga pendamping­an dari WHO (World Health Organizati­on, Red),” lanjutnya.

Kerja keras selama empat tahun itu berbuah manis. Pada November 2017, Kepala BPOM Penny Kusumastut­i Lukito menyerahka­n sertifikat CPOB kepada Budi. Penyerahan juga diikuti Wakil Presiden Jusuf Kalla. Surabaya menjadi yang pertama dan dianggap paling siap. ’’Setelah ini diharapkan bisa diterapkan juga di UTD besar lainnya,” ujar Budi. (*/c7/oni)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia