Jawa Pos

Kenangan tentang Bioskop hingga Rambut Merah Ida

Mengenal Kiki Sulistyo, Peraih Penghargaa­n Prestisius Kusala Sastra Khatulisti­wa 2017 Kiki Sulistyo bergerak di luar arus utama. Dia tak larut dalam konsep manusia sebagai pusat semesta. Kenangan atas Kota Tua Ampenanlah yang senantiasa berkelinda­n indah

- KHAFIDLUL ULUM, Lombok

TULISAN Kota Tua Ampenan di gapura simpang lima menyapa semua orang yang lalu-lalang Rabu lalu (20/12)

Persimpang­an itu merupakan titik bertemunya lima jalan. Salah satunya Jalan Pabean yang mengarah ke barat, akses utama ke Pantai Ampenan yang sekarang terus dipoles pemerintah daerah. Juga Jalan Yos Sudarso dan Jalan Koperasi yang menuju timur, Jalan Saleh Sungkar yang menjadi akses ke utara, serta Jalan Ragi Genap yang mengarah ke wilayah selatan.

Banyak kendaraan roda dua yang melintas di jalan yang masuk wilayah Kecamatan Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu. Gedung-gedung berarsitek­tur kolonial Belanda menjadi penanda bahwa kota tersebut menyimpan sebagian sejarah perjalanan negeri ini. Terutama kenangan masa lalu bagi manusia yang tinggal maupun pernah menghabisk­an sebagian hidup di tempat itu.

Kiki Sulistyo tidak pernah bisa melupakan masa kecilnya di Ampenan. ”Tempat ini membawa saya ke lorong masa lalu,” ucapnya saat mengajak Jawa Pos menelusuri kota tua Rabu lalu. Namun, dia sedih tiap kali datang ke tempat yang berpendudu­k sangat beragam itu. Sebab, banyak yang hilang dari Ampenan.

Gerimis menemani perjalanan kami menikmati lorong masa lalu di sudut Kota Ampenan. Kiki bersemanga­t menceritak­an masa kecilnya. Ayah dua anak itu lantas menunjuk jalan simpang lima yang basah oleh hujan. Menurut dia, dulu persis di tengah jalan terdapat tugu. Di bagian atasnya menempel jam sebagai penanda waktu bagi penduduk maupun orang yang melintas. Tugu tersebut tinggal kenangan karena sudah lama dibongkar.

Begitu juga gedung bioskop yang kala itu terkenal dengan sebutan Bioskop Ramayana. Tempat menonton film tersebut sudah hilang. Gedung itu sudah berubah menjadi kantor bank swasta dan ruko. Tidak ada bekasnya sama sekali. Untuk meyakinkan ceritanya, Kiki menunjukka­n foto lama di handphone

nya. Foto gedung bioskop bergaya art deco dengan tiang-tiang bundar. ”Dulu setiap hari saya main di bioskop. Sekarang hanya tinggal cerita,” terangnya.

Rumahnya di gang buntu juga sudah berubah. Bangunan itu sudah lama dibeli orang dan dipugar. Tidak ada kenangan yang tersisa dari bangunan tersebut. Ampenan yang dulu dikenal sebagai kota pelabuhan juga sudah berubah. Banyak gudang yang tutup. Yang tersisa sekarang hanya bangunan tua tidak berpenghun­i. Dulu, menurut Kiki, banyak truk yang lalu-lalang mengangkut barang ke pelabuhan. Sekarang pemandanga­n itu tidak ada lagi.

Kiki juga mengajak Jawa Pos ke Pantai Ampenan, tempat dia selalu mandi di laut. Dulu setiap minggu masyarakat mengadakan pesta pantai. ”Biasanya kami non

ton layar tancap,” kata dia. Semua kenangan itu menjadi inspirasi bagi Kiki untuk menulis puisi. Sepenggal kisah hidupnya diabadikan dalam bukunya yang berjudul Di Ampenan, Apa Lagi Yang Kau Cari?. Kenangan itu dia ceritakan ulang melalui puisi. Misalnya simpang lima yang diceritaka­n di halaman 12 buku tersebut. Di sini dulu ada terminal, tempat para petarung berkumpul. Sebelum tanggal tahun-tahun dan pisau tajam menumpul. Pernah

seseorang membohongi ibunya dengan durhaka kecil. Maka kakinya terkilir setelah jatuh di selokan kering. Ibu, seseorang itu aku, tak pergi mengaji. Sebab tergoda poster bioskop petang hari.

Di akhir puisi, dia menulis: Di sini, sekarang aku berdiri, di simpang lima. Melihat lampu jalan dan waktu berjalan pelan. Sudah tak ada siapa-siapa, apa-apa yang dulu pernah ada. Bioskop Ramayana juga diceritaka­n secara apik pada halaman 16. Kuil shaolin di bawah purnama. Si toya kera dan juara kungfu serba bisa. Bait selanjutny­a: Penonton ramai di akhir pekan. Putaran kedua dimulai jam delapan. Jam utama di mana orang-orang bebas dari tugas. ”Yang diputar film-film laga Hongkong,” tutur suami Diana itu.

Bioskop tersebut hanya beberapa meter dari rumahnya. Ayahnya, Suryanto, bekerja sebagai pengantar rol film. Sedangkan pamannya bekerja sebagai penjual tiket. Walaupun demikian, dia tidak bisa sembaranga­n masuk bioskop. Untuk mencari uang demi membeli tiket, dia terpaksa menjadi pemulung.

Bukan hanya Bioskop Ramayana, Kiki juga menulis tentang Pantai Ampenan pada halaman 13. Kalau pasir dijadikan sisir, kupenuhi rambutku dengan zikir. Udara lapang semasa asar dan sayup suara dari sisa pasar. Jalan itu lurus saja menuju pantai masa kanak.

Selain bercerita tentang tempat, ayah Pradina Rastafari dan Munsyi Hilal Bizantin itu menulis sosok-sosok yang dikenalnya. Salah satunya sang paman yang biasa dia sapa Paman Sehe. Sosok itu terlukis dalam puisinya yang berjudul Rumah Ladang, Paman Kami. Terung-terung ungu di ladang kecil paman kami. Ladang pinggir jalan menuju pasar pagi. Aku ingat sebuah buku, cara menanam terung. Dengan sampul ungu di bawah langit biru.

Sosok perempuan yang dia kenal juga tidak lepas dari puisi. Salah satunya tergambar dalam puisi yang berjudul Rambut Merah Ida.

Aku ingat sirkus. Perempuan kurus bercawat. Aku kenang pasar malam. Limun soda yang tak bisa kuhabiskan.

Pada bait terakhir, dia menulis: Di antara mereka, kucium sepenuhnya dukacita,

rambut merahmu, Ida. Ida adalah anak paman Kiki. ”Bukan Paman Sehe, tapi anak angkat paman yang lain, biasa dipanggil Pak Ameq,” tutur Kiki. Buku puisi Di Ampenan, Apa Lagi Yang

Kau Cari? mengantark­an Kiki meraih penghargaa­n sastra bergengsi, Kusala Sastra Khatulisti­wa, pada 25 Oktober lalu. Dia mengalahka­n para sastrawan top lainnya.

Anak pasangan Suryanto dan Supiah itu mengatakan, puisi tersebut ditulisnya secara bertahap mulai 2009. Dibutuhkan waktu delapan tahun alias sewindu untuk menulisnya. Dia mengarang puisi itu ketika sudah lama pindah dari Ampenan. Kenangan tentang Ampenan selalu memanggil-manggil.

Awalnya, Kiki bingung bagaimana cara menulis puisi tentang Ampenan. Sebab, selama ini puisi selalu menitikber­atkan manusia sebagai pusat semesta. Dia kemudian terinspira­si puisi Derek Walcott, penyair Karibia, yang berjudul Kisah-Kisah dari Kepulauan. Puisi karya Remco Campert yang berjudul Lahir Aku,

Kini Masih semakin memantapka­n Kiki untuk menulis puisi tentang Ampenan.

Pada 2009 dia mulai menulis tentang Ampenan. Yang kali pertama dia tulis adalah judul puisi Di Ampenan, Apa Lagi Yang Kau

Cari?. ”Puisi itu kemudian menjadi judul buku ini,” kata Kiki. Setiap kali Ampenan memanggil-manggil, dia pun menulisnya. Jadi, tidak ada proyek khusus menulis Ampenan.

Ketika dia melintas, lalu ada letupan ide, dirinya lantas menulis puisi. Karya itu juga dia kirim ke berbagai media massa. Pada 2016 dia pun mengumpulk­an puisi-puisi yang pernah ditulisnya. Ternyata, jumlahnya cukup banyak. Puisi tersebut membentuk kronologi kenangan masa lalu. Dia lantas menyusunny­a sebagai buku.

Namun, dia tidak tahu siapa yang akan menerbitka­n buku tersebut. Tiba-tiba dia mendapat pesan dari akun Facebook- nya. Isinya tawaran dari penerbit Basabasi. ”Saya langsung kirim,” urainya. Sebulan kemudian, penerbit setuju dan menerbitka­nnya menjadi buku pada Mei lalu. Penerbit mengirim gambar cover kepada Kiki. Tapi, Kiki tidak sepakat karena gambar itu sangat berbeda dengan Ampenan. Dia lantas mengirim foto bangunan tua di Ampenan. Akhirnya, foto tersebut menjadi sampul buku.

Sebelum menulis puisi tentang Ampenan, Kiki menghasilk­an tiga buku puisi tunggal. Yaitu Hikayat Lintah yang diterbitka­n Akar Hujan Press pada 2014, Rencana

Berciuman yang diterbitka­n Halindo pada 2015, dan Penangkar Bekisar yang dipublikas­ikan oleh Nuansa Cendekia pada 2015. Kiki juga aktif menulis antologi puisi.

Pria kelahiran 16 Januari 1978 itu menulis sejak duduk di bangku SMP. Ketika bersekolah di SMPN 3, setiap hari dia menulis puisi. ”Lihat lalat pun jadi puisi,” tutur pendiri Komunitas Akar Pohon itu. Dia tulis puisi di kertas bekas, kertas rokok, dan benda lain. Puisi tersebut dia kumpulkan, kemudian disalin di buku tulis.

Sebenarnya, sejak SD dia senang menyendiri dan berimajina­si. Dia sering memperagak­an silat. Kiki pun pernah dianggap sebagai anak gila oleh teman-temannya. Dia selalu dicaci. Ketika SMP, imajinasin­ya dituangkan dalam bentuk puisi. Setelah lulus SMP, dia tidak melanjutka­n sekolah, tapi memutuskan untuk bekerja.

Dia pernah bekerja di tempat sablon, menjadi tukang batu, ikut peternakan ayam, kemudian pindah ke toko kaset. Gaji yang dia dapat digunakan untuk membeli buku dan koran. Dia selalu mengklipin­g koran. Pada 2004 dia bertemu dengan sastrawan senior Putu Arya Tirtawirya. Dia mengenal sastrawan itu dari majalah yang dibacanya. ”Dia tidak mengajari secara langsung. Tapi, dia melatih saya sikap seorang sastrawan,” papar Kiki.

Kiki juga diajari bagaimana mengirim naskah puisi ke media. Kiki pun terus berlatih. Puisi pertamanya terbit di Lom

bok Post pada 2002. Kemudian, pada 2006, dia memutuskan untuk keluar dari pekerjaan dan berfokus menulis. Cukup berat meniti karir sebagai sastrawan. Dia terpaksa menjual buku-bukunya untuk membayar biaya kos.

Setelah sukses dengan buku puisinya, Kiki ingin menulis novel tentang Ampenan. Dia sudah menyiapkan bahannya. Kiki ingin menulis dengan kesabaran. ”Saya tidak terlalu terobsesi. Tapi, saya ingin menulis novel. Minimal satu novel saja,” tuturnya. (c11/owi)

 ?? KHAFIDLUL ULUM/JAWA POS ?? INSPIRASI: Kiki menunjukka­n buku puisinya dengan latar belakang gedung tua di simpang lima Kota Tua Ampenan.
KHAFIDLUL ULUM/JAWA POS INSPIRASI: Kiki menunjukka­n buku puisinya dengan latar belakang gedung tua di simpang lima Kota Tua Ampenan.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia